Isu tentang kursi Kabinet Jokowi-Amin masih ramai dibicarakan orang. Ramainya isu ini tidak terlepas dari partai politik pendukung Jokowi yang blak-blakan minta jatah menteri dan serangkaian pertemuan antara mantan partai pendukung Prabowo-Sandi dengan Jokowi. Disinyalir rangkaian pertemuan tersebut dilakukan dalam rangka berupaya mendapatkan jatah kursi menteri juga.
Partai koalisi pendukung Jokowi yang sudah terang-terangan meminta jatah kursi menteri  diantaranya adalah PDIP, Hanura, dan PKB. Nasdem sebenarnya juga sudah menyatakan permintaan jatah kursi menteri, meskipun terakhir ditegaskan oleh Surya Paloh bahwa Nasdem tidak pernah meminta jatah kursi menteri tersebut.
Tentu saja sepenuhnya hak Jokowi untuk menentukan siapa-siapa yang bakal duduk sebagai pembantunya. Namun bisa dipastikan, Jokowi akan tetap memperhatikan masukan dari partai-partai pengusung dan pendukungnya. Wajar saja, toh Jokowi jadi presiden lagi karena dukungan mereka-mereka juga.
Sementara itu, mantan partai pengusung Prabowo-Sandi tidak kalah gesitnya dengan partai koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin. Demokrat, PAN dan Gerindra sudah sangat kelihatan melakukan pendekatan kepada Jokowi.Â
Meski tidak bisa dipastikan secara tegas apakah mereka meminta jatah kursi menteri, namun serangkaian pertemuan Jokowi dan beberapa partai yang tadinya bergabung dalam koalisi Prabowo-Sandi menjadi tanda tersurat dan tersirat bagi publik bahwa mereka juga ingin mencicipi kue kekuasaan. Kata oposisi sekarang hanya milik PKS, sedangkan ketiga Partai lainnya sudah menyatakan sikap siap jika diminta untuk membantu Jokowi 5 tahun ke depan.
Publik yang awalnya berharap rekonsiliasi membawa dampak positif bagi bangsa ini, sekarang disuguhkan pada macam-macam wacana baru seputar rekonsiliasi. Lewat, kata rekonsiliasi dan kepentingan bangsa, pemikiran publik seperti didikte bahwa berbagi kursi menteri pada partai lawan dalam Pilpres kemarin wajar-wajar saja. Boleh jadi sebenanya ada skema membenturkan partai koalisi Jokowi yang menentang wacana ini dengan masyarakat, lewat kata rekonsiliasi demi kepentingan bangsa dan negara.
Bumbu rekonsiliasi demi kepentingan bangsa dan negara ini kemudian ditambah lagi dengan isu "penumpang gelap" yang gigit jari. Hal ini disampaikan oleh Gerindra sendiri, bahwa dalam proses pilpres kemarin ada yang menumpang pada Prabowo demi kepentingan lain di luar kepentingan bangsa dan negara. Masalahnya Gerindra tidak pernah membuka secara jelas siapa "penumpang gelap" tersebut. Rasanya lebih kelihatan "cuci tangan" ketimbang sikap patriot atau negarawan.
Ada juga bumbu lain soal rekonsiliasi yang sudah tereduksi ini, ada tokoh yang melakukan pendekatan dengan cara yang lebih halus lagi, yaitu dengan menawarkan rekonsiliasi atas dasar menyatukan konsep pembangunan antara Prabowo dan Jokowi. Ke mana arah usulan ini bisa segera publik tebak.Â
Jika usulan ini diterima maka konsekuensi logisnya juga bisa ditebak. Masak iya kerja sama kok yang satu di luar yang lain di dalam pemerintahan. Kalau mau berhasil menjalankan konsep pembangunan bersama, ya harus satu badan dong. Maka benar saja, kemudian muncul istilah porsi 55:45 yang katanya merupakan terobosan yang sangat logis dan bijak.
Isu berbagi jatah kekuasan pasca Pileg dan Pilres ternyata tidak hanya melulu kursi menteri. Isu berbagi jatah kursi di parlemen juga tidak kalah ramai. Terakhir ini yang membuat publik terperangah adalah munculnya usulan agar kursi pimpinan MPR dibuat menjadi 10 kursi yang diisi dari 9 fraksi dan 1 orang dari DPD RI.
Usulan ini datang dari PAN. Wasekjen PAN, Saleh Partaonan Daulay mengatakan alasan mengapa kursi pimpinan MPR perlu dibuat menjadi 10 kursi karena MPR harus dijadikan sebagai lembaga politik kebangsaan, di mana semua fraksi dan kelompok menyatu dan di dalam MPR mestinya tidak ada koalisi dan oposisi, tetapi justru yang perlu ditekankan adalah NKRI. Bahkan PAN menegaskan bahwa usulan ini adalah aktualisasi dari rekonsiliasi kebangsaan yang diinginkan semua pihak. Lagi-lagi rekonsiliasi jadi alasannya.