"Mas, aku diundang karo Dinas Perdagangan. Jare dikon crito pengalaman dodolan kacang. (Mas, saya diundang Dinas Perdagangan. Katanya disuruh menceritakan pengalaman jualan kacang, red)," begitu kata Suparti saat bertemu saya di Kaza City Mall.
Di tempat itu, Suparti biasa datang pada hari Minggu. Ikut pelatihan Pahlawan Ekonomi Surabaya. Bareng ratusan perempuan pelaku usaha lainnya. Â Â
"Jare sing teko wong-wong sing arep daftar dadi TKI, Mas. (Katanya yang datang mereka yang berminat menjadi tenaga kerja Indonesia, Mas, red)," imbuh perempuan berjilbab ini. Â
Saya tersenyum. Bangga. Sekaligus haru. Suparti yang sebelumnya pernah 12 tahun menjadi TKI di Malaysia, kini bisa menularkan sucuil pengalaman bisnisnya. Â
Suparti telah mencecap pahit getir kehidupan. Dulu, ia pernah punya usaha konveksi. Namun karena krisis ekonomi akhirnya bangkrut, 1998. Ujian makin berat setelah rumahnya di Wonokusumo, Surabaya terbakar. Dia menangis. Meratapi kejadian yang menyesakkan dada.
Di sisi lain, ia harus menghidupi ketiga anaknya Galih Permana, Ganda Pambudi, dan Gardika Putra Prasetya yang masih sekolah, sendirian. Juga kewajibannya melunasi utang-utangnya.
Pilihan berat harus diambil Suparti. Dia memenuhi tawaran bekerja sebagai TKI di Malaysia. Juni 1999. Suparti berangkat ke Negeri Jiran. Keberagkatannya dibantu Jamaludin, tetangganya.
"Dia (Jamaludin, red) yang menawari. Ada pekerjaan jadi penjahit di Malaysia. Gajinya besar," ucap Suparti, mengenang.
Tawaran yang menggiurkan. Suparti seperti bermimpi ketika akhirnya ia tiba di Bandara Internasional Kuala Lumpur. Â Di pintu keluar bandara, Suparti sudah ditunggu seorang pejemput yang membawa plakat dengan selembar kertas bertuliskan namanya.Â
"Saya Suparti dari Indonesia,"