***
Di sisi lain, dr Tjatur Prijambodo M.Kes juga memberikan empat catatan. Pertama, rapid test perutunkannya bukan untuk sembarang orang. Rapid test itu dilakukan hanya pada mereka yang berisiko tertular. Ada pernah kontak, ada juga yang juga baru tiba atau baru keluar dari daerah yang masuk zona merah.
Rapid test bukan untuk diagnosa pasti, melainkan untuk skrining awal yang kemudian akan ada lanjutannya. Tentu hasil rapid test ini kalau gak reaktif, ya non reaktif. Bagi non reaktif ada dua hal penyebabnya.Â
Pertama, bisa memang belum terinfeksi. Kedua, masa window period, Â masa pada satu kondisi di mana virus sesungguhnya sudah masuk tetapi belum mampu menunjukkan gejala-gejala yang ada. Artinya, belum terbentuk imunitas. Belum terbentuk antibodi alias belum cukup kadarnya.
Ketiga, pasien-pasien yang immunocompromise. Pasien-pasien dengan kondisi khusus yang kaitannya dengan penyakit-penyakit imunitas. Ada imunitas sejak penyakit bawaan atau penyakit yang terkait dengan autoimun. itu juga bisa menunjukkan hasilnya non reaktif
Keempat, kadarnya di bawah level dari deteksi alat yang digunakan. Jadi sudah ada virusnya tetapi kadar virusnya itu belum mencukupi untuk membuat reaktif dengan alat tersebut. Jadi hasil yang non reaktif itu tidak otomatis menyingkirkan risiko terkena virus Corona.
Lantas, apakah hasil rapid test non reaktif tetap dilakukan isolasi mandiri?  "Ya, untuk memutus rantai penularan. Agar tidak semakin menyebar virus corona," tandas Tjatur. (agus wahyudi)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI