Namanya Hj. Chofiyah. Karib disapa Bu Jai (suaminya, Achmad Suedja'i). Seperti lazimnya masyarakat di Jawa Timur, bisanya menambahkan nama suami, atau menyebut nama belakang suami.
Bu Jai adalah perempuan pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM). Tinggal di Kampung Bendul Merisi, Surabaya. Usianya 27 tahun (eh, kebalik he he he). Saya biasa menggoda dia dengan membalik usianya. Punya empat anak. Semua sudah berkeluarga. Cucunya 9 orang.
Di kalangan pelaku UMKM Surabaya, bisa dibilang Bu Jai paling senior. Demikian untuk tidak menyebut dia sudah tua atau lawas. Produk unggulannya: lapis Surabaya dengan brand De Lapis. Nama UMKM-nya Dapur Flamboyan.
Bu Jai merintis bisnis di usia tidak mudah lagi: 64 tahun. Bergabung di Pahlawan Ekonomi, tahun 2011. Program pemberdayaan ekonomi perempuan yang diinisiasi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Di Pahlawan Ekonomi, saya juga membantu mementori digital marketing sekaligus menjadi humasnya.
Sebelum bergabung di Pahlawan Ekonomi, Bu Jai mengaku sempat nyaris frustasi. Pasalnya, dia berkali-kali ditolak ketika mendaftarkan diri ikut pelatihan wirausaha yang diselenggarakan beberapa instansi di Surabaya. Penyebabnya, kendati tidak diutarakan, karena "faktor U" alias usia. Apa mungkin di usia segitu bisa optimal menjadi pelaku usaha?
Suatu ketika, Wali Kota Risma menghadiri acara road show Pahlawan Ekonomi di Kecamatan Wonocolo. Momen itu dimanfaatkan betul oleh Bu Jai. Dia "protes" pada wali kota perempuan pertama di Surabaya itu.
"Bu Risma, saya kok gak boleh ikut pelatihan. Saya kan pingin ngasih uang jajan cucu saya," ucap Bu Jai, saat menghampiri Wali Kota Risma.
"Ibu dari mana?" tanya Wali Kota Risma.
"Saya warga Bendul Merisi, Bu."
Wali Kota Risma tersenyum. Dia lantas memanggil komite Pahlawan Ekonomi. Minta segera mengakomodasi keinginan Bu Jai. Seraya memberi semangat agar Bu Jai tetap gigih dalam berusaha.
Tak perlu menunggu lama, Bu Jai akhirnya ikut pelatihan Pahlawan Ekonomi. Digelar tiap pekan. Tempatnya di lantai 2 Grosir Kapas Krampung (GKK) kompleks Kaza City Mall. Sekitar 6 kilometer dari rumahnya. Bu Jai datang ke lokasi naik angkot. Sendirian. Â Â Â
Saya masih ingat, Bu Jai selalu datang lebih awal. Dia juga selalu ambil posisi duduk di depan. Alasannya karena ingin jelas mendengar dan melihat apa yang dilatihkan. Bu Jai juga selalu bawa buku tulis. Dia catat hal-hal yang dianggap penting. Jika ada yang tak jelas, dia tanyakan langsung ke mentornya. Kalau sudah kadung di rumah, dia tanyakan kepada cucunya.
***
Pekan demi pekan, Bu Jai menikmati pelatihan. Dia bergabung di cluster home industry. Fokus belajar membuat kue, roti, pastry, dan sejenisnya. Mentor-mentornya dari Surabaya Hotel School (SHS). Â Â
Di satu sesi, Bu Jai belajar bikin kue lapis Surabaya. Biasa disebut kue spiku. Resep sudah disiapkan. Bu Jai ikut praktik hingga kelar. Tak puas, dia coba praktik sendiri di rumah. Hasilnya dia  bagikan ke tetangganya. Seraya meminta saran dan masukan.
Pekan berikutnya, Bu Jai membawa lapis Surabaya buatannya ke tempat pelatihan. Dia lantas  men-tester-kan kepada Muawaluyo Tsamara (mentor dari SHS). Setelah diincipi, Muawal menilai belum memuaskan alias kurang enak. Muawal minta Bu Jari terus mencoba. Ia juga memberi tips meracik bahannya.
"Kalau perlu pakai timbangan, biar takarannya pas," saran Muawal.
Bu Jai mengamini. Di rumah, dia praktikkan lagi. Berkali-kali. Hingga dia yakin kue lapis Surabaya bikinanya benar-benar lezat. "Gak ngitung berapa kali. Banyak lah. Saya coba mulai dari adonan dimodifikasi sampai cara memasaknya," beber Bu Jai.
Selang beberapa pekan, ada kompetisi internal Pahlawan Ekonomi. Salah satu yang dilombakan membuat lapis Surabaya. Bu Jai memberanikan diri ikut kompetisi tersebut. Gak sia-sia. Lapis Surabaya bikinannya dapat juara pertama. Bu Jai girang bukan kepalang.
Pengalaman itu menguatkan kepercayaan dirinya. Terlebih, dari prestasi yang diraihnya, dia kemudian mendapat pesanan. Ada pemesan dari orang-orang di sekitar rumahnya, ada juga pembeli yang tahu dari rekomendasi teman-temannya yang ikut pelatihan Pahlawan Ekonomi. Semua dilayani Bu Jai dengan ramah dan gembira.Â
Pesanan kue lapis Surabaya terus mengalir. Bu Jai juga terima pesanan kue jenis lain dan katering. Awalnya, ia dibantu cucunya. Namun seiring meningkatnya pesanan, ia mulai kuwalahan. Ia lantas ngajak tetangganya. Tidak gratis. Bu Jai mengganti jerih payah tetangganya dengan uang. Itung-itung buat tambahan uang belanja. Lima orang tetangganya pun ikut membantunya.
Lapis Surabaya Bu Jai makin terkenal. Bahkan, kue-kue racikannya juga dipesan rutin instansi pemerintah dan swasta. Bu Jai juga punya pelanggan fanatik di Jakarta, Kalimantan Barat, Batam, dan Papua. Artis Marissa Haque salah satu customer yang kepincut Lapis Surabaya bikinan Bu Jai.Â
Kalau ditanya omzet, Bu Jai selalu berkelit. Dia cuma bilang,"Ee.. Kalau itu tidak mesti, naik turun." Belakangan saya ketahui omzetnya Rp 15-20 juta sebulan.
Atas usahanya, Bu Jai dinobatan sebagai Juara 2 Culinary Business Pahlawan Ekonomi Award 2012. Dia sangat bersyukur jerih payahnya ini juga bisa dinikmati cucunya. Tahun 2017, dia bisa memberangkatkan cucunya umrah ke Tanah Suci. Subhanallah.
***
Seperti cerita sinetron. Dulu, Bu Jai mengejar-ngejar Wali Kota Risma karena ngebet ingin bisa diikutkan pelatihan. Sekarang, justru sebaliknya. Di setiap kesempatan bersama pelaku usaha Surabaya, Bu Jai selalu dicari Wali Kota Risma.
"Di sini ada Bu Jai, ya. Tolong maju ke depan," begitu kata Bu Risma saat memberi sambutan di berbagai acara UMKM. Â
Di mata Bu Risma, Bu Jai adalah sosok pantas diteladani. Gigih, kendhel (berani), gak gampang muthung (menyerah). "Karena Tuhan Maha Adil. Siapa pun berhak untuk sukses," sebut salah satu wali kota terbaik dunia itu.
Hingga kini, Bu Jai hidup mandiri. Saban bulan, dia selalu mendapat kiriman empat amplop jatah bulanan empat anaknya. Namun sudah bertahun-tahun dia tak pernah membukanya. Bu Jai baru menggunakan uang itu kalau ada kebutuhan mendesak, sakit atau membantu orang yang lagi susah. Tak terkecuali dibagikan kepada cucu-cucunya.
Bu Jai juga bisa menjadi contoh, bahwa sukses usaha tak mengenal usia. Tak pernah ribet soal kapan waktu merintis usaha. Memulai saja. Mengikuti prosesnya. Lalu memasrahkan kepada Sang Khalik ketika semua ikhtiar telah dilakukan. (agus wahyudi) Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H