Ketika Rasulullah saw. menjabat sebagai kepala negara, beliau begitu perhatian kepada rakyat kecil. Pada masa Beliau saw., peran negara dan kontrol sosial masyarakat sangat baik, sehingga ketika ditemukan orang miskin, maka akan langsung diselesaikan. Sebagai contoh, suatu ketika datang seseorang kepada Rasulullah saw. Dia kelaparan. Seketika itu pula negara (yang direpresentasikan oleh pribadi Rasulullah saw.) mencarikan solusi.
Saat itu Rasulullah saw. meminta kepada para istri beliau, namun ternyata tidak ada yang dimiliki kecuali air. Lalu beliau berkata kepada kaum muslim, “Siapakah di antara kalian yang ingin menjamu orang ini?” Salah seorang kaum Anshar berkata: “Saya ya Rasulullah” lalu orang Anshar ini membawa lelaki tadi ke rumahnya. Ia berkata kepada istrinya: "Muliakanlah tamu Rasulullah.” Istrinya berkata: “Kita tidak memiliki apa pun kecuali jatah makanan untuk anak-anak.” Lelaki Anshar itu pun berkata: “Siapkanlah makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!” Kemudian, sang istri menyiapkan makanan untuk tamu. Kemudian, menyalakan lampu di dalam rumah, dan menidurkan anak-anaknya. Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami istri ini memperlihatkan seolah-olah mereka sedang makan. Setelah itu, mereka tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya, Rasulullah saw., berkata kepada laki-laki itu: “Malam ini Allah tertawa atau ta'ajjub dengan perilaku kalian berdua.” Lalu Allah swt. menurunkan ayat-Nya: “dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)
Kenyataan di atas (dan juga kenyataan yang lain) menunjukkan bahwa kemiskinan yang terjadi tidak disebabkan karena faktor yang ketiga atau kedua. Terbukti, bahwa orang Anshar tersebut segera turut membantu saudaranya dengan susah payah, dan Rasulullah saw. (selaku kepala negara) segera mencarikan solusi atas apa yang menimpa lelaki tadi.
Ada juga kisah lain, yaitu kisah yang terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khathab ra. Suatu hari khalifah Umar bin Khathab ra. menemui beberapa orang yang berdiam diri di Masjid. Padahal saat itu adalah waktu siang hari, dimana orang-orang lain sibuk beraktivitas (dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan). Kepada mereka beliau bertanya, “Mengapa kalian tidak bekerja?” Salah seorang di antara mereka menjawab, ”Kami bertawakkal kepada Allah”. Mendengar jawaban itu, Umar ra. marah. Lantas dia berkata, ”Kalian adalah orang-orang yang malas, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak!!” Kemudian Khalifah Umar mengusir mereka dari masjid, namun tak lupa beliau memberikan biji-bijian kepada mereka seraya berkata, ”Tanamlah dan bertawakkal-lah kepada Allah!”
Kejadian tersebut menunjukkan kenyataan bahwa Umar bin Khathab ra. (selaku kepala negara) segera menyelesaikan persoalan yang menjadi sebab datangnya kemiskinan kepada sekelompok orang. Bayangkan jika hal tersebut terus dibiarkan, tentu akan berdampak pada masyarakat luas. Maka, Umar pun segera menegur mereka dan memberikan solusi kepada mereka, yaitu beberapa biji-bijian sebagai modal untuk mereka bekerja.
Teranglah sudah persoalannya. Jadi, persoalan kemiskinan yang terjadi pada masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin, berbeda kasus dan berbeda cara penanganannya dengan kemiskinan yang terjadi di masa sekarang ini. Maka, dengan realitas seperti ini, sungguh sangat dangkal jika mengatakan bahwa syariat Islam tidak mampu menyelesaikan problem kemiskinan.
Maka, kesimpulannya adalah : beda sebab, beda solusi; antara adanya orang miskin pada masa Rasulullah saw. dengan orang miskin pada masa sekarang ini.
Wallahu a’lam…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H