Kamboja adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang pernah merasakan kelamnya penderitaan akibat Perang Dingin antara blok Barat dan blok Timur. Negara yang berbatasan dengan Vietnam dan Thailand ini juga merasakan dampak persaingan dua ideologi besar dunia, Komunisme dan Nasionalisme. Puncaknya adalah genosida yang dilakukan oleh gerilyawan Komunis Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol Pot. Korban kekejaman gerilyawan Komunis asal Vietnam Utara ini disebut-sebut hingga mencapai 2 juta jiwa. Jumlah yang lebih besar dibanding genosida di Rwanda atau Bosnia-Herzegovina.
Tersebarnya berita dan foto-foto kekejaman Khmer Merah di Kamboja tidak terlepas dari perjuangan dua jurnalis beda negara, Dith Pran (Kamboja) dan Sydney Hillel Schanberg (Amerika Serikat). Dith Pran kelahiran tahun 1942 di Siem Reap, protektorat Prancis dekat Angkor Wat. Ia adalah seorang jurnalis foto di Kamboja. Kemampuannya berbahasa Prancis dan Inggris menyebabkan ia juga direkrut menjadi penerjemah oleh Angkatan Darat Amerika Serikat (AS).
Adapun Sydney H. Schanberg dilahirkan tahun 1934 di Clinton, Massachusetts, AS. Ia menyelesaikan pendidikan di bidang Pemerintahan Universitas Harvard pada tahun 1955. Ia sempat mendaftar wajib militer dan mengikuti pelatihan dasar militer di Fort Hood di Texas. Empat tahun setelahnya, Â ia bergabung dengan The New York Times sebagai jurnalis. Diketahui kemudian Schanberg bukan hanya menulis liputan tentang genosida Kamboja, tetapi juga tentang genosida di Pakistan Timur dan Perang Vietnam.
Schanberg pula yang menulis buku untuk mengenang perjuangan Dith Pran bertahan hidup dari genosida Kamboja. Buku berjudul The Death and Life of Dith Pran itu diterbitkan oleh Rosetta Books (1980). Buku yang menceritakan perjuangan dua jurnalis bersahabat, terutama Dith Pran yang berusaha bertahan hidup kemudian menjadi dasar film berjudul The Killing Fields. Film arahan sutradara Roland Joffe ini tayang pertama kali pada tahun 1984.
Bertugas di Tengah Ledakan Bom
Dith Pran dan Sydney H. Schanberg bertemu pertama kali pada tahun 1975 saat momen-momen menegangkan pasca ledakan bom di kota Phnom Penh. Sebelumnya Schanberg ke ibu kota Kamboja itu untuk bertemu dengan Alan 'Al Rockoff, rekannya yang seorang fotografer. Tetapi saat mereka tengah asyik bercengkerama tiba-tiba sebuah bom meledak tidak jauh dari tempat mereka.Â
Naluri fotografer Rockoof mendorongnya untuk mengabadikan beberapa korban bom dari warga sipil, sedangkan Schanberg tanpa sengaja bertemu dengan Pran, sahabatnya yang seorang jurnalis sekaligus penerjemah berkebangsaan Kamboja. Keduanya kemudian mengetahui bahwa pemboman ini dilakukan oleh tentara Amerika Serikat (AS). Namun saat mereka menemui seorang rekan Schanberg di Kedutaan Besar (Kedubes) AS, mereka diberitahu bahwa ledakan itu disebabkan oleh kerusakan sistem sehingga menyebabkan militer AS menjatuhkan bom.
Didorong oleh rasa ingin tahu apa yang terjadi, Pran dan Schanberg kembali ke tempat ledakan bahkan ke kamp pengungsian. Di sana mereka disuguhkan pemandangan yang tak pernah dibayangkan. Mereka bahkan menyaksikan tentara nasional Kamboja yang menembak mati beberapa anggota Khmer Merah. Pran dan Schanberg sendiri sempat ditahan sebelum diminta meninggalkan lokasi.
Meski demikian, semangat dan keberanian sebagai jurnalis tidak menyiutkan nyali Pran dan Schanberg. Keduanya melangkah pergi mewawancarai tentara nasional Kamboja untuk mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Namun, sebelum mendapatkan informasi yang terang, sekali lagi terjadi ledakan di dekat mereka. Hanya saja kali ini ledakan disusul oleh kedatangan gerilyawan Khmer Merah dalam jumlah banyak. Akibatnya terjadi kontak senjata antara tentara nasional Kamboja dengan Khmer Merah yang diakhiri dengan terdesaknya tentara nasional Kamboja, bahkan kemudian Khmer Merah berhasil menguasai ibukota Kamboja, Phnom Penh. Akibatnya warga segera mengungsi meninggalkan kota. Jumlahnya diperkirakan mencapai 2 juta penduduk.