Mengungkit masa lalu itu berat. Seperti di Hari Ibu. saya selalu mbrebes mili, meneteskan air mata, bila teringat masa-masa indah dan penuh kenangan bersama ibu. Sosok perempuan tangguh yang saya kagumi dan banggakan. Â
Hj. Siti Zulaichah, ibuku. Dia meninggal pada Oktober 2015. Di usia 75 tahun. Dia menjadi single mother sejak ayah meninggal, tahun 1986. Dari delapan anaknya, waktu itu, hanya satu orang yang sudah menikah. Tujuh anak lain bersama dia.
Ibu tak punya penghasilan tetap. Karena ayah hanya pegawai di perusahaan swasta. Tidak ada uang pensiun. Hanya uang tali asih. Satu-satunya yang bisa ibu andalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup kami adalah warung kelontong.
Di warung kelontong itu, ibu selalu melibatkan anak-anaknya untuk membantu kulakan. Barang-barang yang dikulak sebagian besar kebutuhan pokok. Pembelinya tentu warga kampung sekitar. Waktu itu, belum ada ritel seperti Indomaret atau Alfamart. Jadi, ibu belum merasakan imbas persaingan yang tajam. Â
Dari warung kelontong itu, ibu memenuhi kebutuhan makan, sandang, dan membiayai sekolah anak-anaknya hingga lulus SMA. Jika ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, ibu memohon anak-anaknya untuk bekerja dulu. Berpenghasilan dulu. Singkatnya, kalau kepingin kuliah harus membiayai sendiri.
Kakak-kakak menyadari kondisi keluarga saat itu. Tiga kakak yang sudah lulus SMA akhirnya bekerja. Ada yang di pabrik, butik, dan perusahaan asuransi. Setelah beberapa tahun kemudian mereka melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Penghasilan mereka lumayan membantu kebutuhan hidup yang sebelumnya ditanggung ibu sendirian.
Kolom penghasilan yang bertambah dipakai ibu untuk memerbaiki rumah. Menambah kamar untuk dijadikan kos-kosan. Ibu ingin menambah pemasukan tambahan. Istilahnya, menghasilkan passive income  selain dari warung kelontong.
Yang masih saya ingat, di warung kelontong itu, ibu tak hanya jualan. Dia juga mengajar ngaji. Muridnya  anak-anak dan kaum perempuan yang sudah usianya di atas 40 tahun. Kebanyakan mereka yang mengaji karena malu mengaji ke musala maupun masjid. Â
Di keluarga kami, membaca Alquran adalah kewajiban yang tak bisa ditawar. Sekolah boleh tidak berprestasi, tapi jangan sampai tak bisa membaca Alquran. Saya, sejak kelas 6 SD, sudah mengkhatamkan Alquran. Dan sampai sekarang, saya masih merasa bodoh dan terus membaca Alquran dan mengaji.
Ibu selalu berdoa agar anak-anaknya mencintai Alquran. Doa khotmil quran yang sering dilagukan dengan suara rada berat: