Dibantu suaminya, Wiwit mengumpulkan enceng gondok. Tahap pertama, ia sisihkan batangnya. Batang itu dipakai sebagai bahan utama kerajinan. Wiwit lantas mengeringkannya. Harus benar-benar kering agar pengerjaannya mudah.
Butuh waktu 14 hari mengeringkan eceng gondok. Itu bila ada sinar matahari. Kalau cuaca gak menentu, pengeringan bisa makan waktu cukup lama.
Setelah benar-benar kering, satu per satu helai dianyam hingga berbentuk lembaran panjang. Wiwit mengolahnya hingga pipih. Untuk mendapatkan hasil pipih, enceng gondok harus dipres.
Tidak langsung jadi. Pasalnya, hasil anyaman Wiwit ternyata bagus. Dia butuh 8 kali belajar hingga berhasil. "Dari situlah produk saya mulai dilirik tetangga sekitar. Saya akhirnya mulai berani jual hasil karya saya yang pertama," turur wanita kelahiran 15 April 1967, ini.
Tahun 2008, produk eceng gondok Wiwit jadi unggulan Kelurahan Kebraon. Lamat tapi pasti, kerajinan eceng gondok Wiwit mulai dilirik Pemerintah Kota Surabaya.
Wiwik mengungkapkan, kali pertama ikut pameran di Gramedia Expo, ia tampilkan tas wanita bahan eceng gondok yang diberi hiasan bunga dan pemandangan alam.Â
Wiwit mengaku minder. Sebab, produk peserta pameran lain kualitasnya jauh lebih baik dari miliknya. Akan tetapi, panitia menyemangatinya agar tetap berkiprah.
"Yang paling saya ingat ketika ikut pameran Pahlawan Ekonomi. Â Produk saya dilihat Bu Risma (Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini). Bu Risma bilang desainnya jelek," ucap perempuan berjilbab ini.
Kritik Risma itu jadi pelecut diri. Wiwit makin bersemangat membuat kreasi produk. Beberapa bulan, ketika bertemu Bu Risma lagi dalam event pameran, komentarnya berbeda. "Lha, ngene iki apik. Iki isok didol larang. (Begini ini bagus. Bisa dijual mahal, red)," kata Wiwit menirukan ucap Risma
***