Mohon tunggu...
Agustinus Triana
Agustinus Triana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tinggal di Lampung

Menulis agar ada jejak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Minto Buras dan Secuil Kisah Rekonsiliasi

7 Agustus 2019   00:31 Diperbarui: 7 Agustus 2019   00:58 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Indonesia.go.id

Nama lengkap sebenarnya Parminto bin Idris, tapi orang-orang di kampungnya biasa memanggilnya Minto Buras. Tidak jelas bagaimana awalnya kata buras muncul di belakang kata parminto. Mungkin karena waktu kecil kulit Parminto banyak dihiasi bercak-bercak putih alias panu. Semenjak kecil Parminto memang akrab dengan penyakit kulit yang satu ini. Orang Jawa biasa menyebutnya burasen. Kawan main semasa kecil sering mengolok-oloknya dengan panggilan Minto Buras. Sampai ia punya dua orang anak, Parminto bin Idris terbiasa dipanggil Minto Buras.

Minto Buras cuma buruh serabutan. Pekerjaan kasar apapun ia sanggupi, asalkan mendatangkan uang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Dua anaknya duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah. Meski biaya sekolah  ditanggung pemerintah, namun tidak berlaku untuk uang LKS dan uang jajan. Ini yang sering membuat Minto Buras pusing.  Anak-anak Minto Buras jadi pendiam di sekolah. Maklum saja, rasa minder sering mendera mereka akibat tidak mampu jajan seperti anak-anak lainnya. Ini juga yang membuat Minto Buras sedih.  

"Hari ini nggak sangu ya Nduk," ucap Minto Buras kepada dua anaknya yang sudah siap berangkat sekolah. Berharap anak-anaknya mau mengerti dengan kantongnya yang sedang bolong melompong.

"Kemaren-kemaren sudah nggak dikasih sangu, hari ini nggak dikasih lagi. Ada praktek olah raga Pak, nanti kalo haus gimana?" Anak pertamanya merengek tidak terima dengan situasi ini.

Minto Buras tidak sanggup membalas rengekan anaknya.

"Bawa air minum pake botol yo Nduk?" Istri Minto segera menimpali. "Ini sarapan pake tempe biar nggak lemes di sekolah."

Istri Minto Buras punya sedikit pekerjaan. Seminggu 2 kali ia bekerja sebagai buruh setrika di rumah Pakde Gino yang ASN. Sekali menyetrika dapat upah 30 ribu. Tapi sering kali musim kondangan membuat istri Minto Buras pusing tujuh keliling bagaimana memilih antara menutup rasa malu tidak berangkat kondangan atau menutup uang makan untuk anak-anaknya.

"Kang besok ada kondangan tempat Yuk Sikar. Gimana Kang? Kita gak ada uang untuk kondangan?" keluh istri Minto Buras suatu hari.

"Belum ada uang. Gak usah berangkat kondangan dulu. Nanti kalo ada rejeki kita datangnya lain waktu." Jawaban seperti ini sudah biasa keluar dari mulut Minto Buras. Soal janji datang lain waktu pada istrinya, sudah biasa juga ia langgar.    

Hidup keluarga Minto Buras ibarat sudah tenggelam sampai sebatas leher di laut. Jadi kalau ada undangan hajatan, maka ibarat ombak kecil yang sudah bisa  menenggelamkan seluruh kehidupan keluarganya.

Meski hidup agak susah, istri dan anak-anak Minto Buras masih bisa mendapat  hiburan kecil dari televisi di rumahnya. Anak-anak dan istrinya suka menonton sinetron azab. Satu-satunya acara televisi yang gampang dicerna oleh keluarga Minto Buras.

Sebenarnya Minto Buras tidak suka menonton sinetron azab, tetapi sulit baginya bisa menonton acara lain, apalagi acara berita. Bakal bersitegang dengan istri dan kedua anaknya. Minto Buras rela mengalah demi kesenangan keluarganya.

Bagi Minto Buras, mengkonsumsi acara berita sama susahnya dengan nasibnya sebagai buruh serabutan. Pagi sampai sore, ia harus bekerja fisik, malam hari acara televisi sudah dikapling anak-anak dengan sinetron azab yang judulnya panjang-panjang dan ceritanya tidak masuk akal.

Malam hari sering diisi Minto Buras berbincang kosong dengan para tetangganya. Minto Buras suka menyambangi rumah Pakde Gino seorang ASN. Pakde Gino biasa memakai jasanya juga sebagai buruh di sawah. Selain sekedar mencari kopi gratisan, rupanya Minto Buras merasa perlu menjaga hubungan baik dengan Pakde Gino.

Pakde Gino dan tetangga yang lain sering mengobrol soal politik. Untuk obrolan yang satu ini Minto Buras hati-hati bicara. Meski sering penasaran dengan kebenaran omongan Pakde Gino dan tetangga yang lain, Minto Buras selalu hemat bicara.

Banyak cerita mengerikan yang Minto Buras dengar seputar politik sekarang. Dengar-dengar mau ada PKI lagi, ada teroris yang mau mengganti Pancasila, ada pembunuh bayaran yang mau menembaki pejabat negara. Samar-samar ia juga mendengar kalau mata pelajaran agama di sekolah mau dihapuskan, dan banyak berita lagi soal penangkapan orang karena salah ucap dan salah tulis.  Orang-orang jadi gampang menyalahkan, gampang saling menuduh. Berita  bencana gempa dikait-kaitkan dengan simbol dajal. Bahkan ada berita soal banjir yang disebabkan karena bupatinya tidak seagama dengan rakyatnya. Meski benar atau tidaknya semua berita itu masih Minto Buras ragukan, ia jadi was-was juga.

Sebenarnya Minto Buras punya harapan dengan pilpres kemarin. Seorang Minto Buras harapannya tidak jauh-jauh dari perubahan nasib. Sederhana saja harapannya, ada peluang pekerjaan yang lebih pasti, yang dapat menambah penghasilan ketimbang hanya buruh serabutan seperti selama ini.

Ia mencoblos calon presiden yang dianggapnya bisa membawa perubahan nasib. Pilihan ini ia tutup rapat-rapat, takut ketahuan Pakde Gino majikannya yang punya pilihan berbeda dengan dirinya.

Pasca pilpres, satu kata lagi yang membuat Minto Buras penasaran, kata rekonsiliasi. Kata ini renyah muncul dari Pakde Gino. Meskipun demikian, Minto Buras merasa tidak cukup mendapat penjelasan dari Pakde Gino dan para tetangga lainnya soal kata yang satu ini.

"Rekonsiliasi itu bisa terjadi kalau calon yang menang mau bekerja sama dengan kubu calon yang kalah. Ini kalau negara mau aman. Rekonsiliasi dibutuhkan untuk menjaga negara, jadi tidak perlu lagi ada yang menang ada yang kalah, semua bisa dikompromikan demi rakyat banyak." Demikian penjelasan Pakde Gino soal rekonsiliasi.

"Iya betul," timpal tetangga lainnya.

Minto Buras cuma manggut sembari cengar-cengir. Pura-pura setuju supaya Pakde Gino tidak kecewa.

Didorong rasa penasaran, Minto Buras memaksakan diri untuk menonton berita malam selepas anak-anak dan istrinya pergi tidur. Semakin rajin saja ia menonton berita, berharap kata rekonsiliasi berarti baik juga baginya.

Dua minggu lebih Minto Buras rajin menonton berita. Rupanya kata rekonsiliasi ini banyak artinya. Antara pakar yang satu dengan pakar yang lain bisa berbeda-beda maksudnya. Antara tokoh politik  yang satu dengan tokoh politik yang lain berbeda-beda komentarnya. Tergantung pada pandangan politiknya, tergantung pada buku bacaannya, dan tergantung pada siapa yang menyuapinya.

Minto Buras tidak bisa menangkap apa maksud rekonsiliasi yang dijelaskan para pakar politik di televisi. Minto Buras mengira-ngira saja maksud rekonsiliasi itu, kira-kira artinya bakal banyak program untuk mengangkat derajat hidupnya.

Lama-lama menonton berita soal rekonsiliasi, muncul rasa khawatir dalam diri Minto Buras. Hanya secuil berita soal program perbaikan nasib rakyat dari kubu pemenang disampaikan dalam berita. Minto Buras menjadi kecut hatinya, lama-lama arti rekonsiliasi terasa asing baginya. Ia menjadi takut, takut kalau arti rekonsiliasi bukan jalan untuk perbaikan nasibnya.

Minto Buras juga mendengar kalau rekonsiliasi itu perlu ada akad. Kata para pakar, akadnya adalah saling berbagi antara dua kubu. Berbagi jatah kue kekuasaan. Saling membagi kue kursi menteri dan kursi kuasa di parlemen. Kata para pakar politik dan tata negara, bahwa sebaiknya si A sebagai pemenang  memberikan jatah kursi menteri ke kubu si B. Begitu juga kursi  di parlemen, perlu dibagi antara dua kubu. Nanti semuanya bisa saling bekerja sama baik di eksekutif maupun di legislatif. Akad rekonsilisi yang seperti itu wajar saja, karena politik itu dinamis. Begitu kata pakar yang ia dengar.

Dari berita di televisi, Minto Buras juga jadi tahu, ada syarat lain yang diajukan oleh pendukung si B. Para pendukung si B ini ngotot-ngotot mengajukan syarat rekonsiliasi, yaitu penghapusan status hukum para pendukung si B yang jumlahnya ada ratusan orang.

Apakah masih ada syarat lain lagi yang diajukan dari kubu si B, Minto Buras tidak tahu. Mungkin masih ada 5, 10, atau 20 syarat lagi untuk bisa rekonsiliasi.

Dari kubu pendukung si A juga tidak kalah ngototnya. Ngotot menolak syarat-syarat itu. Katanya rekonsiliasi tidak bisa dicampur-campur dengan masalah hukum.

Omongan beradu omongan, alasan beradu alasan, bukti beradu bukti, dan retorika beradu retorika.

Otak Minto Buras semakin pusing mencerna berita politik. Baginya kelakuan para elit politik ini terasa sama saja dengan tetangganya yang masih getol mencak-mencak kalau sedang mengobrol. Kadang-kadang memakai dalil yang dipaksakan. Para politisi bicaranya pakai retorika yang sulit ditangkap maksud pastinya. Soal retorika ini bak kata-kata bersayap, yang tidak bisa ditangkap langsung artinya. Kalau ada sanggahan, bisa ngeles semaunya.

Terakhir, Minto Buras mendengar kalau proses rekonsiliasi sudah dimulai oleh dua tokoh negara. Tetapi kata rekonsiliasi ini sudah terlanjur jadi kata tidak enak di telinga Minto Buras. Rasa penasarannya dengan kata ini sudah hilang. Minto Buras sudah memastikan sendiri, maksud rekonsiliasi bukan untuk orang kecil seperti keluarganya. Sekarang untuk mempertahankan kehidupan keluarganya  cuma ada pada satu orang saja, yaitu Pakde Gino. Semoga tenaganya masih dipakai Pakde Gino, orang yang beda pilihan politik dengannya.

Minto Buras sekarang lebih suka nonton acara lucu-lucuan di televisi. Minto Buras jadi senang menonton acara televisi tentang Mael Lee Bukan Kaleng-kaleng. Saking senangnya dengan acara Mael Lee Bukan Kaleng-kaleng, lama-lama kalimat "bukan kaleng-kaleng" akrab di telinganya. Ia jadi paham betul arti kalimat itu. Kadang Minto Buras latah mengucapkan kalimat itu di depan kawan-kawannya.

Sesekali Minto Buras berteriak, "Nah.... ini mbako enak, bukan kaleng-kaleng!"

Atau di lain waktu ia tertawa lepas sambil berteriak di depan Pakde Gino dan tetangga lainnya, "Nah... ini kopi enak, bukan kaleng-kaleng!"

Meski agak sulit menerima keadaan dirinya, masih ada do'a yang sulit ia ucapkan. Semoga rekonsiliasi bukanlah drama kaleng-kaleng macam Mael Lee yang suka ia tonton. Berdo'a semoga rekonsiliasi menjadi jalan keluar agar ia bisa memberikan uang jajan untuk anak-anaknya setiap hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun