Mohon tunggu...
Agus Wahyudi
Agus Wahyudi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia

Alumni PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rezim Regulasi Pemerintahan Jokowi

28 Mei 2024   03:43 Diperbarui: 28 Mei 2024   03:43 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebelum ditutup pertemuan pada Selasa (07/05/2024) sore, Pak Busyro Muqoddas menyuguhkan film yang menampilkan kekayaan alam di Indonesia. Lirik lagu "Indonesia Tanah Air Beta" mengiringi setiap slead foto SDA di Indonesia. Mulai dari Migas, tambang emas, nikel, batu bara hingga tambang sawit. Agus Setiawan, salah satu teman saya menyeletuk, "kaya banget Indonesia ini?."

Sialnya kekayaan alam Indonesia itu, hanya dinikmati oleh segelintir elite saja. Di slead foto terakhir, nampak ibu-ibu pengemis dan anak kecil yang hampir mati kelaparan dipinggir jalan. Mereka tidur beralaskan koran dibawah jembatan. Negeri yang jelas-jelas sudah kaya tidak bisa mencukupi kekayaan rakyat Indonesia, apalagi hanya program  makan siang gratis, bisa mati tengah malam saya.

"Di era rezim Soeharto saja, kekayaan Indonesia dikuasai oleh Amerika sebanyak 99% sebagai pemilik technologi. Jatah untuk Indonesia hanya 1%," ungkap BM sapaan akrabnya.

Tak hanya itu, Mantan wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), itu juga mengurai bagaimana akar konflik lingkungan yang ada di Indonesia yang cenderung merusak lingkungan. Menurutnya kebijakan oligarkis yang paling banyak di zaman Joko Widodo. Dimasa Kabinet Indonesia Maju ini, terjadi sentralisasi kebijakan.

"Sentralisasi itu terdapat di Izin Usaha Pertambangan (IUP), Undang-undang Omnibus Law. Produk lagislasi ini merengut esensi dari pasal pencegahan. Padahal pasal pencegahan ini jelas, untuk mencegah kekuasaan sewenang-wenang (abuse of power)."

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta merillis Ihwal omnibus law di tahun 2020. Dalam tulisan itu menjelaskan bahwa UU Cipta Kerja ini cacat secara formil dan materil. Sejak tahap penyusunan pemerintah tidak lagi melibatkan rakyat, dan masyarakat terdampak. Produk legislasi besutan ayahanda Gibran Rakabuming Raka ini acapkali abai terhadap prinsip transparansi dan partisipasi publik.

"Substansi RUU yang ditengarai akan memperparah kerusakan ekologis dan kemiskinan struktural. Proses pembentukan yang tertutup semakin mendiskriminasi rakyat miskin sebab penyusunan, pembahasan, hingga pengesahannya dipaksakan ketika seluruh rakyat Indonesia sedang berjuang menghadapi Pandemi COVID-19," Tulis LBH Jakarta.

Dari sini semakin nyata bahwa UU Omnibus law hanya untuk menyambut kebutuhan oligarki kapital. Bukan atas dasar kepentingan rakyat!
Nada Sumbang Akar Rumput

Saya teringat kisah dengan beberapa kolega waktu masih di Paiton. Kala itu kami masih Mahasiswa Baru di tahun 2019. Satu minggu selepas mengikuti Orientasi kampus dan pesantren, kami berdua kekampus untuk melengkapi administrasi. Sampai didepan kampus, poster bertuliskan "Tolak UU Ciptakerja" terbentang di depan gedung rektorat. Para mahasiswa berkumpul, mendengarkan nada sumbang orator didepan gedung rektorat kala itu.

"UU Ciptaker ini mencedarai masyarakat akar rumput, wabil khusus buruh. Proses penyusunanya ini secara ugal ugalan minim partisipasi. Mari kawan-kawan, kita tolak bersama"

Gelombang penolakan dari mahasiswa di tahun 2019 kala itu membanjiri gedung DPRD Probolinggo. Para mahasiswa Probolinggo menolak UU Cipta Kerja. Naas gelombang penolakan itu hanya menjadi sura bising jalanan bagi Jokowi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun