Mantan Presiden AS, Donald Trump yang kembali mencalonkan diri di kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 ini memberikan janji terkait penyelesaian konflik di Gaza dan lebih luas secara umum di Timur Tengah. Kandidat dari Partai Republik yang menjadi presiden AS sebelum Joe Biden ini mengeluarkan pernyataan sekaligus janji saat bertemu dengan PM Israel, Benjamin Netanyahu di Florida pada Jumat (26/7/2024) atau dua hari setelah Netanyahu berbicara di hadapan Kongres.
Di kesempatan itu, Donald Trump mengingatkan konsekuensi mengerikan bagi Timur Tengah jika dirinya tidak memenangkan Pilpres AS. Sebaliknya, jika ia kembali memimpin di Gedung Putih, maka ia akan melakukan segala upaya untuk mengembalikan perdamaian di Timur Tengah. Termasuk memerangi dan membendung anti-semitisme agar tidak menyebar ke kampus-kampus di AS.
Perdamaian di Palestina: Tersandera Pilpres AS?
Jika dicermati ulasan di atas, maka kita dapat menarik benang merah bahwa perdamaian di Timur Tengah, khususnya di Palestina dan lebih khusus lagi di Gaza telah mewarnai kontestasi Pilpres di AS. Hal ini tentu tidaklah mengherankan sebab semua kandidat memahami betul bahwa konflik Israel-Hamas di Gaza juga sangat menyita perhatian publik AS. Hal ini terutama terkait dengan isu kemanusiaan akibat konflik bersenjata tersebut. Sehingga, bisa jadi di antara pertimbangan warga AS dalam menentukan pilihan mereka adalah visi para kandidat tentang masa depan perdamaian di Gaza. Maka tidaklah mengherankan, jika momentum kedatangan Netanyahu di AS dimanfaatkan oleh para kandidat untuk mempengaruhi pilihan warganya.
Misalnya Donald Trump yang memberikan peringatan ancaman terhadap perdamaian di Timur Tengah jika dirinya tidak terpilih, lalu Kamala Harris yang menyinggung gencatan senjata saat bertemu Netanyahu, bahkan sikap Kamala Harris yang lebih diplomatis dengan tetap menyatakan dukungan ke Israel tetapi juga mendorong perdamaian.
Lalu apa pesan dari pertemuan Netanyahu dan beberapa tokoh AS itu? Mungkinkah perdamaian di Gaza harus menunggu selesainya Pilpres AS? Bukankah jika demikian berarti gencatan senjata atau perdamaian itu masih tersandera menunggu selesainya kontestasi di negeri yang katanya pembela hak asasi manusia tersebut? Semoga tidak demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H