Dari segi pendapatan juga terbilang relatif cukup. Tahun 1999, Suparti mendapat bayaran 350 ringgit, bila dirupahkan sekitar Rp 700 ribu. Uang tersebut cukup untuk biaya hidup tiga anaknya. Juga mencicil utang-utangnya. Dari penghasilannya, Suparti masih bisa menyisakan untuk ditabung.
 "Tiap tahun gaji saya pasti naik 50 ringgit," ungkap Suparti. Â
Hidup di negeri orang tak selamanya membuat Suparti nyaman dan bahagia. Meski ada kesempaatan cuti untuk pulang ke Surabaya, namun Suparti masih belum puas.
Memasuki tahun ke-12, Suparti risau. Dia merasa tak mungkin berlama-lama meninggalkan anak-anaknya. Selain itu, kondisi fisiknya juga mulai menurun.
"Kalau buat nyamu, nyuci, dan ngangkat barang sakit sekali," aku Suparti yang mengeluhkan kedua tangannya. Nur Soraya tahu keluhan Suparti. Dia sempat  dibawa berobat ke rumah sakit. Nur Soraya juga meminta Suparti istirahat dulu.
Suparti mengaku, meski majikannya baik, tapi dirinya sedih. Di sela bekerja, dia kerap menangis. Hal itu sempat dipergoki majikannya. "Apa kamu akan terus menangis sampai kontrakmu habis?" begitu majikannya berucap. Ditanya seperti itu, Suparti tak menjawab. Â
Selama di Malaysia, Suparti tidak boleh berkomunikasi dengan keluarga. "Di sana saya sarapan pagi dengan dua keping roti. Makan nasi hanya satu kali. Makan malamnya mie instan," ucap Suparti.
Tahun 2011, Suparti nekat pulang ke Tanah Air. Keputusannya sudah bulat. Hujan batu di negeri sendiri lebih baik ketimbang hujan emas di negeri orang. Begitu kata pepatah.
***
Pulang ke Surabaya, Suparti menyisakan tabungan. Sebagian ia pakai buat membangun rumah. Iseng-isen ia bikan kacang goreng. Barangnya dititipkan ke warung-warung kopi.