Mohon tunggu...
Agus Trisa
Agus Trisa Mohon Tunggu... -

Seorang ayah dengan dua orang anak dan seorang istri.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jika Khilafah Akan Mensejahterakan Rakyat, Lalu Mengapa Pada Masa Kekhalifahan Ada Juga Orang Miskin?

11 Juli 2015   14:48 Diperbarui: 11 Juli 2015   15:00 2530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada yang menyatakan bahwa jika negara khilafah memang akan mensejahterakan rakyatnya, lantas mengapa pada masa Rasulullah saw. dan para Khulafaur Rasyidin juga tetap ditemukan orang miskin? Apakah ini berarti syariat Islam gagal mensejahterakan masyarakat?

TANGGAPAN:

Pertama, harus dipahami bahwa Islam memandang masalah kemiskinan itu sebagai permasalahan manusia, bukan semata-mata permasalahan ekonomi. Sebab, persoalan manusia itu juga saling terkait antara satu dengan yang lain. Maksudnya, persoalan kemiskinan sangat terkait dengan persoalan yang lain, bukan semata-mata karena faktor perekonomian suatu bangsa. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan persoalan ekonomi ini tidak cukup dengan memperbaiki sistem ekonomi yang bobrok, melainkan juga harus memperbaiki sistem-sistem atau aturan-aturan lainnya. Seperti faktor sosial, politik luar negeri, politik dalam negeri, termasuk soal akidahnya. Sehingga, persoalan kemiskinan ini harus dipandang sebagai bagian permasalahan manusia, bukan semata-mata dipandang sebagai persoalan ekonomi. Nah, karena kemiskinan dipandang sebagai persoalan manusia, maka kemiskinan itu akan menjadi salah satu fenomena kehidupan umat manusia, dari peradaban mana pun itu. Artinya, kemiskinan itu akan menjadi suatu keniscayaan yang melingkupi kehidupan manusia. Dari peradaban mana pun itu, dalam kurun waktu kapan pun itu. Kemiskinan, niscaya akan tetap ada.

Kedua, karena kemiskinan itu menjadi suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia, maka kita tidak akan bicara soal “nasib manusia”. Misalnya, “Kenapa saya ditakdirkan hidup miskin sedangkan yang lain tidak?” Sebab, ini adalah wilayah i’tiqadi (keyakinan). Karena masuk wilayah i’tiqadi atau keyakinan, maka harus ada dalil qath’i yang menyatakannya bahwa “Si A, Si B, Si C, akan bernasib miskin; sedangkan Si D, Si E, dan Si F jadi orang kaya”. Namun, dalil qath’i yang seperti ini tentu saja tidak ada. Karena tidak ada, maka jangan sampai manusia beranggapan bahwa “Saya sudah ditakdirkan hidup miskin”, atau “Dia sudah ditakdirkan hidup miskin”. Sebab, hal seperti ini tidak bisa dibahas manusia.

Jika tidak bisa dibahas manusia, lantas manusia harus membahas apa untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan ini? Jawabannya adalah membahas hal-hal yang bisa dibahas manusia, yaitu “apa yang menjadi faktor penyebab seseorang hidup berkekurangan atau membutuhkan.”

Dalam konteks faktor penyebab kemiskinan atau hidup manusia yang sangat membutuhkan, maka menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani ada tiga faktor, yaitu faktor individual, kedua faktor lingkungan (kultural), dan ketiga faktor negara (struktural).

Pada faktor penyebab kemiskinan yang pertama, bisa terjadi karena faktor individu orangnya. Bisa karena dia cacat secara fisik, mengalami keterbelakangan mental, tidak memiliki modal untuk usaha, karena usia lanjut, atau karena tidak memiliki ilmu sebagai modal untuk bekerja. Oleh karena itulah, seseorang (laki-laki) yang sudah baligh dan berakal sehat, serta sempurna fisiknya, dia diwajibkan untuk bekerja dan memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Jika karena faktor-faktor tersebut, dia masih juga berada dalam kondisi yang memprihatinkan, maka sudah menjadi kewajiban bagi sanak kerabatnya untuk membantunya. Jika sanak kerabat juga masih belum bisa menolongnya, maka wajib bagi negara untuk menolongnya.

Pada faktor penyebab kemiskinan yang kedua, bisa terjadi pada lingkungan yang orang-orangnya memiliki pemahaman yang bisa menjerumuskannya dalam kemiskinan. Misalnya, memiliki sifat malas, atau berpaham fatalis (pasrah pada nasib). Dalam konteks ini maka siapa pun wajib mendidik orang-orang tersebut agar jangan sampai menjadi orang yang fatalis. Maka diperlukanlah kontrol sosial. Namun jika dari kontrol sosial ini ternyata tidak mampu, maka negara harus turun tangan, mendidik warga negaranya dan menyelamatkan mereka dari pemahaman-pemahaman yang salah.

Pada faktor penyebab kemiskinan yang ketiga, bisa terjadi karena sistem yang diterapkan negara benar-benar membuat masyarakat tidak mampu menjangkau apa-apa yang mereka butuhkan. Dari ketiga faktor penyebab kemiskinan, faktor terakhir inilah yang paling berperan. Sebab, sekali pun individu-individu di sebuah negara memiliki kecerdasan dan kesempurnaan fisik yang baik, juga kontrol sosial yang baik, namun jika sistem negara justru membuka peluang terjadinya efek kemiskinan, maka faktor pertama dan kedua menjadi tidak berlaku.

Katakanlah individu-individu di sebuah negara semuanya baik, kontrol sosial juga berjalan baik. Namun jika pendidikan itu begitu mahal, sumber daya alam dijarah asing, negara lepas tangan terhadap perilaku para kapitalis yang membunuhi bisnis rakyat kecil, maka tetap saja kemiskinan itu akan selalu ada.

Nah, dalam konteks inilah kita bisa memandang bagaimana kemiskinan pada masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin dapat terjadi, sehingga kita tidak tergesa-gesa menyalahkan syariat Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun