Keterbukaan informasi terkait transparansi anggaran masih menjadi barang mahal. Hingga kini, masyarakat masih kesulitan mengakses dokumen anggaran yang notabene menjadi hak publik. Ketidaktahuan dan kesengajaan menjadi penyebabnya.
Seperti pengalaman Iva Hasanah. Perempuan yang menjabat Executive Director Kelompok Perempuan dan Sumber-Sumber Kehidupan (KPS2K), lembaga nonprofit yang bergerak di bidang sosial dan kemasyarakatan. Iva sempat geleng-geleng kepala. Pasalnya, upayanya mendapatkan dokumen anggaran harus tertahan berhari-hari. Sejumlah pejabat pemerintah provinsi dan kalangan anggota DPRD Jatim sudah ia temui. Namun, hasilnya tak cukup memuaskan. Tak jarang, Iva harus pulang dengan tangan kosong.
Ketika itu, Iva ingin mengakses beberapa dokumen anggaran. Yakni, RAPBD, APBD, APBD Perubahan, Rencana Kegiatan Anggaran (RKA), dan Rencana Kegiatan Operasional (RKO).
Terutama dua dukumen terakhir, RKA dan RKO. Kata Iva, keberadaannya paling dibutuhkan. Karena penganggarannya lebih teperinci. Lebih detail. Pos-posnya juga lebih jelas.
"Kalau yang tiga dukumen lainnya (RAPBD, APBD, APBD Perubahan, Red) Â kan sifatnya gelondongan gitu. Bisa sih dianalisis, tapi sifatnya tren," sebut dia.
Sedianya, sambung Iva, dokumen-dokumen itu untuk mengadvokasi isu kesehatan. Yakni, advokasi angka kematian ibu. Berapa anggaran yang digunakan untuk meminimalisasi angka kematian ibu? Apakah penyalurannya sesuai ketentuan dan dirasa memuaskan masyarakat?
Prosedur yang dilakoni Iva sesuai UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Di mana, ia lebih dulu mengirim surat dan memberi tahu dengan mengirim dan memberi tahu lewat lisan. Awalnya, saat audiensi dengan pejabat dinas kesehatan Jatim, Iva merasa bakal dibantu. Pasalnya, pejabat tersebut menjamin akan memberikan seluruh dokumen anggaran yang dibutuhkan.
Tapi faktanya tak seindah janjinya. Saat meminta dokumen-dokumen itu di bagian administrasi, Iva hanya ditunjukkan. "Tidak bisa difotokopi. Alasannya mereka menganggap dokumen rahasia. Padahal itu dokumen publik," beber juru bicara CSO Java Sutra ini.
Apakah penolakan itu lantaran dilatarbelakangi ketidaktahuan atau kesengajaan? "Bisa jadi dua-duanya, sih. Kalau di level kepala dinas mungkin paham UU KIP itu. Tapi di level bawahnya saya kira belum banyak yang paham atau juga ada unsur kesengajaan. Goodwill-nya tidak merata," tandas Iva.
Hal tak jauh beda juga dirasakan Iva saat di Bappeda Jatim. Dia mengaku tidak diberi kemudahan akses. Ia ditunjukkan tumpukan dokumen anggaran yang tebal-tebal. Ia disuruh mencari sendiri dokumen yang dibutuhkan.
Satu lagi institusi yang juga sempat dimintai bantuan, yakni DPRD Jatim. Problemnya hampir sama. Surat yang dikirim tak pernah ditanggapi. Permintaan secara lisan pun tak direspons oleh dewan.
Ujungnya, Iva meminta bantuan temannya yang punya kedekatan dengan anggota dewan. "Kita akhirnya mendapatkan itu, tapi hanya yang bersifat global. RSK dan RSO yang menjabarkan detail anggaran sampai sekarang tak bisa saya dapatkan. Padahal, jantungnya anggaran ada di situ. Kita bisa melakukan advokasi dari dua dokumen tersebut," beber Iva.
Ada juga hal lain yang ditemukan. Semisal, ada program peningkatan kapasitas. Bentuknya pelatihan tenaga kesehatan. Anggaran pelatihan kecil, lainnya tersebar untuk untuk biaya rutin.Â
Hemat dia, pelaksanaan UU KIP ini masih jauh dari harapan. Ketersediaan dan kemudahan mengakses anggaran belum terpenuhi. Birokrasi dirasakan mempersulit. Terlebih, organisasi perangkat daerah (OPD) yang punya anggaran besar yang programnya bersentuhan langsung dengan masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
"Mereka pasti over protect. Jangankan data yang detailnya, data pilah saja seperti angka drop out anak sekolah laki-laki dan perempuan saja sulit diakses," ucap Iva.
***
Banyak lembaga pemerintah yang belum mematuhi Instruksi Mendagri Republik Indonesia Nomor : 188.52/1797/SJ tentang Peningkatan Transparansi Pengelolaan Anggaran Daerah. Di mana ada 12 item kewajiban yang harus ditampilkan di website badan publik sesuai UU KIP.
Ada kewajiban menyampaikan informasi secara berkala. Mulai laporan keuangan, realisasi anggaran, unit kerja, sampai laporan harta kekayaan pejabat negara.
Ke-12 item yang wajib dipublikasikan adalah Ringkasan RKA, Ringkasan RKA PPKA (pejabat pengelola keuangan daerah), RAPBD, RAPBD Perubahan, Perda APBD, Perda APBD Perubahan, Ringkasan DPA (daftar penggunaan anggaran), Â Ringkasan DPD-PPKD, Laporan Realisasi Anggaran SKPD, Laporan Realisasi Anggaran PPKD, Laporan Pertanggungjawaban (LKPj), Opini atas LKPj. Yang kerap didilaksanakan sesuai dengan permendagri terkait biasanua terkait penyampaian LKPJ gubernur.
Bagaiman pun juga, kontrol sosial sangat dibutuhkan untuk mendorong agenda transparansi informasi ini. Selain itu, butuh komitmen kuat mendorong adanya transparansi anggaran.
Hakikat anggaran sejatinya sebagai alat politik. Maka, konsekuensi manajemen anggaran pada prinsipnya bersifat terbuka. Informasi anggaran pemerintah menjadi kebutuhan masyarakat. Masyarakat bisa melaksanakan kontrol sosial. Transparannya ada kinerja bersama-sama. Masukan masyarakat sangat dibutuhkan sebagai umpan balik. Jika hal ini tak terpenuhi, jangan heran di setiap pembahasan RAPBD akan terus berkecamuk "gugatan" terkait transparansi anggaran. (agus wahyudi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H