Diskursus soal era disruption masih menghangat. Perdebatan seolah tak kunjung habis. Dari perbincangan seputar definisi, makna, hingga dampak yang terjadi, khususnya bagi pebisnis yang sudah established .Â
Era disruption sering diartikan sebagai masa membanjirnya inovasi-inovasi yang tidak kasat mata dan tidak disadari oleh institusi-institusi mapan. Pada gilirannya hal itu memprorak-porandakan jalannya aktivitas tatanan dan menghancurkan sistem lama.
Rhenald Kasali, guru besar FE UI, mendefinisikan era disruption sebagai revolusi perubahan yang tengah terjadi dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Perubahan itu dimotori oleh perkembangan teknologi informasi. Kata dia, dunia telah mengalami disruption, di mana kondisi yang ditandai dengan indikator simpler (lebih mudah), cheaper (lebih murah), accesible (lebih terjangkau), dan faster (lebih cepat).
Kita bisa menyebut kasus transportasi berbasis aplikasi seperti Go-Jek, dan Grab. Di mana lamat tapi pasti, fakta yang terjadi di lapangan menjadi bukti betapa bisnis transportasi konvensional sekarang sangat rentan dan terancam gulung tikar lantaran digantikan dengan apps-based transportation service.Â
Kenyataan ini membuat banyak pebisnis galau. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang gagap menghadapinya. Di antara memilih mempertahankan atau melanjutkan dengan sinyal perubahan.Â
Di era disruption, inovasi menjadi kata kunci. Pasalnya, perubahan yang paling berat bukan pada fisik, tapi yang dipandu software. Perubahan yang mengharuskan pelaku bisnis beralih ke digital.
Dulu, orang mengukur keberhasilan usaha ketika outlet-nya dijubeli pembeli. Sekarang sebaliknya, banyak pembeli mencari dan berbelanja via online. Kemajuan teknologi membuat pola perilaku konsumen berubah drastis. Yang kerap terjadi, banyak para pebisnis tak sadar dan tiba-tiba merasakan ada penurunan omzet.
Struktur Demografi
Dalam konteks bisnis, kita juga bisa melihat dari struktur demografi. Â Jika ada pengangguran di tahun 2018, idealnya teridentifikasi apakah dia sudah ikut program wajib belajar atau tidak. Jika ikut sampai lulus SMA seharusnya tidak merepotkan orang lain dan tidak mendedikasikan diri menjadi pengangguran.
Menurut Chairperson Enciety Business Consult Kresnayana Yahya, kelompok usia 17 sampai 24 tahun yang lulus SMP/SMA, mestinya bisa menikmati kesempatan bekerja dengan kreativitas dan pendayagunaan gadget atau internet.