Paus Fransiskus adalah pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia sekaligus kepala negara Vatikan. Â Ia melakukan kunjungan kenegaraan dan pastoral ke Indonesia sejak 3 September 2024. Dijadwalkan ia akan mengadakan beberapa agenda kenegaraan dan keagamaan hingga 6 September 2024, termasuk pertemuan dengan Presiden Joko Widodo, kunjungan ke Masjid Istiqlal dan bertemu tokoh-tokoh lintas agama serta memimpin Misa Agung atau Misa Kudus di Gelora Bung Karno pada 5 September 2024.
Sambutan hangat bukan hanya diperlihatkan dan diberikan oleh tokoh-tokoh bangsa dan tokoh-tokoh lintas agama tetapi juga masyarakat secara luas. Sambutan hangat ini menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia telah menjadikan semangat moderasi beragama sebagai kepribadian bangsa. Benarkah demikian? Kita akan melakukan napak tilas untuk menemukan beberapa fragmen moderasi beragama bahkan sebelum negeri ini menjelma menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga penyambutan terhadap Paus Fransiskus.
Masa Kerajaan Hindu-Buddha
Jika mau dibuat kurun waktu perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara maka dapat dirangkai dalam masa sekitar sepuluh abad. Diterimanya ajaran dan budaya Hindu-Buddha secara damai saja sudah merupakan bukti moderasi beragama. Maka tidak mengherankan jika beberapa kerajaan meninggalkan fragmen semangat moderasi beragama.Â
Contoh yang paling menarik adalah apa yang diabadikan oleh Mataram Kuno berupa candi-candi bercorak Hindu dan bercorak Buddha, seperti Prambanan dan Borobudur. Begitupun saat dua dinasti berbeda agama yakni Sanjaya dan Syailendra memutuskan bersatu dalam ikatan perkawinan untuk menyelamatkan Mataram Kuno dari perpecahan. Begitulah Rakai Pikatan dan Pramodhawardani menjadi pasangan beda agama kala itu demi melihat kejayaan Mataram.
Fragmen lainnya pada masa Hindu-Buddha yang paling menonjol adalah yang dicontohkan oleh Raja Majapahit, Prabu Kertabhumi (Brawijaya V). Ia bukan hanya membuka lebar-lebar pintu Majapahit untuk masuknya agama Islam, ia bahkan mengikatnya dengan hubungan perkawinan dirinya dengan wanita Tionghoa Muslim, putri Tan Go Hwat (Syekh Bantong) bernama Siu Ban Ci.Â
Istri Brawijaya V yang juga bernama Wandan Sari inilah yang kemudian melahirkan Cek Ko-po atau Pate Rodin menurut Tome Pires atau Jim Bun menurut versi Klenteng Sam Po Kong. Putra Brawijaya V dengan Wandan Sari ini kemudian lebih dikenal dengan nama Raden Fatah, pendiri Kerajaan Demak.
Brawijaya V juga menikahi putri dari Kerajaan Campa bernama Dewi Kiem (Dewi Dwarawati), saudara Dewi Candrowulan yang merupakan ibunda Bong Swi Hoo (Raden Rahmat). Saat ponakan istrinya ini berkunjung ke Majapahit, Brawijaya V mengangkatnya sebagai Sunan di Ngampel sehingga ia kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel. Meski hingga wafatnya, Brawijaya V tidak menganut Islam tetapi semangat moderasi beragama yang ia tunjukkan telah ikut mendorong penyebaran dakwah Islam di wilayah Majapahit hingga menjelma menjadi satu kekuatan politik bernama Kerajaan Demak.
Masa Kerajaan-Kerajaan Islam
Di antara fragmen moderasi beragama di masa perkembangan kerajaan-kerajaan bercorak Islam yaitu diterimanya bangsa-bangsa Eropa dengan baik di wilayah kerajaan-kerajaan Islam.Â