Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kenapa Pasar Tradisional Lumpuh Setelah Direvitalisasi?

29 Januari 2020   10:52 Diperbarui: 30 Januari 2020   15:42 3857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bak sampah besar ditempatkan di tengah Jalan Aria Putra, depan Pasar Ciputat, Tangerang Selatan, Minggu (24/4/2016). Sampah dari pedagang di pasar tersebut dikumpulkan di sana dan tidak jarang sampah berserakkan sampai ke jalan hingga menyebarkan aroma tak sedap dan menghambat arus lalu lintas. (Foto: KOMPAS.com/ANDRI DONNAL PUTERA)

Rasanya seperti klangenan. Saat seorang teman ngajak saya ikut "meramaikan" lagi pasar tradisional di Kota Pahlawan. Yang mayoritas kondisinya terpuruk. Lesu dan tak bergairah. Jumlah pengunjung melorot. Omzet anjlok.

Kawan itu, A Hermas Thony. Dia menjabat wakil ketua DPRD Kota Surabaya periode sekarang. Thony juga pernah menduduki kursi legislatif periode 1999-2004. Kini, selain menjadi legislator, Thony juga ketua di Induk Koperasi Pedagang Pasar (Inkoppas) Jawa Timur. Organisasi yang semula baru saya dengar. Visi dan misinya untuk menjadikan Inkoppas sebagai pemain utama perekonomian nasional.

Pasar tradisional, bagi saya, bukan hal baru. Hampir lima tahun saya ikut menyemarakkan pasar tradisional di Surabaya. Bersama PD Pasar Surya, saya terlibat di komite Festival Pasar Surabaya 2011. Event besar yang melibatkan 81 pasar. Hadiah utama satu unit rumah di salah satu kompleks perumahan di Surabaya Barat.  

Saya juga pernah buka usaha di pasar tradisional. Menjadi pedagang di Pasar Tambahrejo (Pasar Kapas Krampung). Pasar yang legendaris itu, dulunya ramai. Pengunjungnya bukan hanya warga Surabaya, tapi warga daerah lain di Jawa Timur. Semua keperluan tersedia di sana. Komplet. 

Lalu lintas di pasar itu padat. Berdesak-desakan. Karena menjanjikan, harga stan di Pasar Tambahrejo sangat mahal. Per meternya bisa jauh lebih mahal dari harga tanah kavling. Begitu pun harga sewa stan juga sangat tinggi.

Saya punya teman karib. Biasa dipanggil Kho Untung. Dia punya empat stan di Pasar Tambahrejo. Ada yang berukuran 3x4 meter dan 2x3 meter. Ketika Pasar Tambahrejo belum direvitalisasi setelah terbakar, tahun 2002, Kho Untung tergolong pedagang tajir. Selain buka sendiri, dia juga menyewakan stan-stannya.

Namun setelah direvitalisasi, Pasar Tambahrejo tinggal berada satu komplek dengan mal dan hotel. Konsep yang diusung dengan bangunan baru adalah one stop shopping. Belanja banyak kebutuhan dalam satu tempat. Celakanya, konsep tersebut tidak berjalan mulus. 

Pasar Tambahrejo yang disediakan dua lantai kondisinya makin terpuruk. Sementara keberadaan mal yang diharapkan menyedot pengunjung juga tidak sesuai harapan. Pun hotel yang okupansinya cukup rendah.

***
Tahun 2010, saya dan teman-teman pedagang di Surabaya pernah "berinovasi". Bikin Grosir Malam Tambahrejo (GMT). Lokasinya di lantai dua Pasar Tambahrejo. Skemanya, kami memanfaatkan "bola muntah" pengunjung Pasar Kapasan, pasar grosir garmen yang ramai dan jadi jujugan peritel di Indonesia Timur. Lokasinya sekitar  satu kilometer dari Pasar Tambahrejo. Pasar Kapasan buka sampai pukul 5 sore. Sementara GMT buka mulai pukul 6 sore.

GMT berhasil menarik minat pedagang Pasar Kapasan. Gak sampai sebulan, sedikitnya 160 pedagang garmen buka stan di GMT. Pedagang Pasar Kapasan serasa punya jam buka lebih lama. Sementara pembelinya punya kesempatan lebih lempang memilih barang. Kami terharu menyaksikan keriuhan GMT yang semula sepi menjadi ramai pembeli. Orang-orang mengusung barang dagangan. Transaksi terjadi di semua stan.

Namun, beberapa bulan berjalan, masalah timbul. Pedagang mengeluhkan kondisi eksisting pasar yang tidak nyaman. Pertama, bau dari pasar basah di bawahnya yang menyeruak ke lantai 2. Hal ini membuat produk garmen yang dijual terimbas. Kedua, pengapnya udara lantaran buruknya sirkulasi udara di pasar tersebut.

Kami mencoba memediasi keluhan ini kepada pengelola dan PD Pasar Surya. Beberapa kali juga dilakukan survei lapangan. Namun tak segera dieksekusi. Buntutnya, pedagang yang kecewa memilih mundur. Menutup usahanya. Hal itu kemudian diikuti teman-teman yang lain. 

Saya sudah mengingatkan, jika salah satu ciri yang sulit lepas dari pasar tradisional adalah urusan komunal. Mereka berhimpun karena ikatan emosional dari orang yang dipercaya atau dituakan. Jika "pimpinan" pergi, lainnya mengikuti.

Kami tak menyerah. Pascadigelar Festival Pasar Surabaya 2011, kami bikin inovasi lagi. Kali ini kami program "Pedagang Sukses". Apa itu? Kami menyediakan stan yang bisa disewa sekaligus isinya buat mereka yang ingin menjadi pedagang. Semisal stan busana muslim atau baju anak, ada beberapa kami siapkan. Harga sewa Rp 5 juta dan Rp 10 juta per tahun.

Tak dinyana, program tersebut diminati setelah diiklankan. Dua bulan, 60 stan berikut isinya terjual. Rata-rata, pembelinya mereka punya modal tapi bingung menentukan pilihan usaha. Ada beberapa orang yang mau membeli lebih dari satu stan.

Beberapa bulan, masalah timbul. Ini setelah PD Pasar Surya menyetop program tersebut. Kemudian memasukkan puluhan pedagang kaki lima (PKL) masuk pasar. Zoning yang semula ditata jadi berantakan. PKL hanya beberapa hari bertahan di sana, kemudian pergi dan menutup stannya.

***
Saya kembali merenung soal ajakan meramaikan pasar tradisional. Di tengah banternya transaksi online. Masyarakat yang makin digital. Semua bisa dicapai dengan mudah dan cepat. Menjamurnya ritel modern. Produk-produk asing yang murah yang membanjiri pasar.

Saya juga ingat ketika Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menginstruksikan kepada jajaran direksi PD Pasar Surabaya. Tugas membenahi pasar tradisonal adalah menciptakan kebersihan, kenyamanan, dan keamanan. Bukan hanya bisa menaikkan retribusi atau iuran layanan pasar (ILP), biaya listrik, sewa stan/kios, dan lainnya.

Pun Bu Risma juga tak ingin kejadian lama terulang. Di mana pembangunan pasar tradisional harus melibatkan pihak ketiga. Karena jika diserahkan pihak ketiga, biaya stan akan dibebankan jauh lebih mahal kepada pedagang. Gilirannya usaha pedagang banyak rontok. Untuk itu, revitalisasi pasar tradisional harus memakai dana APBD. Biar biaya tambahan yang dibebankan pedagang tidak kelewat berat.

Membuat pasar nyaman, aman, dan bersih tidak semudah membalik telapak tangan. Praktiknya berat. Butuh revolusi mental untuk memenuhi ketiga unsur tersebut. Dan saya yakin, untuk pencapaian ini harus dimulai dari atas (struggle from above). Dari pemimpin.

Satu hal lagi yang saya catat masih menjadi peluang pasar tradisional. yakni, budaya tawar menawar. Hal yang genuine (watak asli) ini selayaknya mampu dieksplorasi sebagai kekuatan. Seperti halnya pasar-pasar tradisional di luar negeri yang masih diminati pengunjungnya.

Hingga sekarang, gerakan menghidupkan pasar tradisional terus digaungkan pemerintah. Baik di pusat maupun di daerah. Berbagai asosiasi juga ikut mendorong kemajuan pasar tradisional agar ekonomi kerakyatan tumbuh. Semoga hal ini bukan menjadi pepesan kosong dan slogan semata. (agus wahyudi).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun