Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Pahlawan, Sidang Paripurna, dan Suparto Brata

8 November 2019   19:33 Diperbarui: 9 November 2019   16:50 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi:sunday-digital.com

Di momen Hari Pahlawan, saya tiba-tiba teringat dengan sosok yang satu ini. Namanya, Raden Mas Suparto Brata. Karib disapa Suparto Brata (kini sudah almarhum). Seorang sastrawan dan sejarawan kelahiran Surabaya, 27 Februari 1932.

Sebelum meninggal pada 11 September 2015, saya sering bertemu dan berdiskusi dengannya. Terlebih, dia saya pilih menjadi satu dari 21 tokoh yang saya tulis dalam buku Sketsa Tokoh Suroboyo (2006).

Selain dia, ada nama Gombloh, Kartolo, Nyoo Kim Bie, Rusdy Bahalwan, Lim Keng, Nanik Juliati Suryaatmadja, Lilies Handayani, dan masih banyak lagi . 

Suparto Brata adalah penulis produktif. Karya-karyanya berupa cerpen, novel, dan roman sudah banyak dibukukan. Buku yang berbahasa Indonesia sebagian besar diterbitkan Gramedia. Sementara buku berbahasa Jawa lebih banyak dibiayai sendiri alias indie label.  

Ada ratusan buku karya Suparto Brata. Buku-buku yang ditulis Suparto rata-rata cukup tebal, 400-600 halaman. Di antaranya yang sempat diresensi media dan mendapat apresiasi pembaca adalah Saksi Mata, Saputangan Gambar Naga, Kerajaan Raminem, Dom Sumurup Ing Banyu, Mencari Sarang Angin, Kremil, Gadis Tangsi, Pawesti Tanpa Identiti, Donyane Wong Culika, Geger Jayacaraka, dan Rupublik Jungkir Balik.

Saya sejatinya penasaran dengan sosok Suparto Brata yang melahirkan karya-karya bermutu. Meski usianya tidak muda lagi, dia mengaku bisa hidup dari menulis.

Dari menulis, nama Suparto Brata juga tercatat dalam buku Five Thousand Personalities of the World, Sixth Edition, 1998, terbitan American Biographical Institute, Inc 5126.

Dia juga mendapat mendapat tiga penghargaan bergengsi Rancage, yakni tahun 2000, 2001 dan 2005, atas jasanya mengembangkan sastra dan bahasa Jawa.

Suparto Brata punya jadwal rutin melakoni aktivitas menulis. Bangun pukul 03.00 dini hari, kemudian menghadap komputer PC-nya. Baru pukul 07.00, dia beristirahat.

Suparto Brata
Suparto Brata

Biasanya, waktu istirahat dilakukan dengan jalan-jalan pagi dan sarapan. Satu jam kemudian, dia kembali menulis. Selanjutnya jadwalnya tidak pasti. Kadang kalau tak ada tamu dia bisa melanjutkan menulis sampai siang atau sore.

Sehari, Suparto bisa menulis sepuluh lembar di atas kertas folio, spasi tunggal, dengan font huruf 12. Ruang kerjanya sebuah kamar berukuran 4 x 3 meter. Ruang itu ada tempat tidurnya. Ada juga lemari dan rak buku, selain komputer berikut printer-nya. Banyak deretan dan dan tumpukan buku karyanya.

Suparto Brata juga sosok yang concern dengan sejarah Kota Pahlawan. Sudah ratusan artikel, cerpen, novel yang terkait dengan Surabaya. Baik yang berbahasa Indonesia maupun bahasa Jawa.

**

Suatu ketika, saya terlibat perbincangan hangat dengan Suparto Brata terkait Peristiwa 10 Nopember 1945. Yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Peristiwa heroik merebut kemerdekaan yang melibatkan Arek-Arek Suroboyo.

Menurut Suparto, hingga sekarang, peristiwa itu tak pernah terdokumentasi secara baik. Coba ditelisik, berapa banyak dokumentasi yang merekam peristiwa monumental tersebut? Tidak banyak.   

Suparto lalu menyodorkan tiga buku yang ditulis peneliti Belanda. Yakni, Revolutie in Soerabaja karya W. Mellbuijsen (2000), Macaber Soerabaja 1945 karya Richard L, Kloesan (2004), dan Bersiap! (Opstand in Het Paradijs) karya DR. HTMBussemaker. Buku-buku tersebut sudah berulang kali dicetak ulang dan mendunia.

Selain tiga buku tersebut, Suparto meyakini masih ada buku-buku tentang Peristiwa 10 Nopember di Surabaya yang ditulis peneliti Belanda. Juga film-film yang dibuat warga Belanda dengan setting Peristiwa 10 Nopember 1945.

Bukan hanya itu. Hari Pahlawan hingga sekarang berasa hanya sebagai seremonial. Tiap tahun, Presiden RI memberi penghargaan kepada mereka yang telah berjasa terhadap perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Tahun ini, Presiden Jokowi memberi 6 tokoh gelar pahlawan.  

Seperti dilansir KOMPAS.com, 6 tokoh yang dapat gelar pahlawan:

1. Abdoel Kahar Moezakir (anggota BPUPKI/PPKI)
2. Alexander Andries (AA) Maramis (anggota BPUPKI/PPKI)
3. KH Masykur (anggota BPUPKI/PPKI)
4. Prof M Sardjito (dokter dan eks Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada)
5. Ruhana Kudus (wartawan dan pendiri Sekolah Kerajinan Amai Setia di Koto Gadang)
6. Sultan Himayatuddin (Sultan Buton)

Semua plakat tanda jasa dan penghargaan gelar pahlawan nasional diberikan oleh Presiden Jokowi kepada para ahli waris.

Semasa hidup, Suparto Brata getol menggagas gerakan mendukung peringatan Hari Pahlawan dipusatkan di Surabaya. Dia aktif memberikan keterangan di media dan menulis di jurnal pribadi yang kemudian diviralkan di media sosial.

Pernyataan dan tulisan Suparto terkait sejarah Surabaya juga kerap mendapat respons banyak khalayak. Seperti saat perdebatan soal kematian Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby. Suparto mengatakan, hingga detik ini siapa yang menewaskan Mallaby tetap menjadi misteri.

"Tidak ada yang tahu atau saksi mata yang melihat siapa yang membunuh Mallaby."

Ya, Peristiwa 10 Nopember 1945 agaknya tak pernah menjadi goresan penting dari sejarah bangsa ini. Di banyak daerah di Indonesia, Hari Pahlawan biasanya lebih banyak diperingati dengan upacara bendera. Di instansi pemerintah ada kewajiban aparat sipil negara (ASN) memakai baju dan memutar lagu-lagu perjuangan. Sebagian warga ada mengekspresikan dengan tearikal, pergelaran musik, dan parade juang.

Bagi bangsa yang punya sejarah panjang, peringatan Hari Pahlawan sepantasnya lebih memiliki makna kenegaraan. Yang diusulkan Suparto Brata, mengapa di setiap peringatan Hari Pahlawan tidak digelar sidang paripurna?  Adanya sidang paripurna Hari Pahlawan tentu akan memberikan kesan mendalam dan punya "kesakralan". Betapa bangsa ini sangat menghargai arti dan perjuangan Pahlawan.   

Sidang paripurna itu, diharapkan bisa menjadi cermin, refleksi, dan retrospeksi bagi pemangku kebijakan dan masyarakat. Tentang spirit dan arti penting kepahlawanan. Jika Peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya itu bukan bersifat "kebetulan". Melainkan pernyataan sikap Arek-Arek Suroboyo yang pantang menyerah. Menolak tunduk terhadap penindasan kaum kolonial.

Hari Pahlawan sepantasnya menyadarkan jika momentum itu bukan sekadar peristiwa kepahlawanan lokal atau nasional. Tapi telah mendunia dan pantas diingat dan diteladani.

Makna pentingnya, jika dulu perjuangan melawan kolonial untuk merebut kemerdekaan, sekarang berjuang membebaskan keterbelakangan, kemiskinan, dan keterpurukan.

Dan akhirnya, saya ingin mengutip cuplikan pidato Bung Tomo:

"Darah pasti banyak mengalir. Jiwa pasti banyak melayang. Tetapi pengorbanan kita ini tidak akan sia-sia, Saudara-saudara. Anak-anak dan cucu-cucu kita di kemudian hari, insya Allah, pasti akan menikmati segala hasil perjuangan kita ini."

 Selamat Hari Pahlawan...(agus wahyudi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun