Milisi Hutu lain yang juga dituduh terlibat dalam genosida adalah Impuzamugambi yang didirikan oleh Robert Kajuga tetapi di lapangan dipimpin oleh Hassan Ngeze dan Jean-Bosco Barayagwiza. Kajuga juga merupakan pimpinan tertinggi Interahamwe dan wakilnya adalah Rutuganda. Itulah sebabnya di lapangan, Impuzamugambi dan Interahamwe saling mendukung dalam aksi genosida mereka. Diketahui bahwa Interahamwe lebih banyak jumlah anggotanya karena milisi ini juga melibatkan orang-orang penting dari partai politik penguasa.
Bersama Bizimungu, Rutuganda menjadi sosok yang paling bertanggung jawab terhadap genosida yang menimbulkan korban jiwa sedikitnya 800.000 jiwa. Mengerikannya, sebagian besar korban dibantai menggunakan parang (machete) atau pukulan benda keras karena sebagian besar anggota Interahamwe atau Impuzamugambi tidak memiliki senjata api. Genosida juga semakin diperparah dengan tindakan perkosaan terhadap 250 ribu wanita Tutsi.Â
Di antara korban pembunuhan dalam genosida adalah Perdana Menteri Uwilingiyimana yang bersuku Tutsi. Selain sang perdana menteri, masih ada beberapa korban dari kalangan menteri dan pastor yang dituduh ikut dalam negosiasi yang melahirkan Piagam Arusha.
Kelompok Bersenjata Tutsi Menguasai Kigali
Sebenarnya sehari setelah genosida dimulai oleh Angkatan Bersenjata Rwanda, milisi Interahamwe dan Impuzamugambi, kelompok bersenjata Tutsi, Rwandan Patriotic Front (RPF) telah mencoba melindungi warga Tutsi dari genosida. Dipimpin oleh calon presiden, Paul Kagame mereka memulai misi pertahanan pada 8 April 1994.Â
Sayangnya mereka tidak mampu mencegah genosida di antaranya yang paling sadis adalah pembantaian pengungsi di Gereja Katolik Roma di Nyarubuye, Provinsi Kibungo. Pembantaian keji yang berlangsung pada 15-16 April 1994 ini menimbulkan korban hingga 10.000 jiwa.
Setelah tiga bulan genosida dikendalikan oleh Angkatan Bersenjata Rwanda dan milisi Interahamwe, kekuatan RPF mulai mengambil alih kekuasaan. Milisi RPF di bawah pimpinan Paul Kagame berhasil menguasai ibukota Kigali pada 4 Juli 1994. Akibatnya, pada akhir Juli 1994 pemerintahan Hutu terpaksa mengungsi ke Zaire (sekarang wilayah Kongo).Â
Sayangnya, banyaknya mayat yang dibiarkan bergelimpangan menyebabkan kota ini terjangkit penyakit kolera. Epidemi kolera ini juga menimbulkan korban ribuan pengungsi Hutu. Penyakit lain yang juga menjadi pandemi sebagai akibat genosida di Rwanda adalah HIV/AIDS. Mewabahnya penyakit ini sehubungan dengan tindakan asusila pemerkosaan ratusan ribu wanita selama genosida.
Lalu bagaimana tindakan polisi dunia dalam hal ini United Nations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam menindak para pelaku kejahatan kemanusiaan di Rwanda? Jika memungkinkan maka kami akan membahasnya setelah artikel tentang kisah genosida di Bosnia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H