Konflik antar etnis yang disebabkan oleh ambisi politik untuk berkuasa banyak terjadi di berbagai belahan dunia. Para kekuatan politik yang telah dibutakan oleh keinginan berkuasa seringkali tidak mau peduli nasib rakyat kecil yang akan menjadi tumbal ambisi berkuasa mereka. Banyak contoh yang dapat dikemukakan bagaimana kejahatan kemanusiaan bahkan tindakan pemusnahan etnis terjadi di berbagai belahan dunia, bahkan hingga saat ini.
Kali ini kami akan mengulas kisah yang terjadi hampir bersamaan dengan genosida di Rwanda, yaitu kisah tragis yang dialami oleh Aida Selmanagic, seorang penerjemah yang bekerja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ia bertugas menjadi penerjemah antara pasukan PBB dengan pemerintahan setempat di Bosnia juga dengan kalangan militer Serbia yang melakukan genosida.
Meskipun ia bekerja untuk PBB tetapi ia tidak mampu melindungi suami dan kedua putranya saat genosida di Bosnia khususnya di Srebrenica. Pembantaian di Srebrenica ini menjadi salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah. Kisah Aida yang kehilangan suami dan kedua putranya sekaligus menjadi bukti bahwa PBB seringkali gagal melindungi warga sipil saat genosida sedang terjadi. Kasus Aida menjadi cermin sejarah, jika keluarga seorang penerjemah sudah tidak mampu dilindungi oleh pasukan PBB, bagaimana pula dengan keluarga-keluarga yang lainnya.
Kita ingat kisah Paul Rusesabagina. Pahlawan kemanusiaan di genosida Rwanda ini dapat menyelamatkan diri, keluarga dan ribuan pengungsi saat genosida karena jaringan perkenalannya dengan petinggi militer. Juga dengan diplomasi level negara yang melibatkan atasannya. Jadi kepahlawanan Paul bukan karena perlindungan pasukan PBB meski ia juga berkenalan baik dengan komandan PBB yang ikut membantu pengamanan hotel tempatnya menampung pengungsi.
Jika Paul dapat menyelamatkan diri dan keluarganya karena jaringan yang dimilikinya, tidak demikian dengan Augustin atau Cecile. Keduanya adalah contoh warga sipil yang tak berdaya menghadapi beringasnya para pelaku genosida di Rwanda. Augustin harus rela kehilangan istri tercinta, dan Cecile pun harus menyaksikan suaminya dibantai di depan matanya. Nasib yang hampir sama dengan Augustin dan Cecile menimpa Aida, hanya saja penerjemah PBB ini tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana suami dan kedua putranya dieksekusi.
Pedihnya, menjelang eksekusi Aida beserta suami dan kedua putranya berusaha meminta tolong ke pasukan PBB yang ternyata tidak mampu berbuat apa-apa. Ke mana lagi, Aida harus meminta tolong? Itulah sebabnya, film yang mengangkat kisahnya diberi judul "Quo Vadis, Aida?" yang jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia berarti "Mau Ke Mana, Aida?"
Sebagaimana apresiasi terhadap film-film yang mengangkat kisah nyata genosida, Quo Vadis, Aida? juga mendapat respon internasional yang sangat baik. Film ini bukan hanya diproduksi oleh duabelas rumah produksi tetapi juga menjadi nominasi film internasional terbaik dalam ajang bergengsi Academy Awards ke-93 tahun 2021. Film yang rilis tahun 2020 di ajang bergengsi Festival Film Internasional Venesia ke-77 ini juga mendapatkan beberapa penghargaan lainnya sebagai film internasional terbaik di beberapa negara seperti di Belanda dan Inggris.
Berawal dari Ambisi Sang PresidenÂ
Slobodan Milosevic adalah Presiden Yugoslavia yang terpilih menurut sistem rotasi di antara negara-negara bagian. Presiden asal  negara bagian Serbia ini bercita-cita menyatukan seluruh negara bagian bekas Yugoslavia ke dalam kekuasaan Serbia Raya. Impian Milosevic inilah yang menjadi awal pembantaian terhadap etnis Muslim di Kosovo dan Bosnia-Herzegovina.
Korban genosida akibat ambisi Milosevic di Bosnia-Herzegovina mencapai 100.000 jiwa warga sipil etnis Muslim Bosnia. Belum termasuk ribuan wanita muda yang menjadi korban perkosaan di kamp-kamp konsentrasi khusus wanita. Kota Srebrenica menjadi tempat pembantaian terbesar tentara Serbia terhadap warga sipil dengan jumlah korban lebih dari 8.000 orang selama rentang waktu 11-22 Juli 1995.Â
Saat Kota Srebrenica Tidak Lagi Aman
Srebrenica awalnya adalah kota yang aman bagi penduduk Bosnia, hal ini karena statusnya yang berada dalam pengawasan pasukan PBB yang dipimpin oleh Kolonel Thom Karremans. Tetapi sejak tahun 1995, kota ini tidak lagi aman setelah Tentara Republik Srpska yang didukung tentara nasional Yugoslavia di bawah komando Jenderal Ratco Mladic mulai mengganggu keamanan kota. Hal ini tentu merisaukan Walikota Srebrenica. Ia lalu meminta pihak PBB untuk melakukan langkah-langkah antisipasi melindungi kota dan warganya. Di sini Aida sudah memulai perannya sebagai penerjemah antara pemerintah kota Srebrenica dengan pasukan PBB. Aida sendiri adalah warga asli Srebrenica yang dapat berbahasa asing dengan lancar.
Awalnya Kolonel Karremans menjanjikan kepada Walikota Srebrenica bahwa PBB akan memaksa pasukan Serbia meninggalkan kota. Jika tidak, pihaknya akan mengarahkan 40 sampai 70 pesawat tempur untuk menghalau mereka.
Pasukan PBB Tak Berdaya
 Kolonel Karremans sesungguhnya telah berusaha menepati janjinya dengan menghubungi markas pusat PBB di New York. Sayangnya, ia harus menelan pil kekecewaan saat markas pusat tidak serius dalam memenuhi permintaannya. Ketidakberdayaan pasukan PBB di Srebrenica, memuluskan tindakan brutal pasukan Serbia. Ancaman dan peringatan Kolonel Karremans bahkan tembakan peringatan dari Peacekeeper (penjaga perdamaian) PBB asal Belanda pun tidak mampu menghentikan aksi Jenderal Mladic dan pasukannya.
Meski demikian, pasukan PBB tetap berusaha mengamankan warga ke kamp pengungsian yang juga disiapkan oleh PBB. Begitupun Aida, suami serta kedua putranya yang sudah berusia remaja. Meski demikian, mereka termasuk warga yang tidak dapat ditampung di gedung pengungsian karena tidak mampu menampung pengungsi yang jumlahnya mencapai 25 ribu orang. Selain keterbatasan tempat dan logistik, masalah keamanan juga menjadi ancaman serius. Hal inilah yang menyebabkan Kolonel Karremans tetap berusaha meminta pertolongan ke markas pusat PBB, tetapi lagi-lagi berakhir tanpa hasil.
Negosiasi dan Siasat Licik Jenderal Mladic
Tembakan tiba-tiba pasukan Peacekeeper PBB ke pasukannya saat menguasai Srebrenica, membuat Jenderal Mladic berpikir bahwa pasukan PBB tidak dapat dihadapi dengan kekerasan. Ia kemudian memutuskan bernegosiasi dengan Kolonel Karremans. Tetapi ia meminta perwakilan dari warga sipil Bosnia untuk ikut serta dalam negosiasi. Aida sekali lagi memainkan peran sebagai penerjemah antara pasukan PBB dan warga sipil untuk meminta kesediaan mereka mengikuti negosiasi. Berhubung hanya seorang warga yang berani mengajukan diri, maka Aida menyarankan suaminya juga menjadi perwakilan karena ia sosok yang cukup terpelajar. Hal ini sekaligus menjadi peluang suami dan putranya dapat masuk ke dalam gedung pengungsian.
Melalui mediasi Aida sebagai penerjemah, dihasilkan kesepakatan saat negosiasi. Pihak PBB akan meminta warga sipil yang memiliki senjata untuk diserahkan ke pihak Serbia dan sebagai imbalan mereka akan menjamin keamanan warga sipil. Warga sipil juga diberikan pilihan tetap tinggal di kota Srebrenica atau pergi meninggalkan kota. Jika mereka memilih akan meninggalkan kota, maka pasukan PBB akan menyiapkan transportasinya sedangkan pasukan Serbia akan membantu pengamanannya. Jenderal Mladic juga akan membantu logistik bagi mereka yang berada di pengungsian.
Strategi licik Mladic terbukti saat ia dan pasukannya mengerahkan beberapa bus dan truk untuk mengevakuasi warga sipil yang berada di luar gedung pengungsian. Evakuasi ini tanpa sepengetahuan dan persetujuan pihak PBB. Â Anak-anak dan wanita dinaikkan ke bus sementara pria dewasa dan remaja dinaikkan ke truk pengangkut. Sudah bisa ditebak bahwa para pria ini akan dieksekusi oleh Mladic dan pasukannya. Kolonel Karremans yang datang dan menyaksikan tindakan pasukan Serbia menyatakan keberatannya. Didampingi oleh Aida, Karremans melampiaskan kemarahannya kepada Mladic yang telah melanggar kesepakatan. Tetapi Mladic tetap bersikeras dan Karremans tidak dapat berbuat apa-apa, sehingga evakuasi tetap dilanjutkan. Tinggallah warga sipil yang masih berada dalam gedung pengungsian termasuk suami dan kedua putra Aida.
Perjuangan Aida Menyelamatkan Suami dan Kedua Putranya
Meski berada dalam gedung pengungsian sehingga mereka tidak ikut dievakuasi oleh pasukan Mladic, tetapi Aida tetap khawatir bahwa mereka akan bernasib sama. Hanya menunggu waktu, pasukan Serbia akan datang mengevakuasi mereka yang berada dalam gedung. Aida kemudian memikirkan cara menyelamatkan suami dan kedua putranya.
Aida yang bekerja sebagai penerjemah untuk PBB tentu saja meminta Kolonel Karremans untuk melindungi dirinya dan keluarganya. Sayangnya, Aida harus mengelus dada mendengar jawaban Karremans yang tidak bersedia menjamin keselamatan keluarganya. Komandan pasukan PBB ini justru menyarankannya menyerahkan suami dan kedua putranya untuk ikut dievakuasi oleh tentara Serbia. Sebab jika tidak dan mereka melindungi keluarga Aida, maka ini dapat membahayakan pasukan PBB. Diliputi keputusasaan, Aida hanya menemukan satu ide untuk menyelamatkan suami dan kedua putranya. Mereka disembunyikan di dalam sebuah truk yang tidak terpakai.
Aida Kehilangan Suami dan Kedua Putranya
Sementara suami dan kedua putranya bersembunyi, di luar gedung pengungsian Mladic dan pasukannya melanjutkan evakuasi terhadap waga sipil. Lagi-lagi, pihak PBB hanya bisa menyaksikan tindakan tentara Serbia tersebut. Tidak berselang lama, anak buah Mladic menemukan persembunyian suami dan kedua putra Aida. Lagi-lagi Aida dan keluarganya meminta perlindungan kepada Kolonel Karremans. Tetapi sekali lagi mereka harus kecewa sambil membayangkan petaka yang akan segera menimpa. Akhirnya, Aida terpaksa menyerahkan suami dan kedua putranya ikut dievakuasi oleh tentara Serbia. Ternyata semua pria yang dievakuasi menggunakan truk dibawa ke dalam gedung yang menjadi tempat eksekusi dengan cara diberondong tembakan, termasuk suami dan kedua putra Aida.
Beberapa tahun setelah pembantaian brutal itu, lokasi kuburan massal korban berhasil ditemukan. Kerangka mereka dibawa ke dalam gedung untuk diidentifikasi. Aida berhasil mengenali kerangka suami dan kedua putranya berdasarkan perlengkapan yang dipakai menjelang eksekusi. Hanya air mata dan tangisan pilu seorang istri sekaligus seorang ibu dari dua orang pemuda. Air mata dan tangisan yang mewakili ribuan orang Bosnia-Herzegovina yang kehilangan keluarganya. Beginilah akibat dari sebuah ambisi politik sekelompok orang yang hanya akan mengorbankan warga sipil. Semoga hal seperti ini tak terulang lagi di masa-masa selanjutnya, di belahan dunia manapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H