Dahulu, Polri berada di Bawah ABRI; posisi Kapolri sejajar dengan KASAD atau KASAL. Negeri ini sepakat mereformasi Polri dan mereposisikannya secara lebih tepat dalam masyarakat sipil dimana Polri adalah Aparat Penegak Hukum dan berfungsi juga sebagai penjaga keamanan dan ketertiban rakyat. Di sebagian besar struktur diberbagai negara lain, Kepala Polisi itu lapor kepada Menteri Dalam Negeri (jadi artinya selevel Dirjen) untuk tingkat nasional dan melapor kepada Gubernur atau Walikota/Bupati ditingkat daerah, tergantung tingkatan wilayahnya.
Dalam masa transisi pengalihan kekuatan Polri (yg dulu ada di bawah ABRI) itu, perlu penguatan dan dukungan politik agar kewibawaan dan kemandirian Polri sebagai bagian dari masyarakat dan institusi sipil yang menjalankan letan aparat penegak hukum itu cepat terbentuk. Itulah mungkin sebabnya dimasa awalnya posisi Kapolri diletakkan langsung di Bawah Presiden (sehingga sejajar dengan Pangab). Lalu kita masih sempat melihat dalam beberapa periode proses pemisahan dan pelaksanaan leran Polri yg baru itu menimbulkan gesekan (yg kadang cukup keras) dengan TNI di lapangan. Polri kemudian memperkuat pasukan pengamanannya dgn memperkuat satuan Brimob dan beberapa satuan lain seperti Densus 88. Belakangan ini TNI cukup dapat menahan diri dan gesekan dgn Polri relatif sudah jarang sekali terdengar. Namun apa yang kemudian kita lihat terjadi pada Polri ?
Disaat mulai memperoleh kepercayaan diri dan memiliki kekuatan pasukan yang cukup, arogansi Polri terlihat sangat menonjol. Dugaan praktek2 Korupsi ditubuh Polri terindikasi demikian kuat. Penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok2 tertentu atau sebagai alat dan lerpanjangan tangan penguasa juga jadi terlihat menonjol. Institusi dan para petinggi polri pun seakan menjadi dewa yang tak boleh disentuh. Lihatlah kasus Rekening Gendut para Perwira Tinggi Polri dengan angka-angkabRupiah yabg SANGAT FANTASTIS yg sudah menyebar luar diberbagai Media dan diketahui masyarakat; tak ada yang boleh menyentuhnya. Upaya membongkarnya dalam Kasus BG misalnya (walau memang ada kesan terburu-buru dan sedikit dipaksakan) berakhir dengan "pembalasan" Polri mempidanakan Ketua KPK, Abraham Samad, dalam kasus remeh-temeh, pelanggaran dokumen kependudukan dimasa lalu dan dalam kasus tersebut tidak jelas sama sekali apa kerugian yabg ditimbulkan perbuatan itu karena orang yg kemudian membuat Pasport dari KK yg katanya palsu itu juga so far terlihat tidak berbuat kejahatan atau tindak pidana lain. Padahal, juga sudah beredar luas di Media misalnya, petinggi Polri BG justru menggunakan KTP Palsu untuk membuka 2 rekening di 2 bank lalu mengisi rekening itu masing2 dengan uangnya dari rekening lain sebesar Rp 5 milyar. Pertama jelas itu indikasi memiliki KTP ganda dan itu pelanggaran dokumen kependudukan yg nyata; kedua, itu ada banyak duit2 milyaran seliwar seliwer yang totalnya sangat fantastis bahkan sebagian (puluhan milyar) berbentuk TUNAI alias CASH yg sangat tidak masuk akal itu uang apa atau dari mana ????? PPATK sudah memberikan data dan mengindikasikan adanya upaya pencucian uang. Namun hal2 yg sangat nyata dan kasat mata itu apakah masalah dimata Polri ? TIDAK. Kasus AB yg gak jelas itu masalah, kasus BG yg sabgat jelas itu tidak masalah dan baik2 saja. AB ditahan (walau kemudian ditangguhkan penahanannya dengan jaminan para petinggi KPK), BG yang pernah dicabut pencalonannya sebagai Kapolri malah dijadikan Wakapolri (dimana Kapolrinya tak lama lagi pesiun). Lalu Bambang Wijayanto juga ditangkap (dan juga kemudian dilepaskan dari tahanan setelah publik bereaksi dan mendapat jaminan dari pimpunan lain di KPK) dengan tuduhan melakukan tindak pidana lain dimasa lalu. Sekarang Novel Baswedan penyidik KPK yg mengusut kasus BG juga ditangkap dengan tuduhan tindak pidana dimasa lalu. Sementara itu Kasus BG "dipaksa" untuk dilimpahkan ke Kejaksaan Agung agar tidak diteruskan dan benar saja, oleh Kejaksaan Agung malah diserahkan kembali ke Polri. Padahal kita semua tau, KPK tifak mengenal SP3. Oleh karena itu tidak akan sesembrono itu para penyidik dan pimpinan KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka jika tak ada bukti permulaan yang kuat.
Lantas apa artinya semua drama-drama itu ??? Dimata publik jelas: Pelemahan KPK. Dari sisi Polri walau sudah tentu resminya ini adalah murni masalah hukum dan sudah tentu Polri akan berusaha membuktikan itu, dari sisi sosial juga jelas pesannya: "Kami untouchable dan jangan pernah coba2 membongkar kebusukan kami. Semua tidak boleh korupsi atau melanggar hukum, kecuali kami. Siapa pun yang mencoba-coba mengutak-ngutik kekuasaan kami akan berakhir di Penjara." Seakan-akan, sepertinya itulah pesan terselubung tapi nyata yg berhasil disampainya (walau secara formal sudah tentu akan dibantah). Dan, pesan itu sangat jelas.
Lalu kini masihkah kita bisa berharap ke Polri sebagai institusi penegak hukum yg penting demi menjaga ketertiban masyarakat dan arah pembangunan negeri ini ???
Kembali ke kedudukan Polri didalam struktur ketatanegaran kita, tampaknya kini sudah waktunya melakukan reformasi atau bila perlu revolusi Polri tahap kedua. Polri sudah cukup punya kekuasaan dan kekuatan dan bahkan sudah "terlalu" berkuasa dan kuat sehingga berani melawan perintah Kepala Negara. Sudah waktunya memposisikan Polri secara lebih tepat dibawah Mentri Dalam Negeri atau jika dinilai lebih tepat dibawah Menkopolkam. Pemilihan Polri tidak perlu melibatkan DPR, seperti juga pemilihan Panglima TNI dan Jaksa Agung. Semua itu adalah bagian dari kekuasaan Presiden dan merupakan tanggung jawab Presiden sebagai Kepala Negara untuk menjaga ketertiban, keamanan dan pelaksanaan hukum di negeri ini.
Sudah waktunya juga memastikan perbaikan internal dan penguatan institusi Kejaksaan karena dalam struktur masyarakat sipil Polisi itu tunduk pada Kejaksaan. Kejaksaan bisa membatalkan perkara2 yang diajukan Polisi jika dinilai tidak berdasar.
Sementara itu, kita tetap perlu memperkuat KPK selagi Polri dan Kejaksaan belum kuat komitmen dan belum terbukti kinerjanya dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Mohon dicatat saya beberapa kali telah mengatakan juga bahwa KPK bukan dewa yang tak dapat tersentuh. Itulah sebabnya ini akan menjadi cambuk bagi KPK untuk bekerja secara lebih profesional dan berhati -hati dan cepat dalam bertindak. KPK juga perlu berbenah diri karena perlawanan terhadap upaya pemberantasan korupsi ini sudah pasti akan sangat keras dan terutama itu akan datang dari kalangan aparat lenegak hukum lain dan penguasa (termasuk berbagai partai politik).
Sedih melihat carut marut pelaksanaan hukum di negeri ini. Memang tak akan ada yang sempurna di dunia ini (termasuk penerapan hukum). Namun penerapan hukum dalam ketidaksempurnaan itu tetap diperlukan penerapan dengan prioritas dan rasionalitas. Saya tetap percaya kita butuh Polri yang kuat, bersih, profesional dan berwibawa untuk negeri sebesar ini. Itulah sebabnya menurut sya kita perlu segera mereformasi atau jika perlu merevolusi Polri. Mempertahankan pencapaian2 yang telah berhasil dilakukan Polri (penanganan Teroris misalnya) dan segera membongkar dan melakukan perbaikan besar2an ditubuh Polri. Siapakah yang dapat melakukannya kecuali Kepala Negara ? Berharap akan ada hikmah dan berharap perbaikan dihari esok. Harapan tak boleh hilang jika kita mencintai negeri ini dan berharap masa depan yang lebih baik untuk generasi mendatang.
Salam Indonesia Raya.