Riba juga dilakukan oleh penduduk Makkah dan Ta’if. Ini merupakan latar belakang muncullah ayat terakhir riba yaitu al-Baqarah 278-279 adalah mengenai berbagai transaksi pinjam meminjam antara keluarga Saqif dari ta’if dan keluarga Mugirah sebagai penerima. Dalam memberi pinjaman kepada keluarga Mugirah di Mekkah juga meminta riba pada waktu pengembalian hutang itu juga. Penuturan ini diriwayatkan beberapa orang melalui jalur sahabat Ibn Abbas. Tetapi riwayat lain melalui jalur sahabat al-Saudi menyebutkn bahwa justru keluarga Saqif yang berhutang kepada salah seorang keluarga Mugirah yang bekerja sama dengn al-Abbas bin Abd al-Muttalib.[4]
Dari riwayat-riwayat praktek riba itu dapat dicatat beberapa hal. Dalam banyak kasusu, riba merupakan ketidaksanggupan peminjam mengembalikan hutangnya pada waktu yang telah disepakati. Kemudian muncul kesepatan baru yang berupa penundaan pembayaran hutang dengan catatan peminjam memberi tambahan atas jumlah pinjaman ketika pelunasan. Agaknya, kesepakatan ini disebabkan oleh keadaan yang memaksa. Ini dibuktikan dengan bertamahnya utang yang semakin lama semakin banyak dan yang miskin tambah miskin sedangkan yang kya bertambahlah harta kekayaannya.dan juga dalam kasus in tampaknya hutang dilakukan orang untuk sekedar mempertahankan hidup, bukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu Allah melarang keras sistem riba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H