Menghubungkan pemilu dengan pendidikan karakter? Mungkin bagi sebagian kita menganggapnya terlalu ideal atau bisa jadi memang terlupakan sama sekali. Kita mungkin lupa bahwa jutaan pemilih muda kita adalah mahasiswa bahkan banyak yang masih berstatus siswa.Â
Jika mengacu pada data yang disampaikan oleh pakar ilmu politik Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Dr. M. Mubarok Muharom, M.IP, jumlah pemilih tetap pemilu 2024 ada sekitar 56,45% didominasi oleh generasi milenial dan generasi z (unesa.ac.id), sedangkan data pakar politik Universitas Gajah Mada (UGM), Dr. Mada Sukmajati, diperkirakan 52% dari total 204.807.222 jiwa Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional (ugm.ac.id). Data dari kedua pakar ini menunjukkan lebih dari setengah pemilih dalam DPT Nasional (100 juta) merupakan pemilih muda.
Lalu apa hubungannya dengan "bonus demografi"? Di antara pemilih muda terdapat jutaan di antaranya berusia 17-an hingga 20-an tahun. Dua puluh tahun ke depan, sebagian besar mereka adalah bonus demografi pada tahun 2045. Masa yang disebut-sebut akan menjadi titik Indonesia emas.
Alasannya, negara-negara maju di dunia mencapai keemasan pada saat mereka memperoleh bonus demografi. Istilah ini sendiri mengacu pada lebih banyaknya penduduk usia produktif dibanding yang nonproduktif. Maka sadarlah kita bahwa pemilih muda di Pemilu 2024 adalah masa depan Indonesia. Dihubungkan dengan visi Indonesia emas 2045 mereka adalah calon-calon bonus demografi.
Maka seharusnya pemilih dewasa, politisi, kontestan hingga penyelenggara pemilu hari ini tidak melupakan pendidikan karakter bagi pemilih muda. Bagaimana caranya? Tentu dengan memberikan keteladanan dan mewariskan nilai-nilai kejujuran dan nasionalisme dalam proses demokrasi.Â
Bukan mewariskan perilaku politik lebih mementingkan kepentingan individu atau golongan tertentu, sebab hal ini mereka tidak temukan di bangku sekolah atau perguruan tinggi.Â
Para pendidik senantiasa memberikan doktrin positif kepada peserta didik agar mendahulukan kepentingan bangsanya di atas kepentingan pribadi atau golongan. Sayangnya, pendidik hanya mempunyai durasi tiga tahun membersamai anak didiknya atau empat sampai lima tahun di perguruan tinggi. Selebihnya, mereka akan dibentuk oleh lingkungan termasuk lingkungan sosial dan politik.
Kami lalu menemukan fakta bahwa beberapa anak didik kami yang terjun ke dunia politik dengan menjadi calon anggota legislatif terpaksa ikut arus tidak sehat demokrasi.Â
Mereka yang dulunya merupakan anak-anak didik yang jujur dan sangat idealis akhirnya terjebak pada arus negatif politik transaksional dengan modus utama money politics. Mereka dipaksa menerima kenyataan bahwa popularitas dan elektabilitas lebih menentukan untuk ikut mengurus negara dibanding kecerdasan dan pengalaman. Mereka terpaksa mengimitasi popularitas instan dengan cara transaksional.
Lunturnya idealisme di bangku sekolah atau perguruan tinggi oleh lingkungan sosial dan politik ini seharusnya menjadi cerminan betapa pemilih dewasa, para politisi, kontestan hingga penyelenggara pemilu harus memberikan keteladanan kepada para pemilih muda.Â