Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

La Bongo: Legenda Arung Nepo yang Berperang dengan Ayahnya Karena Kesalahpahaman

8 Juni 2024   07:34 Diperbarui: 8 Juni 2024   07:46 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perang (sumber: sampul buku La Bongngo, Pangeran Nepo karya Muhlis Hadrawi)

Diskusi di sebuah komunitas kepenulisan menjadi sebab lahirnya tulisan ini. Sahabat di komunitas Satupena memperbincangkan seorang tokoh lokal yang pernah memerintah di salah satu kerajaan di Sulawesi Selatan (Sulsel). Namanya cukup melegenda, yakni La Bongo---kadang tulis La Bongngo, La Bangngo atau La Bengngo. Nama berciri khas Bugis ini jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia berarti orang (laki-laki) yang bodoh/pandir. Diskusi di grup ini mendorong penulis mencari referensi sejarah tentang sosok La Bongo. Penulis lalu kembali membuka salah satu "kitab" sejarah lokal yang ditulis oleh sejarawan Sulsel yang sekaligus akademisi Universitas Hasanuddin, yakni Suriadi Mappangara. Buku sejarawan yang juga aktif membagikan konten sejarah lokal melalui chanel youtubenya tersebut berjudul "Ensoklopedia Tokoh dan Peristiwa Sejarah Sulawesi Selatan."Suriadi Mappangara, sejarawan yang juga pernah menerjemahkan lontarak tentang Arung Palakka lebih memilih menuliskan nama Arung Nepo itu dengan La Bongo.

Putra Raja Suppa yang Diutus Menjadi Raja di Kerajaan Nepo

Pusat Kerajaan Suppa saat ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Pinrang, sedangkan Kerajaan Nepo kini termasuk dalam wilayah Kabupaten Barru, penghubung Kabupaten Pangkep dan Kota Pare-Pare. Menurut hikayat, sebelum masa pemerintahan Arung (Raja) La Bongo, Nepo diperintah oleh penguasa yang menamakan dirinya Arung PatappuloE (raja yang empat puluh). Arung PatappuloE ini merupakan satu keluarga namun tidak satu orang pun yang berkuasa penuh. Keluarga ini tidak diketahui asal-usulnya karena tiba-tiba saja datang dan memerintah di Kerajaan Nepo.

Dikisahkan bahwa suatu ketika, Datu (Raja) Suppa Teddung LompoE mengundang raja-raja tetangganya, termasuk raja di Nepo. Ketika para arung dari Nepo tiba, Datu Suppa menanyakan yang mana merupakan raja dari Nepo untuk dipersilahkan naik. Spontan keempatpuluh raja Nepo menyatakan diri bahwa merekalah raja dari Nepo. Tentu saja Datu Suppa kebingungan karena tempat yang disiapkannya tidak memadai untuk empat puluh orang. Terpaksa keempatpuluh arung dari Nepo itu dijamu di kolom rumah.

Pengalaman Arung PatappuloE memenuhi undangan Datu Suppa mendorong mereka bermufakat untuk menunjuk seorang raja. Keputusan akhir adalah meminta Datu Suppa agar mencarikan raja untuk Kerajaan Nepo. Datu Suppa kemudian memajukan seorang putranya yang belum memiliki pekerjaan bahkan lebih banyak tinggal di rumah. Putra Datu Suppa tersebut bernama La Bongo (=bodoh/pandir). Datu Suppa lebih lanjut menjelaskan bahwa putranya itu bodoh dan belum berkeluarga serta miskin pula. Arung PatappuloE menjawab bahwa kesemuanya itu menjadi tanggungan bagi mereka. Maksudnya Arung PatappuloE bersedia bertanggung jawab karena persyaratan seorang raja adalah berdasarkan hukum adat adalah memiliki keluarga, pintar dan mempunyai harta. Akhirnya Datu Suppa dan Arung PatappuloE bersepakat sehingga, La Bongo dikirim ke Kerajaan Nepo untuk menjadi raja (arung).

La Bongo Ahli di Bidang Politik dan Teknik Perang

Dikisahkan di awal bahwa La Bongo belum berkeluarga atau bujangan. Itulah sebabnya setibanya di Kerajaan Nepo, putra kelima Datu Suppa Tedung LompoE dengan Arung Cempa ini dinikahkan dengan putri Arung Mareppang, I Mantasa. Mareppang sendiri merupakan salah satu dari enam daerah bawahan Nepo.

Meskipun Datu Suppa beranggapan bahwa La Bongo mengendalikan pemerintahan di Nepo dalam keadaan bodoh, namun ia berkeyakinan bahwa putranya itu memiliki keahlian dalam bidang politik dan teknik perang apalagi ia dibantu oleh Arung PatappuloE. Suatu ketika, Datu Suppa  meminta bantuan rakyat Nepo untuk menebang kayu yang akan dijadikan bahan perumahan bagi Datu Suppa. La Bongo lantas mengirimkan sekitar seribu rakyatnya ke Suppa. Sebelum berangkat, La Bongo menyampaikan kepada rakyatnya, apabila mereka telah menebang kayu, maka jangan dilakukan pengolahan (penggelondongan) menurut semestinya. Ia memerintahkan kayu-kayu itu diikat kemudian ditarik melalui tanaman dan perumahan rakyat agar merusak. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa maksud yang demikian itu agar Datu Suppa tidak lagi meminta bantuan kepada mereka.

Rakyat Nepo melaksanakan apa yang diperintahkan oleh raja mereka, akibatnya rakyat Kerajaan Suppa melaporkan hal yang demikian kepada Datu Suppa. Ayah La Bongo ini tidak dapat melakukan apa-apa kecuali menyuruh pulang rakyat Nepo ke kerajaannya.

Meski Datu Suppa kecewa, kedua kalinya ia tetap meminta bantuan dari rakyat Nepo. Kali ini meminta mereka membantu menanam padi di sawah, sebab jika tidak dibantu maka kemungkinan bibit padi segera akan rusak. La Bongo lagi-lagi menyanggupi permintaan ayahnya, tetapi sebelum berangkat ia kembali mengumpulkan rakyatnya. Ia menyampaikan kepada rakyatnya, jika mereka sudah tiba di Suppa dan membantu menanam padi, lantas sampai tengah hari mereka belum diberi makan, maka mereka diperintahkan menanam padi secara terbalik (akarnya di atas, sedang daunnya ditanam).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun