Di masjid, aku merenung. Bertafakur. Bahkan, yang terakhir aku ber-uzlah, mengasingkan diri. Itu sesuai saran Faiz, teman satu apartemen denganku. Dengan ber-uzlah, jiwamu akan lapang. Itu bisa mengikis semua kesedihanmu, saran Faiz kala itu.
"Kamu sadar, lisan kita ini yang suka membual. Pikiran kita yang kerap menyimpang. Jiwa yang berkecenderungan berbuat jahat. Itulah tabir yang menutupi aurat. Nah, dengan ber-uzlah kau akan mendapat bimbingan membuka tabir itu. Cobalah, imbuh Faiz meyakinkan.
Tentu saja, nasihat itu membuatku tersentak. Tak seperti biasanya Faiz bisa bercakap bak seorang ulama. Yang arif dan bijak. Ia seakan peka terhadap masalah-masalah kejiwaan. Atau, barangkali kegilaan Faiz melahap buku-buku agama belakangan ini, gumamku, membuat cakrawala pemikirannya makin kaya. Makin bertenaga.
Ah, apa salahnya kuturuti saran dia. Toh, aku juga melakukan ibadah. Bukan bertapa atau bersemedi, yang bisa mendekatkanku terhadap bidah dan khurafat. Karena, kedua hal itu sejak lama tak ingin kusentuh. Tanganku merinding, tak ingin tercelup api neraka.
Aku juga kerap menambah ibadah dengan membaca kalam ilahi. Membaca dengan tartil, lalu memaknai artinya baris demi baris. Kuberharap temukan hikmah. Membaca dan memaknai, akan menemukan butiran-butiran nilai, memetik manfaat dari menara ide, begitu kata banyak para ustad dalam ceramahnya.
Malam yang sunyi, air mataku meleleh. Tak biasanya aku secengeng ini. Semenjak ketemui sesosok bayangan berjubah putih. Aku takut kalau-kalau dalam tidurku, ia datang lagi. Dan, Allah berkehendak memanggilku. Mataku selalu teramat berat kupejamkan.
Kenapa uzlah-ku ini tidak berbuah kesejukan? Apakah keikhlasan itu teramat berat disangga manusia, sehingga tak mampu bebuat sepenuh hati?
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba aku terdorong untuk menemui Ilham, teman sekampusku dulu. Aku mendapat kabar dari banyak teman, Ilham kini telah menjadi guru. Dipercaya banyak orang karena mampu menerapi jiwa. Orang bilang, dia punya kemampuan makrifat.
Dalam kartu nama yang kuterima, Ilham menyebut dirinya terapis. Dia membuka Bengkel Hati, nama lembaganya. Banyak pasien datang ke kediamannya. Ada yang meminta di-rukyah, bekam, dan herbal. Bahkan, aku dengar, Ilham menjadikan rumahnya sebagai klinik. Pasiennya bisa menjalani rawat inap. Terakhir, ada enam belas orang dirawat di rumahnya. Mereka datang dari berbagai kota. Yang terbanyak pasien gangguan jiwa.
Aku amat terkejut ketika menemui Ilham, sore itu. Wajahnya terlihat cerah. Tak satu pun jerawat menempel di pipinya, seperti kulihat semasa kuliah dulu. Ilham kini juga punya jenggot panjang. Kumisnya dicukur bersih.
Ilham tak seperti yang kukenal lima belas tahun lalu. Yang funky dan doyan pelesir. Ia kini selalu memakai gamis, selalu melinting bagian bawah celananya.