Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Surat Amar

7 Februari 2020   01:49 Diperbarui: 7 Februari 2020   18:43 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: wpcnhf.org

"Perempuan lembut itu ternyata kasar dalam menentukan pilihan."

Kalimat itu tergores dalam selembar kertas putih yang terlipat. Tidak ada lanjutan. Cuma ada nama sang pengirim: Amar. Surat itu terselip dalam lipatan Tafsir Al-Misbah volume 9 karya M Quraish Shihab. Salah satu buku berseri favorit Keiza.

Bagi dia, ceramah Quraish Shihab enak didengar. Menyejukkan hati. Ulasannya ringan. Mudah dicerna. Saban bulan puasa, Keiza nyaris tak pernah absen mengikuti ceramah ulama kondang tersebut di televisi.

Keiza lantas mengingat. Mereka-reka. Bagaimana surat itu bisa terselip di bukunya? Dia tak melihat kedatangan Amar. Sepanjang hari. Dua jam lebih, Keiza duduk bersama temannya di taman kampus. Berdiskusi, membahas topik-topik aktual.

Keiza kemudian sadar, dua pekan lalu, Amar meminjam tafsir itu. Petang, sepulang dari kampus. Amar beralasan ingin menelaah Surah Al-Furqon. Hanya tak jelaskan detailnya. Keiza pun tak banyak tanya, selain segera memberikan tafsir tersebut. Amar lalu bergegas pergi.

Keiza membaca surat itu lagi. Dia kemudian membaliknya. Barangkali ada lanjutan atau tulisan yang tak sempat terbaca. Namun tak didapatinya.

Kenapa dengan diriku? Betapa teganya bila benar Amar menuduhku seperti itu? Keiza membatin pilu. Tiba-tiba, ia merasa seperti seorang terhujat. Tertuduh. Yang duduk menepi sendiri di kursi, lalu memadang sesosok pria yang mencaci maki dirinya. Menohok pernyataan keras padanya, dan ia hanya terpaku malu.

Pria yang dulu selalu mengaduk-aduk emosinya. Di antara kepastian dan derita. Kerinduan dan benci yang acap datang dan pergi. Seperti melihat kendaraan umum di halte.  Datang, lalu menghilang.

"Amar, setega itukah dirimu?" Keiza masih membatin.

Diulanginya membaca kalimat singkat dalam surat itu. Apa artinya? Ia mencoba mengurai kejadian yang mungkin jadi penyebab Amar menulis surat tersebut.

Setahu dia, Amar bukan sastrawan. Bukan pujangga yang getol merangkai kata. Yang selalu mengirim bunga menandai kekaguman dan cinta. Yang menyajikan puisi-puisi dengan tarian indah. Kalau pun bertutur, tak ada kalimat-kalimat sastrawi keluar dari mulut Amar. Sederhana dan terkesan biasa-biasa saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun