Mohon tunggu...
Agus Tulastyo
Agus Tulastyo Mohon Tunggu... lainnya -

Praktisi periklanan, Pengamat media, Peneliti. "All Truth passes thru three stages: First, it is ridiculed. Second, it is violently opposed. Third, it is accepted as self-evident." - Arthur Schopenhauer; German Philosopher

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Media dan Dekomposisi Demokrasi

9 Juli 2014   21:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:51 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Partisipasi media masa, dalam membantu membangun negeri ini menjadi salah satu negeri penganut sistem demokrasi terbesar didunia, tidak terbantahkan bahkan  sangat signifikan. Mulai dari menjatuhkan rejim opresif, hingga mendidik rakyat Indonesia untuk menjalani hidup sehari-hari mereka dibawah rejim demokrasi; Dari masyarakat berkultur feodal “sendiko gusti”, menjadi masyarakat kritis dan berani menyatakan pendapat serta opini terhadap situasi dan kondisi yang sedang berlangsung.

Seiring dengan tumbuh kembang demokrasi, media massapun menikmati hasil perjuangannya, yaitu terlepas dari segala ketentuan opresif yang membelenggu. Media massa menjadi bebas dimiliki siapapun, oleh siapapun, bagi siapapun warga negara Indonesia; Memiliki kebebasan untuk memberitakan berbagai hal, sejauh tidak menyimpang dari  kaidah-kaidah dan etika jurnalistik.

Yang harus mandapat perhatian khusus dan serius dari masyarakyat adalah, perihal kepemilikannya. Saat ini media massa hanya dikuasai segelintir orang. Kondisi seperti ini tentu sangat tidak ideal dan berbahaya. Pada suatu hari nanti, media akan dijadikan alat perusak sistem demokrasi yang telah kita bangun. Dan media akan mengalami pembusukan dari dalam dirinya sendiri. Saat ini sedikit demi sedikit dekomposisi demokrasi sedang berlangsung, melalui media massa yang dikendalikan dan terkontaminasi oleh agenda tertentu para mogul, elit, dan birokrat penguasa.

“Whoever controls the media, controls the mind”

- Jim Morrison (1943-1971)

Propaganda

Dikembangkan dan populer pada saat WW II dan Post WW II; Propaganda secara formal diinstitusikan oleh Hitler dalam kabinetnya, yang dipimpin oleh Joseph Goebbel sebagai Reich Minister of Propaganda. Disisi lain ada Edward Barney, yang bekerja bagi kepentingan pemerintah Amerika, mengemban tugas untuk memuluskan misi pemerintah masuk kedalam kancah peperangan di Eropa, karena saat itu rakyat Amerika tidak menginginkannya.

Propaganda, umumnya akan membawa kita pada persepsi buruk terhadap satu kelompok, individu, atau institusi, yang menggunakannya untuk merealisasikan agenda tertentu; Pada dasarnya, proses propaganda berlangsung dengan menggunakan strategi penggabungan tiga bidang keilmuan yaitu linguistik (semantics), komunikasi (persuasif), dan psikologi (psychoanalysis) untuk satu misi (baik atau buruk) jangka pendek, menengah, dan panjang. Propaganda merupakan akativitas sistematik, yang menggunakan cara-cara komunikasi persuasif untuk mempengaruhi emosi, perilaku, opini, dan aksi target audience agar berpihak pada satu ideologi, politik atau tujuan komersial tertentu; Dengan menggunakan, mengendalikan, dan mengontrol media massa sebagai alat penetrasi penyampaian pesan dan informasi, yang telah dipabrikasi terlebih dahulu demi keuntungan sepihak.

Jadi jika saat ini kita melihat dan menyimak berita dan informasi yang disampaikan oleh media massa, hendaknya kita tidak menelannya mentah-mentah. Sebagai contoh; Data survey yang disampaikan oleh media tentang Pilpres, di satu stasiun televisi hasil survey memperlihatkan kandidat A lebih tinggi dari B, sementara di stasiun televisi lain B lebih unggul dari A. Pertanyaannya bukan mengapa A lebih unggul dari B, atau B lebih unggul dari A; Tetapi berapa banyak sampel yang digunakan sebagai ukuran validitas sebuah survey, berbanding dengan jumlah pemilih 185 juta lebih. Coba anda tanyakan, apakah mereka memiliki arsip dan data detail orang yang menjadi target survey?, mereka akan menjawab dengan berbagai cara untuk menghindar, karena “No... Nothing” alias tidak punya “nada man!!!!!”. Satu contoh lain, presenter stasiun teve mengatakan, hasil survey dari pertanyaan yang diajukan ke kemahasiswa “dibeberapa” universitas, perhatikan!!! “dibeberapa”, tidak dinyatakan secara tegas dengan angka absolut dan universitas mana, memperlihatkan hasil kandidat A lebih unggul dari B; So...? pertanyaannya adalah, berapa jumlah mahasiswa yang menjadi target sampel? diuniversitas mana ? stasiun televisi tersebut mengatakan seribu (1000) orang. APA..??? memang berapa banyak jumlah mahasiswa di Indonesia???; Padahal jumlah mahasiswa di Indonesia saat ini kurang lebih 4,8 juta orang (kompas.com)...!!! Sangat tidak proporsional, hasil survey tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Tapi ada pengecualian, hasil survey tersebut bisa saja valid, dan dapat dipertanggung jawabkan, asal didapat dari satu atau dua universitas. Apalagi, pemilik universitas dan pemilik stasiun telivisi tersebut adalah orang yang sama, dan memihak pada kandidat tertentu. “Whoaaa...Yippee Ki-Yay,...Gotcha!!!”

PENDIDIKAN mengajarkan, proses

pengambilan keputusan harus menjunjung tinggi IMPARSIALITAS.

PROPAGANDA memberikan, membentuk, dan menyajikan opini,

melalui proses “manufaktur” yang ditujukan bagi

KELOMPOK NAIF (Unthinking Herd).

Dekomposisi Demokrasi

Untuk menuju dan menjadi salah satu negeri penganut sistem demokrasi, rakyat Indonesia beberapa kali menelan pil pahit; Pertama, periode penjajahan, berujung revolusi kemerdekaan; Kedua, periode kemerdekaan dibawah Bung Karno, disusul kudeta oleh Suharto; Ketiga. periode pemerintahan opresif dibawah kepemimpinan Suharto; Keempat, periode dimana demokrasi tumbuh dan berkembang dengan subur; Setiap individu dapat mengekspresikan segala kemampuan dan keahlian secara bebas, mengkritik penguasa bukan lagi hal yang tabu, karena dipayungi dan dilindungi secara hukum berupa undang-undang. Demokrasidi dan kehidupannya diraih oleh rakyat Indonesia melalui proses perjalanan sejarah cukup panjang, mengagumkan dan membanggakan. Hanya dalam kurun waktu kurang dari satu abad negeri ini tercatat sebagai salah satu negeri paling demokratis terbesar didunia, dan menjadi model bagi negara lain.

Walaupun demikian, demokrasi bukanlah kata-kata yang mudah untuk diwujudkan kedalam satu bentuk kehidupan bernegara. Abraham Lincoln mengatakan “Democracy is the government of the people, by the people, for the people”, ia mengatakan hal yang amat sangat ideal dalam kehidupan berdemokrasi. Tapi, mengapa saat ini Amerika Serikat mengalami titik balik dalam kehidupan berdemokrasi...?”. Jawabannya, “GREED”. Korupsi, keserakahan dan haus kekuasaan adalah penyebabnya; Dan mainstream media memainkan peranan yang sangat signifikan untuk membantu memuluskan proses dekomposisi demokrasi di negeri Uncle Sam itu. Rakyat Amerika Serikat mengalami kekalahan besar paska tragedi kontroversial 9/11.

Apakah peristiwa yang dialami oleh rakyat Amerika akan dialami oleh rakyat Indonesia...?

Percepatan pertumbuhan proses demokrasi di negeri ini tidak seiring dengan percepatan pertumbuhan tingkat edukasi masyarakat, jadi segala kemungikan bisa saja terjadi, bahkan menjadi negeri fasis yang berkedok demokrasi. Indikasi kuatnya sudah terlihat dan dipertontonkan. Dimulai dari pemilu Legislative hingga sekarang pemilihan Presiden tahun ini. Betapa banyak kelompok masyarakat yang mudah dibeli suaranya oleh politisi. Saling tekan antar kelompok pendukung dengan menggunakan ancaman atau perilaku anarkis. Kampanye hitam, melalui media tertentu. Media massa yang berpihak kesalah satu kandidat , dan masih banyak lagi indikasi lain yang mengarah pada dekomposisi demokrasi.

Penyebab utama dekomposisi demokrasi terdiri dari empat kategori: Pertama, kesiapan masyarakat untuk hidup dibawah rejim demokrasi, dalam hal ini tingkat pendidikan; Kedua, rejim pemerintahan yang bekerjasama dengan kelompok “Bonapartism”, melalui pemberian “pakta impunitas” bagi para elit pada masa rejim diktator; Termasuk didalamnya menghapus atau menutup-nutupi pelanggaran, penyimpangan yang dilakukan mulai dari proses pengambilan dan pembuatan kebijaksanaan pemerintah dibidang politik dan ekonomi , hingga pelanggaran HAM; Ketiga, jual beli kekuasaan antar elit politik dan partai, yang berkolaburasi dengan pengusaha; Keempat, media massa yang melupakan pakta sosialnya karena hanya dimiliki oleh segelintir orang, mendukung, serta berpartisipasi dalam menutupi sisi suram, dosa para politisi, dan penguasa. Bahkan mendorong mereka kembali memimpin pemerintahan.

“The media’s the most powerful entity on earth.

They have the power to make the innocent guilty

and to make the guilty innocent, and that’s the power.

Because they control the minds of the masses”

Malcolm X (1925-1965)

“Hayo...pemuda Indonesia...bangun dari tidurmu...buka mata hati dan pikiranmu...bumi  pertiwi menunggu tangan para patriotik...untuk menyelamatkannya sebelum terjerembab kedalam lumpur kegelapan”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun