Ilham sangat fasih berbahasa Arab. Maklum, sepuluh tahun ia belajar di pondok pesantren. Namun ada satu yang tak lekang: keramahannya. Itu juga yang membuat dia gampang bergaul. Keramahannya juga membuat dirinya digandrungi banyak perempuan.
"Kamu bisa coba membaca istighfar. Ditambah shalawat nabi seribu kali. Setiap hari, lho. Nasihatku ini insya Allah manjur," begitu Ilham bilang setelah mendengar semua ceritaku.," begitu Ilham bilang setelah mendengar semua ceritaku.
"Oh ya, semoga kamu tak keberatan. Usai makan, beristighfarlah sejumlah nasi yang telah kau makan itu."
"Lha, mana bisa? Bagaimana mungkin menghitungnya?
"Ya, kira-kira saja."
"Kalau tidak tepat menghitung, apa...
"Pada dasarnya, banyak-banyak beristighfar kan tidak buruk, ndak masalah," sahut Ilham.
Lantaran banyak pasien yang menunggu, aku bergegas pamit. Dalam perjalanan pulang, di benakku terselip rasa cemburu. Ya, Ilham yang mampu menderet semua persoalan dengan penuh kebersahajaan. Yang selalu mengukur segala sesuatunya dengan amal ibadah.
Sepekan berlalu, aku tak bisa menghitung berapa puluh ribu atau ratusan ribu kali istighfar dan shalawat nabi kubaca. Aku yakin itu bisa menyembuhkan luka hati yang menganga. Menyadarkanku untuk tatag menjalani hidup. Nyatanya, upaya itu tak memberi harapan. Kesedihanku masih menyala-nyala. Aku masih merasa sunyi.
***
Sudah dua hari dua malam mataku sulit terpejam. Sulit bagi menikmati tidur dengan degup jantung terus memburu. Aku kerap terjaga saat tangan dan kakiku tiba-tiba tergerak.