Mohon tunggu...
Agus Tulastyo
Agus Tulastyo Mohon Tunggu... lainnya -

Praktisi periklanan, Pengamat media, Peneliti. "All Truth passes thru three stages: First, it is ridiculed. Second, it is violently opposed. Third, it is accepted as self-evident." - Arthur Schopenhauer; German Philosopher

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

The Presstitute Media, Tenet and Tether

14 Agustus 2014   19:20 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:33 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14079938961611032656

Propaganda dalam prosesnya selalu memanfaatkan bahasa Metaphor, Semantics, dan Syntax yang dirancang sedemikian rupa untuk mengelabui publik. Dengan harapan apa yang dikatakan akan tertanam  dalam benak publik dan menjadikannya acuan dalam pemungutan suara. Sudah barang tentu kemampuan retorik sangat diperlukan oleh seorang propagandis demi keberhasilan propaganda itu sendiri. These Gopshite (the people who’s in their mouth and mind is full of Sh*t), akan muncul sebagai penulis, reporter, presenter, pundit, host, dan yang paling memuakkan adalah, mereka mengaku sebagai jurnalis berpengalaman, padahal perilaku mereka pertotonkan tidak lebih dari “Whore!!!”

The heart and soul of the Presstitute Media are Propaganda;

Persuade and shifted the mind of the people only for the benefit of the few.

Whatever their act is just like a Whore!!!

- I say

Sekelompok media massa yang mendukung salah satu calon presiden, sampai saat ini terus melakukan propaganda secara intensif, mulai dari pagi hingga pagi kembali; 247. Propaganda dilakukan dengan mengaburkan keberpihakan dan agenda sebenarnya, melalui cara-cara memelintir dan mengedit peliputan peristiwa yang sudah dan sedang berlangsung untuk lebih memperkuat Bargain Position bagi calon yang didukung. Program Talk Show berkualitas rendah, atau “DEBAT” dengan menampilkan Unqualified Source agar mudah dikendalikan. Sekelompok media massa ini terus menayangkan berulang kali agar seluruh aktivitas dan langkah yang diambil oleh calon dukungannya terlegitimasi dan diterima oleh publik sebagai suatu keniscayaan. Dengan demikian apapun aktivitas dan kegiatan lawan politiknya terdelegitimasi dan hasil yang diraihnya tidak sah secara hukum dan tidak konstitusional. Disisi lain kelompok media ini menjadi acaman bagi demokrasi dan kehidupannya.

Lalu bagaimana cara mengetahui, bahwa mereka sedang menjalankan dogma “Presstitute media” ...? J. Michael Sproule, memperkenalkan tujuh cara untuk mendeteksi propaganda (The Seven Propaganda Device), ketujuh “Anak panahini akan dilepaskan dari “Busur”(Presstitute Media) diarahkan kebenak publik; Yaitu, Name calling, Glittering Generalities, Transfer, Testimonial, Plain Folks, Card Stacking, dan Band Wagon.


  1. Name Calling; Sang Propagandis akan memberikan julukan atau lebel pada lawan politiknya dengan julukan-julukan yang dapat menimbulkan rasa benci dan takut agar para pemilih akan menghindar dan tidak memilih lawan politiknya. Walaupun sang propagandis tidak pernah menjelaskan secara rinci dengan alasan apa ia memberikan julukan/lebel tersebut, sebagian masyarakat akan mulai mencoba mencernanya kemudian menyetujui. Pun jika sang propagandis dimintakan alasan maka ia akan memberikan penjelasan yang Absurd; sebagai contoh: “Jangan pilih Pemimpin/Presiden Boneka/Memble/Mencla Mencle” dan “Jangan pilih Pemimpin/Presiden Bermasalah/Penculik/Arogan” atau memberi lebel dengan stigmatisasi Communist/Fascis/Marxis.
  2. Glittering Generalities; Sang Propagandis selalu mengasosiasikan diri serta program kerjanya yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan integritas, dengan menggunakan kata-kata seperti: kebenaran, kebanggan,  kebebasan, keadilan sosial, pelayanan masyarakat, penurunan angka pengangguran, kesejahteraan, UUD’45,  Pancasila dan keutuhan NKRI harga mati. Semua hanya untuk mempengaruhi dan menyentuh emosi publik sehingga diharapkan pada saat pemilihan, publik akan memilihnya.
  3. Transfer; Sang Propagandis akan menggunakan simbol-simbol dan simbolisasi secara konstan dan intensif untuk mempengaruhi emosi dan opini publik. Karena dengan menggunakan simbol dan simbolisasi diharapkan akan dapat merubah seketika perasaan yang sedang ragu sekalipun. Simbol kebanggaan negara dan bangsa, Sang Saka Merah Putih yang dikombinasikan dengan lambang negara jelas akan menimbulkan sentimen nasionalisme dan mencerminkan semangat persatuan dan kesatuan. Sementara pendekatan terhadap tokoh-tokoh agama (terutama Islam) merupakan sebuah keharusan, walaupun hanya sebuah simbolisasi tapi akan memberikan dampak keyakinan pada pemilih yang sebagian besar umat muslim, bahwa sang kandidat seolah-olah telah mendapat restu.
  4. Testimonial; Juga salah satu tehnik yang digunakan sang propagandis utuk lebih meyakinkan pemilih agar memilihnya. Testimoni dilakukan  dengan cara memilih elit tertentu yang berpengaruh (Bahkan dijadikan pimpinan tim/Juru bicara) tidak berseberangan, akademisi dijadikan pundit instan dan dibayar untuk mengatakan dan mediskusikan hal-hal yang menguntungkan dirinya. Testimoni juga dimanfaatkan untuk melakukan Counter Attack terhadap lawan politik.
  5. Plain Folks; Sang propagandis mengatakan kepada calon pemilihnya, bahwa”Saya adalah rakyat biasa seperi anda semua yang terlahir dari kehidupan yang sulit, bekerja dan berjuang keras dalam menjalani hidup. Oleh karena pengalaman hidup saya, maka saya bisa merasakan keadaan sebagian besar rakyat saat ini. Apabila rakyat memberi mandat kepada saya untuk memimpin bangsa ini, saya akan memfokuskan perhatian saya pada rakyat yang kurang beruntung dan mengentaskan dari kemiskinan, serta meningkatkan kesejahteraan. Dengan demikian dapat mengangkat derajat bangsa ini menjadi sederajat dengan negara-negara maju.” Selain itu sang propagandis akan melalukan perjalanan ke perkampungan kumuh, perkampungan nelayan dan petani, dan memperlihatkan kasih sayangnya terhadap anak-anak.
  6. Card Stacking; Inilah anak panah paling tajam dan membahayakan. Disini sang propagandis memberdayakan, mengerahkan, dan mempertaruhkan seluruh kekuatannya (Card Stacking) untuk memainkan “The art of Illusion, Delusion, Distraction, Deception, and Manipulation” dengan tujuan hanya satu, memenangkan kompetisi; Dan pranata yang paling siap, efisien, efektif dan ahli adalah Presstitute Media.

    • Ia menggunakan seluruh kartu trufnya untuk menutupi kebenaran tentang latar  belakang dirinya dan menghantam lawan politik.
    • Menghindari sejauh dan secepat mungkin isu dari fakta yang akan menjatuhkan dan mengeksploitasi isu dan fakta yang menguntungkan dirinya.
    • Bertumpu pada kebohongan, sensorsip, dan distorsi informasi.
    • Mengabaikan fakta, dan menghadirkan testimoni palsu.
    • Bersuara lantang dalam mengomentari  isu-isu merugikan dan menciptakan isu baru sebagai pengalihan (distraction), agar isu yang merugikan dilupakan publik.
    • Membuat sesuatu yang tidak masuk akal menjadi masuk akal dan sebaliknya.
    • Melontarkan hal-hal yang masih diragukan kebenarannya, menjadi sebuah kebenaran dan diterma oleh publik.
    • Band Wagon; Dengan ini sang propagandis mengajak kita untuk bergabung dengan  para pendukungnya, dan menerima program-program sang propagandis en masse.


Setelah para Media Mogul dan Kandidat menyetujui perjanjian Qiud Pro Quo, maka ketujuh “anak panah” diatas menjadi sebuah dogma (Tenet) yang harus dilaksanakan Presstitute Media untuk mensukseskan agenda The Master of Puppets (baca artikel: Eunuch Journalism). Mulai saat itu pulalah belenggu terpasang (Tether) pada leher, tangan, dan kaki media tersebut. Merupakan sebuah keniscayaan untuk melaksanakan tugas-tugas tehnis bagi para “The Wanker Journalist” secara cepat, cerdas, cermat dan cerdik. Karena jika kekalahan terjadi maka citra buruk dan belenggu akan sulit untuk di lepaskan, sebab publik akan mencatat di benaknya. Secara psikologis apa yang tercatat dalam benak publik faktanya akan sulit dieksterminasi, membutuhkan waktu panjang dan usaha keras tanpa henti untuk menghapuskannya.

Agar ambisi sang Master terlaksana dan berhasil, Prestitute Media mengerahkan segala kemampuan dan kekuatan melalui tehnik-tehnik yang  menjadi keahlian dan kelebihannya, untuk mengimplementasikan ketujuh “anak panah” tersebut di atas. Seperti telah dibahas dalam artikel-artikel sebelumnya, aktivitas atau kegiatan kelompok media ini sangat immoral, sebagaimana halnya prostitusi yang diartikan sebagai praktek sex komersial. Apabila aktivitas prostitusi sex komersial dapat meruntuhkan sendi-sendi kehidupan berkeluarga dan terjadi perceraian, maka begitu pula akibat dari perilaku prestitute media. Media massa dengan perilaku seperti ini akan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, utamanya adalah sistem kehidupan berdemokrasi, karena keberpihakkannya terhadap kelompok politik tertentu; Dan faktanya hampir saja memecah belah Republik ini. Apakah kita masih mau menyebut kelompok media massa ini bermartabat...? Tidak, presstitute media bukanlah media massa yang bermartabat, bahkan dapat kita katakan biadab. Aktivitas tidak bermoral seperti apa yang mereka lakukan...???


  1. Spin; Prestitute media akan menayangkan, menyajikan, dan menyiarkan tentang sebuah peristiwa sebelum dan saat berkampanye, dalam bentuk ulasan, interpretasi, ataupun pandangan yang bias dengan tujuan untuk mengurangi kredibilitas lawan politik, dan sebaliknya mengangkat kredibilitas calon yang mereka dukung.
  2. Slander; Membuat pernyataan-pernyataan yang menjatuhkan reputasi lawan politik sang Master; Dengan menanamkan kepercayaan kepada publik, bahwa pihak lawan hanya mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya sendiri. Cynical Statement seperti ini biasanya tanpa diperkuat oleh data. Mungkin antara realitas dan pernyataan berbanding terbalik, atau bahkan calonnyalah yang berperilaku demikian.
  3. Mockery; mengedit dan mengkreasikan satu peristiwa tidak menyenangkan yang pernah dialami oleh lawan politik dijadikan bahan ejekan, dan melukiskannya sebagai suatu kebodohan, sehingga dapat menimbulkan ketidak percayaan publik.
  4. Slurred; Menggunakan jargon dan kalimat metaphoric (detailnya baca artikel: Metaphor, Propaganda, News, dan PILPRES) yang mengandung makna tidak jelas dan sumir, pada akhirnya akan merusak kredibilitas lawan politik.
  5. Troll; Menyajikan dan menyampaikan informasi dalam bentuk berita yang tidak ada dasar pijakannya serta mengandung unsur-unsur provokatif, sehingga dapat menimbulkan situasi dan kondisi chaos.
  6. Browbeat; Menghadirkan sebuah diskusi yang ditayangkan secara langsung dengan pihak lawan politik (tim sukses atau pundit) yang pada dasarnya sudah diskenariokan; Dalam prakteknya akan “mengintimidasi”, memotong pembicaraan lawan, dan berusaha mendominasi pembicaraan, serta mempertotonkan perilaku yang terkadang berlebihan (overbearing). Semua itu untuk memperlihatkan pada publik bahwa pihak lawan politik tidak kredibel dan kompeten.
  7. Blatant; Dengan tanpa malu-malu secara terbuka menunjukan diri (sebagai media partisan) mendukung salah satu kandidat dan berbohong pada publik tentang  keberadaan dan kapabilitas, serta menutupi masa lalu sang kandidat, dsb.
  8. Derogatory; Mengkritik dan memojokan lawan politik, dan memperlihatkan rasa tidak hormat, serta mengabaikan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan oleh lawan politik terhadap publik. Berita, informasi, dan analisis yang disampaikan hanya terfokus pada sisi lemahnya.
  9. Menace; Presstitute Media tidak pernah memikirkan apa akibat dan konsekuensi yang akan terjadi terhadap diri dan publik keseluruhan dikemudian hari, keputusan yang diambil adalah heuristic judgement. Perilakunya sangat berbahaya dan dapat memancing munculnya anarkisme antar kelompok politik yang berkompetisi.
  10. Fraud; “This is the mother of all wrong doing of the presstitute media”, semua kebohongan dan seluruh perilaku buruk media ini atas dasar Quid Pro Quo. Sebuah transaksi yang hanya menguntungkan segelintir orang, yaitu Media Mogul/Oligarch/ Politisi. Transaksi ini bisa dalam bentuk apapun, misal, kedudukan eksekutif, perlindungan politik terhadap korporasi, atau finansial. Sementara rakyat dan kelompok pendukung (unthinking herd) hanya merasakan penyesalannya akibat dari kebodohan yang mereka lakukan karena memilih kandidat tersebut untuk menjadi The President Of Republic Indonesia.


Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa proses Propaganda dengan kiat-kiat yang dilakukan oleh Presstitute Media masih terus berlangsung. Hendaknya kita tidak hanya langsung melahap dan menelan apa yang disampaikan, tapi mencerna dan menganalisa terlebih dahulu. Selebihnya, kita harus memberikan penjelasan dan pendidikan terhadap rakyat Indonesia, tentang BAHAYA LATEN “PRESSTITUTE MEDIA.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun