Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Risma dan "Jebakan" Isu Surabaya Tenggelam

16 Januari 2020   21:59 Diperbarui: 17 Januari 2020   05:30 6234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir di Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya, Rabu(15/1/2020).(KOMPAS.COM/GHINAN SALMAN)

Saya agak cemas, Rabu (15/1/2020) petang. Menyusul hujan menghajar bumi Surabaya. Curahnya tinggi. Laporan BMKG, hujan deras mencapai 100 mililiter per detik per hari. Merata di semua wilayah. Gelap menggelayuti langit.

Saya memantau di sejumlah media yang melaporkan situasi terkini. Satu jam, foto dan video bertebaran di media sosial. Surabaya terendam banjir.

Perkiraan saya tak meleset. Yang parah kawasan Surabaya Barat. Salah satunya di Jalan Mayjen Sungkono. Yang cukup parah di pertokoan Vida. Genangan hampir satu meter merendam beberapa mobil dan motor di sana.

Saya cukup kaget pertokoan Vida masih banjir. Sebab, setahun lalu, di kawasan tersebut sudah kelar dibangun bozem (tempat pembuangan air) yang dilengkapi pompa air. Pengerukan saluran juga rutin dilakukan. Belakangan dikabarkan jika petugas dari pengelola Vida terlambat membuka pintu air sisi timur.

Bak bola salju yang menggelinding, netizen berkicau nyaring di medsos. Demikian di WAG. Foto dan video banjir bertebaran. Beragam komentar bersautan.

Yang minor mencibir kalau Kota Pahlawan yang dibangga-banggakan ternyata tak bebas banjir. Seperti halnya Jakarta, Surabaya juga tenggelam. Wong Surabaya tenggelam, lha kok Bu Risma mau mimpin Jakarta?

Saya memilih terus mengikuti perkembangan. Kebetulan, ada beberapa teman aparat sipil negara (ASN) di Pemerintah Kota Surabaya. Mereka juga menginformasikan kondisi mutakhir di lapangan. Seperti kesiapan ratusan rumah pompa. Juga laporan dari Command Center 112, layanan siaga bencana yang buka 24 jam.

Semua petugas disiagakan. Istri saya yang seorang perawat, secara periodik juga mendapat giliran jaga di Tim Gerak Cepat (TGC) yang berada di Command Center 112.

Satu setengah jam berlalu. Mulai bertebaran foto dan video agak berbeda. Banjir mulai surut di beberapa kawasan. Genangan tak sampai lutut. Bahkan ada yang hanya mencapai mata kaki.

Beberapa foto yang ada di WAG sempat saya screenshoot. Saya ingin tahu detailnya. Di titik mana kejadiannya. Setidaknya saya hafal kawasan mana yang dipamerkan tersebut. Di pertokoan, kampung, kantor, dan lainnya.

Ah, benar ternyata. Genangan air benar-benar surut. Dua jam setelah hujan deras, makin banyak fakta yang didokumentasikan publik. Laporan real time beberapa media juga menyampaikan hal serupa. Dalam batin, saya bersyukur. Alhamdulillah.

Seperti menyaksikan roller coaster, hiruk pikuk pemberitaan banjir Surabaya pun berubah 180 derajat. Publik pun mengapresiasi penanganan cepat banjir di Surabaya. Inilah logika publik yang sulit ditebak dan tak mudah digiring oleh opini tertentu.

Kompas TV membuat laporan "Banjir Surabaya Surut dalam Waktu 3 Jam". Jawa Pos menurunkan berita berjudul "Jalan Protokol Surabaya Terendam Air 17.20, Surut 19.30".

Para netizen mayoritas juga begitu. Mereka ramai-ramai memuji Bu Risma bisa memimpin anak buahnya bertindak cepat dan cekatan mengatasi banjir. Terlebih tidak sampai jatuh korban jiwa. Di Twitter, nama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini jadi trending topic dengan tagar Bu Risma dan Surabaya.

***

Banjir merupakan salah satu isu seksi yang sangat berpengaruh dari perspektif publik terhadap performa pemerintah. Dari dulu hingga sekarang. Dalam konteks ini, persoalan banjir terkait erat dengan kinerja kepala daerah. Baik di kabupaten maupun kota. 

Banyak kepala daerah yang mendapat sorotan bahkan hujatan dari publik lantaran kedodoran mengatasi banjir. Bukan hanya di-bully, ada juga yang diancam bakal di-impeachment karena diangap tidak becus mengelola dan memimpin daerahnya.

Saya kira, Bu Risma sangat menyadari hal itu. Itu sebabnya, tiga tahun setelah terpilih wali kota pada periode pertama (2010-2015), Bu Risma gencar membangun infrastruktur. Box culvert, pedestrian, frontage, jembatan, revitalisasi sungai, dan masih banyak lagi.      

Tahun 2013, saya ikut mendampingi rombongan Komite Ekonomi Nasional (KEN) dipimpin ketuanya, Chairul Tanjung (CT), berkunjung ke Surabaya. Selain melihat perkembangan bisnis dan UMKM, mereka juga diajak Bu Risma melihat proyek box culvert.

Sejumlah anggota KEN sempat turun melihat ketinggian, lebar, dan kualitas bahan box culvert. Mereka memberikan apresiasi positif karena bentuk box culvert-nya seperti yang dibangun di luar negeri.

Saya juga pernah ikut mengantar Duta Besar Singapura untuk Indonesia Anil Kumar Nayar keliling Surabaya. Dia datang bersama Peter F. Gontha (sekarang Duta Besar RI untuk Polandia). Peter waktu itu masih menjadi pengusaha dan promotor musik.

Keduanya melihat detail penataan Kota Surabaya. Mereka menyatakan salut dengan perkembangan infrastruktur Surabaya yang dinilai cepat dan modern. Juga dengan penataan lingkungan yang bersih, asri, nan hijau.

So, agaknya mulai terbuka, jika penanganan banjir di Surabaya memang disiapkan sejak lama. Jauh-jauh hari. Jika setiap hujan deras ada genangan, itu tak bisa dilepaskan dari faktor cuaca. Hanya, ketika surutnya bisa diatasi dalam hitungan jam, hal itulah yang kemudian melahirkan penilaian positif mayoritas publik.

Isu Surabaya tenggelam tak terdengar nyaring lagi. Bahkan lamat-lamat "musnah". Dari situ kita bisa lihat kualitas pemimpin. Yang memiliki integritas, paham detail masalah, dan memiliki kepiawaian membangun daerah yang dipimpinnya.

Bak konduktor dalam sebuah orkestra, dia mampu mengatur dinamika, tempo, artikulasi, frase, repetisi, dan preparasi.

Isu Surabaya tenggelam nyaris "diserempetkan" ke ranah politik. Menyeret nama Risma yang kini menjadi media darling terkait kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2022. Beruntung, publik tak terkecoh. Bisa membedakan mana loyang, mana besi. Mana bukti, mana janji. (agus wahyudi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun