Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Genosida Rwanda: Tumbal Ambisi Politik, Perang Saudara dan Dendam Sejarah Warisan Barat

1 Juli 2024   06:55 Diperbarui: 1 Juli 2024   07:07 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kamp pengungsi akibat genosida Rwanda tahun 1994 (Rwandan Genocide Documentary) 

Di dua artikel sebelumnya, kami sudah menyajikan kisah perjuangan pasangan Augustin (Hutu) dan Jolande (Tutsi) serta persahabatan Augustin (Hutu) dan Cecile (Tutsi) menyelamatkan ratusan orang Tutsi dari pembantaian suku Hutu. Begitupun perjuangan Paul Rusesabagina (Hutu) yang didukung istrinya, Tatiana (Tutsi) yang berhasil menyelamatkan lebih dari seribu jiwa baik dari kalangan minoritas Tutsi atau Hutu moderat.

Baik suku Hutu maupun Tutsi sepertinya sulit melupakan permusuhan mereka di masa lampau. Beberapa literatur menyajikan fakta persaingan di antara mereka di masa-masa kerajaan di benua Afrika. Orang-orang Hutu tiba terlebih dahulu dan menggeser kekuatan suku Twa. 

Mereka lalu mendirikan kerajaan-kerajaan tradisional hingga abad ke-15. Lalu pada abad tersebut datanglah orang-orang Tutsi dari Ethiopia dan berhasil mengambil alih kekuasaan dari orang-orang Hutu. Kekuasaan di tangan Tutsi ini bertahan hingga masa kolonial tahun 1950-an.

Kelas Sosial dan Pembagian Kekuasaan Warisan Barat

Beberapa ulasan di jurnal ilmiah mengungkap fakta mengejutkan terkait sejarah terbentuknya suku Hutu dan Tutsi di Rwanda. Kedua suku ini sesungguhnya tidak berbeda dalam budaya bahasa bahkan agama. Mereka hanya berbeda sedikit secara fisik. Beberapa literatur justru mengungkap bahwa pembagian suku ini tidak terjadi secara alami sebagaimana di Indonesia. 

Hutu dipandang oleh Belgia sebagai representasi rakyat jelata, sementara Tutsi dianggap lebih bersifat aristokrat dan merepresentasikan penguasa. Hal inilah yang memicu etnis Hutu melakukan pemberontakan dan mengusir etnis Tutsi keluar dari wilayah Rwanda pada tahun 1956. 

Pada masa akhir kolonial, tepatnya tahun 1962, Belgia membagi wilayah jajahannya menjadi dua yakni Rwanda yang dikuasai oleh Hutu dan Burundi yang dikuasai oleh Tutsi. Dengan demikian, pembagian kelas sosial Hutu dan Tutsi bisa dikatakan terjadi secara artificial dan menjadi akar atau latar belakang konflik berkepanjangan dan puncaknya pada genosida tahun 1994.

Potret tiga suku di Rwanda (Rwandan Genocide Documentary) 
Potret tiga suku di Rwanda (Rwandan Genocide Documentary) 

Lalu apa saja faktor penyebab terjadinya genosida di Rwanda? Setelah menyimak beberapa video di kanal youtube dan dikonfirmasi dalam beberapa artikel di jurnal ilmiah, maka kami menyimpulkan bahwa genosida yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994 disebabkan oleh bertemunya beberapa faktor. 

Pertama, ambisi politik sebuah kelompok tertentu, dalam kasus di Rwanda diwakili oleh Hutu dan Tutsi. Kedua, perang saudara Hutu dan Tutsi yang masing-masing ingin berkuasa. Ketiga,  dendam sejarah Hutu kepada Tutsi yang dianggap berjiwa aristokrat dan bermental penguasa serta dituduh mengkhianati negaranya.

Dendam sejarah inilah yang oleh Hutu dijadikan alasan  pembenaran untuk melakukan tindakan pembersihan etnis atau suku (genosida). Korban genosida mayoritas berasal dari suku Tutsi yang minoritas di Rwanda dan sebagian kecil berasal dari suku Hutu yang bersikap moderat terhadap Tutsi. Lalu bagaimana pemaparan lengkapnya? Kami mencoba menyajikannya secara kronologi.

Ambisi Kelompok dan Penembakan Presiden Rwanda

Genosida di Rwanda berawal dari penembakan Presiden Juvenal Habyarimana bersama Presiden Burundi pada 6 April 1994. Saat itu keduanya sedang berada dalam pesawat helikopter pemberian Presiden Prancis, Francois Mitterand. Penembakan di bandara Kigali ini lalu diidentifikasi sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Presiden Habyarimana yang berencana menyatukan berbagai suku dalam komposisi pemerintahannya. 

Rencana pembagian kekuasaan lintas suku ini tertuang dalam Piagam Arusha (Arusha Accord) yang ditandatangani setahun sebelumnya. Di antara langkah yang sudah dilakukan oleh Habyarimana adalah menunjuk Agathe Uwilingiyimana dari suku Tutsi sebagai Perdana Menteri. Habyarimana sendiri berasal dari suku Hutu, tetapi mencermati rencananya maka bisa dikatakan ia merupakan golongan suku Hutu yang moderat.

Rekayasa kepentingan atau ambisi kelompok tertentu semakin nyata ketika radio setempat menyiarkan berita bahwa pelaku penembakan terhadap presiden Habyarimana adalah pemberontak dari minoritas suku Tutsi. 

Mereka tergabung dalam Rwandan Patriotic Front (RPF), ada juga literatur yang menulisnya Front Patriotique Rwandais (FPR). Adapun radio yang menyiarkan bahwa mereka adalah pelakunya adalah Radio Television Libre des Mille Collines (RTLM) yang didirikan oleh Ferdinand Nahimana dan dikendalikan oleh pemimpin milisi Hutu, Georges Rutuganda. 

Milisi Hutu bernama Interahamwe inilah yang menggaungkan pemerintahan satu suku dan sangat terkenal membenci suku Tutsi. Meski demikian, Interahamwe dengan kekuatan publikasinya menuduh RPF yang melakukan penembakan terhadap Presiden Habyarimana.

Peristiwa penembakan terhadap Presiden Rwanda ditambah kekuatan publikasi dari Interahamwe lantas memicu genosida terhadap orang-orang bersukut Tutsi dan suku Hutu moderat. Beberapa jam pasca penembakan, milisi Hutu sudah melakukan blokade di berbagai tempat untuk menghalangi warga beretnis Tutsi meninggalkan Rwanda. 

Kebencian Hutu terhadap Tutsi juga dipicu oleh dendam sejarah. Saat Rwanda berada di bawah kekuasaan Prancis, Tutsi justru dituduh bersekongkol dengan Belgia untuk menguasai Rwanda. Maka dengan demikian, genosida di Rwanda juga tidak terlepas dari kepentingan negara Eropa dalam hal ini Prancis. Bahkan pasca penembakan Presiden Habyarimana, Prancis dituduh membantu pasukan khusus Garda Presiden dan milisi Interahamwe.

Genosida Melibatkan Angkatan Bersenjata, Milisi hingga Oknum Parpol

Dua kekuatan inilah yang memegang kendali atas genosida yang terjadi selama hampir seratus hari di Rwanda. Angkatan Bersenjata khususnya Angkatan Darat saat itu dipimpin oleh Jenderal Augustin Bizimungu sedangkan milisi Hutu, Interahamwe dipimpin oleh Georges Rutuganda. 

Milisi Hutu lain yang juga dituduh terlibat dalam genosida adalah Impuzamugambi yang didirikan oleh Robert Kajuga tetapi di lapangan dipimpin oleh Hassan Ngeze dan Jean-Bosco Barayagwiza. Kajuga juga merupakan pimpinan tertinggi Interahamwe dan wakilnya adalah Rutuganda. Itulah sebabnya di lapangan, Impuzamugambi dan Interahamwe saling mendukung dalam aksi genosida mereka. Diketahui bahwa Interahamwe lebih banyak jumlah anggotanya karena milisi ini juga melibatkan orang-orang penting dari partai politik penguasa.

Bersama Bizimungu, Rutuganda menjadi sosok yang paling bertanggung jawab terhadap genosida yang menimbulkan korban jiwa sedikitnya 800.000 jiwa. Mengerikannya, sebagian besar korban dibantai menggunakan parang (machete) atau pukulan benda keras karena sebagian besar anggota Interahamwe atau Impuzamugambi tidak memiliki senjata api. Genosida juga semakin diperparah dengan tindakan perkosaan terhadap 250 ribu wanita Tutsi. 

Di antara korban pembunuhan dalam genosida adalah Perdana Menteri Uwilingiyimana yang bersuku Tutsi. Selain sang perdana menteri, masih ada beberapa korban dari kalangan menteri dan pastor yang dituduh ikut dalam negosiasi yang melahirkan Piagam Arusha.

Kelompok Bersenjata Tutsi Menguasai Kigali

Sebenarnya sehari setelah genosida dimulai oleh Angkatan Bersenjata Rwanda, milisi Interahamwe dan Impuzamugambi, kelompok bersenjata Tutsi, Rwandan Patriotic Front (RPF) telah mencoba melindungi warga Tutsi dari genosida. Dipimpin oleh calon presiden, Paul Kagame mereka memulai misi pertahanan pada 8 April 1994. 

Sayangnya mereka tidak mampu mencegah genosida di antaranya yang paling sadis adalah pembantaian pengungsi di Gereja Katolik Roma di Nyarubuye, Provinsi Kibungo. Pembantaian keji yang berlangsung pada 15-16 April 1994 ini menimbulkan korban hingga 10.000 jiwa.

Setelah tiga bulan genosida dikendalikan oleh Angkatan Bersenjata Rwanda dan milisi Interahamwe, kekuatan RPF mulai mengambil alih kekuasaan. Milisi RPF di bawah pimpinan Paul Kagame berhasil menguasai ibukota Kigali pada 4 Juli 1994. Akibatnya, pada akhir Juli 1994 pemerintahan Hutu terpaksa mengungsi ke Zaire (sekarang wilayah Kongo). 

Sayangnya, banyaknya mayat yang dibiarkan bergelimpangan menyebabkan kota ini terjangkit penyakit kolera. Epidemi kolera ini juga menimbulkan korban ribuan pengungsi Hutu. Penyakit lain yang juga menjadi pandemi sebagai akibat genosida di Rwanda adalah HIV/AIDS. Mewabahnya penyakit ini sehubungan dengan tindakan asusila pemerkosaan ratusan ribu wanita selama genosida.

Lalu bagaimana tindakan polisi dunia dalam hal ini United Nations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam menindak para pelaku kejahatan kemanusiaan di Rwanda? Jika memungkinkan maka kami akan membahasnya setelah artikel tentang kisah genosida di Bosnia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun