Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pran dan Schanberg: Jurnalis yang Bertaruh Nyawa Mengabadikan Genosida di Kamboja

19 Juli 2024   10:28 Diperbarui: 19 Juli 2024   10:30 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamboja adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang pernah merasakan kelamnya penderitaan akibat Perang Dingin antara blok Barat dan blok Timur. Negara yang berbatasan dengan Vietnam dan Thailand ini juga merasakan dampak persaingan dua ideologi besar dunia, Komunisme dan Nasionalisme. Puncaknya adalah genosida yang dilakukan oleh gerilyawan Komunis Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol Pot. Korban kekejaman gerilyawan Komunis asal Vietnam Utara ini disebut-sebut hingga mencapai 2 juta jiwa. Jumlah yang lebih besar dibanding genosida di Rwanda atau Bosnia-Herzegovina.

Tersebarnya berita dan foto-foto kekejaman Khmer Merah di Kamboja tidak terlepas dari perjuangan dua jurnalis beda negara, Dith Pran (Kamboja) dan Sydney Hillel Schanberg (Amerika Serikat). Dith Pran kelahiran tahun 1942 di Siem Reap, protektorat Prancis dekat Angkor Wat. Ia adalah seorang jurnalis foto di Kamboja. Kemampuannya berbahasa Prancis dan Inggris menyebabkan ia juga direkrut menjadi penerjemah oleh Angkatan Darat Amerika Serikat (AS).

Adapun Sydney H. Schanberg dilahirkan tahun 1934 di Clinton, Massachusetts, AS. Ia menyelesaikan pendidikan di bidang Pemerintahan Universitas Harvard pada tahun 1955. Ia sempat mendaftar wajib militer dan mengikuti pelatihan dasar militer di Fort Hood di Texas. Empat tahun setelahnya,  ia bergabung dengan The New York Times sebagai jurnalis. Diketahui kemudian Schanberg bukan hanya menulis liputan tentang genosida Kamboja, tetapi juga tentang genosida di Pakistan Timur dan Perang Vietnam.

Schanberg pula yang menulis buku untuk mengenang perjuangan Dith Pran bertahan hidup dari genosida Kamboja. Buku berjudul The Death and Life of Dith Pran itu diterbitkan oleh Rosetta Books (1980). Buku yang menceritakan perjuangan dua jurnalis bersahabat, terutama Dith Pran yang berusaha bertahan hidup kemudian menjadi dasar film berjudul The Killing Fields. Film arahan sutradara Roland Joffe ini tayang pertama kali pada tahun 1984.

Sampul buku The Death and Life of Dith Pran  https://search.worldcat.org/title/The-death-and-life-of-Dith-Pran/oclc/558152908
Sampul buku The Death and Life of Dith Pran  https://search.worldcat.org/title/The-death-and-life-of-Dith-Pran/oclc/558152908

Bertugas di Tengah Ledakan Bom

Dith Pran dan Sydney H. Schanberg bertemu pertama kali pada tahun 1975 saat momen-momen menegangkan pasca ledakan bom di kota Phnom Penh. Sebelumnya Schanberg ke ibu kota Kamboja itu untuk bertemu dengan Alan 'Al Rockoff, rekannya yang seorang fotografer. Tetapi saat mereka tengah asyik bercengkerama tiba-tiba sebuah bom meledak tidak jauh dari tempat mereka. 

Naluri fotografer Rockoof mendorongnya untuk mengabadikan beberapa korban bom dari warga sipil, sedangkan Schanberg tanpa sengaja bertemu dengan Pran, sahabatnya yang seorang jurnalis sekaligus penerjemah berkebangsaan Kamboja. Keduanya kemudian mengetahui bahwa pemboman ini dilakukan oleh tentara Amerika Serikat (AS). Namun saat mereka menemui seorang rekan Schanberg di Kedutaan Besar (Kedubes) AS, mereka diberitahu bahwa ledakan itu disebabkan oleh kerusakan sistem sehingga menyebabkan militer AS menjatuhkan bom.

Didorong oleh rasa ingin tahu apa yang terjadi, Pran dan Schanberg kembali ke tempat ledakan bahkan ke kamp pengungsian. Di sana mereka disuguhkan pemandangan yang tak pernah dibayangkan. Mereka bahkan menyaksikan tentara nasional Kamboja yang menembak mati beberapa anggota Khmer Merah. Pran dan Schanberg sendiri sempat ditahan sebelum diminta meninggalkan lokasi.

Meski demikian, semangat dan keberanian sebagai jurnalis tidak menyiutkan nyali Pran dan Schanberg. Keduanya melangkah pergi mewawancarai tentara nasional Kamboja untuk mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Namun, sebelum mendapatkan informasi yang terang, sekali lagi terjadi ledakan di dekat mereka. Hanya saja kali ini ledakan disusul oleh kedatangan gerilyawan Khmer Merah dalam jumlah banyak. Akibatnya terjadi kontak senjata antara tentara nasional Kamboja dengan Khmer Merah yang diakhiri dengan terdesaknya tentara nasional Kamboja, bahkan kemudian Khmer Merah berhasil menguasai ibukota Kamboja, Phnom Penh. Akibatnya warga segera mengungsi meninggalkan kota. Jumlahnya diperkirakan mencapai 2 juta penduduk.

Upaya Schanberg dan Keputusan Berat Pran Berpisah Keluarganya

Keadaan kota yang semakin kacau pasca dikuasai oleh Khmer Merah, Schanberg mengkhawatirkan keselamatan sahabatnya. Ia lalu mengajukan perlindungan untuk Pran melalui Kedubes AS. Setelah itu, Schanberg menyampaikan kepada Pran bahwa demi keselamatan dirinya dan keluarganya mereka harus dievakuasi keluar Kamboja. Sementara keluarga Pran bersama sejumlah warga negara asing berhasil dievakuasi, Pran dan Schanberg tetap tinggal di Kamboja.

Meski demikian, kondisi kota Phnom Penh yang makin tidak kondusif karena sudah dikuasai oleh Khmer Merah membuat Schanberg mengambil keputusan meninggalkan Kamboja. Tentu ia mengajak serta Pran, sampai-sampai ia membuatkan paspor palsu agar Pran bisa meninggalkan Kamboja. Ini sekaligus berarti Pran akan kehilangan pekerjaannya sebagai jurnalis di Kamboja.

Keputusan berat pun akhirnya diambil oleh Pran. Dia tetap akan tinggal di Kamboja untuk mengungkap kejadian yang sebenarnya dan memberitahukannya kepada dunia. Apalagi upaya penyamarannya dengan memalsukan identitas ternyata mengalami kegagalan. Ia pun lantas menitipkan keluarganya kepada Schanberg yang akan dievakuasi ke Thailand untuk selanjutnya diterbangkan kembali ke AS. Di negeri Paman Sam, Schanberg melanjutkan aktivitas jurnalismenya dan sempat menjabat editor metropolitan Times (1977-1980).

Di waktu yang sama, Dith Pran yang merupakan warga Kamboja harus mencari cara sendiri untuk berjuang menyelamatkan diri dari genosida Khmer Merah. Selama itu pula, Schanberg terus melakukan upaya pencarian keberadaan sahabatnya. Selain itu ia tetap memenuhi janjinya pada Pran untuk menjaga keluarga sahabatnya itu. Schanberg juga terus meyakinkan istri dan anak-anak sahabatnya bahwa Pran masih hidup. Schanberg juga menyebut jasa Pran saat berpidato menerima penghargaan di AS pada tahun 1976.

Melarikan Diri Sejauh 40 Mil (60 km)

Bersamaan waktunya dengan Schanber menerima penghargaan, Pran harus bertahan hidup di kamp pengungsian kerja paksa. Ia juga banyak menyaksikan pembunuhan terhadap pekerja-pekerja paksa di ladang-ladang pertanian yang berubah menjadi ladang pembantaian. Kehadiran ladang-ladang pertanian ini sehubungan dengan "revolusi agraria" yang menjadi program Komunis di Kamboja.

Atas pertimbangan keperluan kerja paksa di ladang-ladang pertanian, maka mereka mengeksekusi warga kamboja yang bukan petani misalnya orang-orang intelektual, pekerja kantoran hingga dokter. Pran tidak ikut dieksekusi karena ia mengaku sebagai petani setelah semua identitasnya dibuang.

Meski demikian, pasukan Khmer Merah tetap membunuh para petani sehingga ladang-ladang pertanian itu berubah menjadi ladang-ladang pembantaian. Awalnya Khmer Merah membunuh dengan cara menembak korbannya. Cara ini dianggap menghambur-hamburkan amunisi sehingga cara eksekusi diubah menggunakan kantong plastik. Caranya dengan menutup kepala hingga hidung sampai korban mengalami kehabisan nafas.

Setelah empat tahun mengalami penderitaan karena kelaparan dan kerja paksa, Pran berinisiatif melarikan diri. Dalam pelariannya inilah ia melihat bahkan harus berjalan di antara tumpukan mayat korban genosida Khmer Merah. Mayat-mayat itu dibiarkan menumpuk di ladang-ladang pembantaian yang sudah tergenang air atau di selokan-selokan di antara ladang pertanian.

Dith Pran saat berusaha melarikan diri (Film The Killing Fields)
Dith Pran saat berusaha melarikan diri (Film The Killing Fields)

Di tengah pelariannya, Pran sempat tertangkap oleh anggota Khmer Merah yang ternyata justru melindunginya. Selama tinggal dengan keluarga anggota Khmer Merah itu, Pran menyamar sebagai sopir taksi. Setelah tentara Vietnam Selatan masuk ke Kamboja membantu tentara nasional Kamboja memerangi Khmer Merah, anggota Khmer Merah yang mulai terdesak semakin banyak melakukan pembunuhan. Mengetahui hal tersebut, Pran melanjutkan pelariannya melintasi hutan dan pegunungan hingga ia berhasil sampai ke kamp militer pasukan Prancis untuk selanjutnya dievakuasi ke Thailand.

Perjumpaan Dith Pran dan Sydney H. Schanberg

Mengetahui Pran ada di Thailand, Schanberg yang telah menetap di AS segera terbang ke negara yang juga terletak di Asia Tenggara itu. Mereka lalu saling berbagi kisah selama mereka berpisah. Schanberg lalu meminta Pran ikut dengan dirinya ke AS untuk bersatu kembali dengan keluarganya. Selain itu, Schanberg mempromosikan sahabatnya ini untuk bekerja menjadi jurnalis foto di The New York Times, bergabung dengan dirinya. Pran dan istrinya, Ser Moeun Dith menjadi warga negara AS sejak tahun 1986.

Penderitaan Berbuah Penghargaan

Empat tahun setelah bergabung dengan The New York Times, perjalanan Dith Pran dan Sydney Schanberg menyintas genosida Kamboja diangkat ke layar lebar. Bukan hanya filmnya yang berjudul The Killing Fields yang memenangkan Piala Oscar, pemeran Dith Pran juga memenangkan Academy Award untuk kategori Aktor Pendukung Terbaik.

Dith Pran sendiri masih terus berjuang berkampanye untuk pengakuan terhadap korban genosida Kamboja. Ia juga menjadi pendiri dan presiden Dith Pran Holocaust Awareness Project. Dith Pran juga menulis buku tentang ladang pembantaian anak-anak Kamboja dan diterbitkan oleh Yale University (1997). Buku ini ditulis bersama Kim DePaul, wanita yang dinikahi setelah perceraiannya dengan Ser Moeun.

Atas segala usahanya memperjuangkan pengakuan terhadap korban genosida, Pran menerima Ellis Island Medal of Honor atau Medali kehormatan Pulau Ellis (1998). Sebagaimana sahabatnya, Sydney Schanberg juga diganjar beberapa penghargaan terutama karena liputannya tentang genosida dan perang termasuk di Kamboja. Di antara penghargaan itu adalah Pulitzer, George Polk, Overseas Press Club dan Sigma Delta Chi.

Dith Pran meninggal di kota New Brunswick, New Jersey, AS pada tahun 2008 dalam usia 65 tahun. Tiga bulan sebelumnya, dia didiagnosa menderita kanker pankreas. Adapun Sydney H. Schanberg meninggal di New York, AS pada tahun 2016 dalam usia 82 tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun