Konfigurasi perolehan suara pada Pemilu Serentak 2019 telah menentukan komposisi anggota legislatif. Dari konfigurasi tersebut kemudian melahirkan hasil rekrutmen politik, yakni legislator. Yang menduduki kursi terhormat sebagai wakil rakyat.
Dalam perspektif politik, legislator sebenarnya tak lebih sebagai masyarakat biasa. Hanya, lantaran terlibat aktif dalam proses kegiatan politik, dia pun mendapat kedudukan sebagai elite politik.
Dalam konteks ini, saya mengamini apa yang dibeberkan Czudnowski. Di mana, ada tujuh variabel penting yang menentukan terpilihnya seseorang menjadi elite politik.
Pertama, social background. Ini terkait dengan status sosial dan ekonomi. Misalnya, seorang elite politik yang dari kalangan terpandang. Ia kemudian mendapat kesempatan besar menduduki kekuasaan.
Kedua, political socialization. Di mana ia memiliki kemampuan bersosialisasi untuk mempengaruhi persepsi masyarakat. Itu biasanya dilakukan dengan melempar isu-isu yang menyentuh kepentingan masyarakat.
Ketiga, initial political activity. Faktor pengalaman elite politik yang kenyang ikut organisasi-organisasi politik. Pengalaman itu bisa mendorong kedewasaan dalam berpolitik.
Keempat, apprenticeship. Istilah sederhananya magang. Tak sedikit elite politik sebelum kariernya menanjak menimba ilmu dari seniornya. Ini juga yang mengakibatkan banyak elite yang tidak bisa lepas dari bayang-bayang pendahulunya.
Kelima, occupational variables. Faktor ini terkait dengan kemauan elite menambah wawasan dan pengalaman kerja. Faktor ini kerap diabaikan, sehingga banyak kita saksikan seorang elite sering gagap menyikapi tuntutan masyarakat karena kapasitas intelektualnya.
Keenam, motivations. Ada dua asumsi yang bisa dirujuk dari faktor ini, yakni harapan dan orientasi mencapai tujuan. Dalam pratiknya, tidaklah mudah menyatukan dua kepentingan tersebut. Sehingga jangan heran bila ada elite yang memanipulasi tujuan pribadi (personal needs) menjadi kepentingan masyarakat.
Ketujuh, selection. Ada dua mekanisme rekrutmen politik. Yakni dilakukan secara terbuka yang bisa melihat track record elite yang ikut rekrutmen politik. Dan rekrutmen tertutup yang lebih banyak ditentukan oleh petinggi partai. Â
Yang menjadi kenyataan sekarang, sangat kecil masyarakat yang paham siapa sosok-sosok yang bakal menduduki jajaran legislatif. Baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota.