Keempat, sanksi yang sangat berat. Sanksi dianggap bisa memberikan efek jera dan pelajaran bagi suporter yang terlibat kerusuhan. Termasuk di antaranya tak boleh menonton di stadion mana pun seumur hidup. Klub di Inggris aktif bekerja sama dalam mencari pelaku dan juga mendukung sanksi yang diberikan FA.
Pekerjaan menangani suporter sepak bola ini memang menguras energi besar. Seperti mengurai benang kusut. Menjadi wajah bopeng sepak boa nasional. Beberapa dekade kepengurusan PSSI belum jua menemukan formula yang tepat mengatasinya.
Kebijakan menyelenggarakan pertandingan tanpa penonton terbukti hanya efektif jika dilakukan di luar Jawa. Pun melarang suporter datang ke stadion jika bertandang ke tempat rival beratnya agaknya malah menyulut ketidakrelaan dan ketidakpuasan.
Butuh keberanian kuat dari pemangku otoritas sepak bola di Indonesia untuk merevolusi aturan dan kebijakan yang lebih bersifat kuratif dan antisipatiif. Di mana, sportivitas dan fairness harus ditempatkan di urutan teratas yang harus dipatuhi semua klub sepak bola.
Pola yang dilakukan Inggris maupun negara-negara lain bisa jadi perbandingan. Dulu, bukan tak terjadi tawuran antarsuporter. Namun, hampir tidak ada pelarangan datang ke stadion karena aparat bisa memberi jaminan keamanan. Suporter tetap bisa memberikan dukungan meski di kandang rival beratnya.
Saya khawatir, jika kondisi ini dibiarkan, alam pikiran suporter akan terus tercemari oleh peristiwa-peristiwa kekerasan yang memilukan dan menyesakkan dada. Menyuburkan dendam dari perseteruan yang tak ada ujung pangkalnya.
Kita pantas menginsafi, jika olahraga sejatinya membangun solidartas dan kerukunan, bukan memecah persaudaraan? (agus wahyudi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H