"Kalau ke luar negeri gak kasih merek. Mereka yang kasih sendiri. Harganya ya bisa enggak karu-karuan."
Tatkala bisnis merekah, gelombang cobaan menerpa. Diawali serangan teroris Gedung World Center di New York, 11 September 2001. Mereka harus kehilangan pembeli dari Inggris, Perancis, Belanda, dan Australia.
Cobaan kembali datang manakala terjadi ledakan bom di Bali. Kali ini, transaksi dengan buyer Korea, Taiwan, Jepang, dan Australia buyar. Omzet Kriya Daun 9996 melorot drastis hingga 70 persen.
"Seperti di Australia, kami biasanya rutin mengirim pesanan minimal Rp 20 juta setiap dua bulan sekali."
Parahnya, buntut invasi Amerika Serikat ke Irak, pesanan botol anggur yang sudah rutin setahun terhenti. Wabah sindrom pernapasan akut parah (SARS) juga makin memperburuk keadaan. Mereka batal mengirim pesanan dan pameran di Malaysia. Â
 "Saya kira semua ujian harus dijalani. Wong namanya saja pengusaha, harus siap untung dan siap rugi. Harus mampu sabar dan tabah."
Sikap Nanik itu membawa dampak positif. Tahun 2005, dia kembali rutin mengirim kotak abu jenazah ke Inggris hingga sekarang. Â
Kesibukan Nanik kini tetap padat. Selain berbinis, ia juga kerap diundang menjadi instruktur wirausaha. Rumahnya kerap jadi jujugan warga daerah lain di Indonesia untuk belajar.
Sebulan, Nanik bisa meraup omzet Rp 50-75 juta. Sebagai pelipur hati, ia acap mengenang almarhum suaminya seiring makin berkembang bisnis yang dilakoni. (agus wahyudi)