Pertanyaannya kemudian; berapa sebenarnya seorang caleg harus dihargai dan berapa pula harga sebuah suara? Karena tidak ada dalilnya, soal harga menghargai ini tidak sanggup penulis jelaskan.
Harusnya memang bukan masalah harga, tetapi nilai. Jadi, berapa nilai seorang caleg dan berapa nilai sebuah suara dalam kontestasi pileg 2019 nanti.
Sebenarnya nilai ini bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, dari sisi caleg, nilainya adalah apa yang ia sudah berikan pada masyarakat dan apa yang ia terima dari masyarakat. Kedua, dari sisi masyarakat, apa yang sudah masyarakat terima dan apa yang masyarakat berikan pada seorang caleg.
Jika praktek yang menghubungkan keduanya adalah politik uang semacam NPWP dan Serangan Fajar, maka caleg dan suara sama-sama tidak punya nilai. Wajar saja setelah si caleg jadi anggota legislatif kemudian tidak peduli dengan masyarakat. Lucu juga dong jika masyarakat menuntut keterwakilan pada si caleg.
Idealnya memang yang menghubungkan antara caleg dan masyarakat adalah tingkat integritas masing-masing caleg. Bagaimana tingkat perjuangan si caleg selama ini di masyarakat. Masyarakat sendiri bisa mendapatkan penghargaan yang sebenarnya, ketika mereka memberikan suaranya pada caleg yang punya tingkat integritas lebih baik. Ini nilai yang benar dari sisi masyarakatnya.
Caleg yang bernilai bagi masyarakat, kira-kira bisa dilihat dari 3 hal. Pertama, bagaimana hubungan yang terbentuk dengan masyarakat selama ini, horizontal atau vertikal. Hubungan horizontal pasti menghargai masyarakat. Sedangkan hubungan vertikal sudah pasti pikirannya feodal. Kedua; bagaimana kegiatan sosial yang caleg lakukan selama ia ditengah-tengah masyarakat.
Jika caleg demen bersosialisasi ditengah masyarakat, otomatis si caleg banyak tahu masalah-masalah apa yang dihadapi masyarakat. Ketiga; bagaimana sifat si caleg ditengah masyarakat. Sifat yang baik adalah yang inklusif; caleg menanggalkan politik identitasnya. Ia gak peduli agama, golongan atau sukunya berbeda, pokoknya berjuang untuk masyarakat. Suara masyarakat akan bernilai jika diberikan pada caleg yang mempraktekkan 3 hal tersebut.
Undang-undang Pemilu kita sekarang memang mengharamkan praktek "NPWP dan Serangan Fajar". Praktek ini dianggap sebuah bentuk kejahatan. Sanksi bagi pelaku dan penerima juga tertulis jelas. Kita harus optimis dengan sistem yang sedang dibangun dapat memperkecil praktek “NPWP dan Serangan Fajar”
Ngeri-ngeri sedap memang soal NPWP dan Serangan Fajar. Rasanya juga sepakat kalau praktik ini tidak ada nilai ekonomisnya sama sekali bagi pemilih.
Mengutip kata seorang ilmuwan politik, Harold Laswell; "Politik itu masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana", bukan berarti juga bisa dipraktekkan lewat "Nomor Piro Wani Piro kaleeee......".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H