Menyerang milisi Hamas di Rafah menjadi alasan utama Israel menginvasi kota di perbatasan Gaza dengan Mesir ini sejak Senin (6 Mei 2024). Israel telah memerintahkan sekitar 100.000 warga Palestina di Rafah untuk meninggalkan kota tersebut. Mereka diminta mengungsi ke "wilayah kemanusiaan" yang diperluas ke wilayah al-Mawasi dan Khan Younis---sekitar 10 km ke Utara Rafah. Mereka mengaku telah menyebarkan informasi ini dengan berbagai sarana, seperti radio, internet dan selebaran. Sebagian warga Palestina di Rafah mempertanyakan seruan ini karena bagi mereka Rafah justru menjadi tempat paling aman di Gaza sepanjang perang Israel-Hamas. Meski demikian, ratusan warga Rafah mulai bergegas meninggakan kota ini pasca tank-tank Israel masuk ke wilayah ini. Sejak Israel menginvasi Rafah tanggal 6 Mei 2024, PBB melalui UNRWA telah menyampaikan 80 ribu warga meninggalkan Rafah (detiknews, 10/05/2024).
Meski dunia internasional dan PBB telah mengingatkan ancaman "pembantaian" di Rafah tetapi kabinet perang Israel lebih condong menyebut serangan ke Rafah sebagai "operasi terbatas", hal ini sebagaimana dikutip dari Kompas.com (08/05/2024). Dijelaskan pula bahwa operasi ini bertujuan memberikan tekanan kepada Hamas dalam rangka pembebasan para sandera dan mencapai tujuan-tujuan lain dari perang ini. Tel Aviv juga meyakini bahwa Hamas adalah benteng pertahanan batalion terakhir Hamas.
Israel Telah Bombardir Rafah dan Tewaskan Warga Sipil
Hal ini sebagaimana diberitakan oleh beberapa media nasional. Kompas.com (10/5/2024) memberitakan bahwa tank dan pesawat tempur Israel telah membombardir Rafah. Sementara itu CNN Indonesia (10/5/2024) melansir bahwa berdasarkan citra satelit Planet Labs kondisi Rafah saat ini mirip dengan tahap awal invasi darat ke Gaza pada Oktober lalu. Mengutip rumah sakit setempat, CNN juga memberitakan bahwa sedikitnya telah ada 40 orang yang tewas akibat serangan udara Israel di Rafah. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak.
Jika korban jiwa adalah warga sipil dan bukan batalion Hamas, maka operasi terbatas hanyalah kamuflase dari tujuan yang sebenanrnya yakni melanjutkan agenda genosida mereka, bahkan sekalipun sekutu mereka sendiri, yakni AS mengancam menghentikan pasokan senjata jika mereka tidak menunda invasi ke Rafah.
Apa "Pembelaan" AS untuk Rafah?
Istilah "pembelaan AS untuk Rafah" mungkin terdengar agak aneh, sehubungan dengan posisi AS sebagai sekutu Israel, padahal dalam perjalanan sejarah dukungan AS terhadap Israel beberapa kali negara adikuasa ini menekan sekutunya dan melunak pada Palestina. Begitupun kali ini, Presiden AS, Joe Biden mengingatkan Israel bahwa ia akan menyetop suplai senjata ke Israel jika sekutunya itu melakukan invasi ke Rafah, kota di Gaza Selatan yang berbatasan dengan Mesir. Hal ini sebagaimana wawancara Joe Biden dengan CNN, bahkan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS dengan tegas menyatakan pendirian negaranya menentang rencana operasi Israel ke Rafah.
Terkhusus rencana menyetop suplai senjata, CNN juga melansir pernyataan seorang pejabat AS bahwa mereka utamanya fokus pada penggunaan akhir bom seberat 2.000 pound dan dampaknya terhadap pemukiman padat penduduk sebagaimana yang mereka lihat di bagian lain Jalur Gaza.
Di antara senjata yang telah dihentikan pengirimannya oleh AS ke Israel sejak mereka menginvasi Rafah adalah amunisi yang terdiri dari 1.800 bom seberat 2.000 pound dan 1.700 bom seberat 500 pound. Selain itu, AS juga mendesak agar Israel memastikan perlindungan bagi jutaan warga sipil yang mengungsi di Rafah dan melakukan segala cara untuk menghindari bencana kemanusiaan di wilayah tersebut.
Selain menyetop suplai senjata, AS juga membangun dermaga terapung untuk suplai bantuan kemanusiaan ke Gaza sejak Rafah diinvasi oleh Israel. Tujuan dari dermaga terapung ini adalah mentransfer bantuan sebanyak mungkin ke Gaza melalui jalur maritim. Pembangunan ini sendiri dikabarkan melibatkan 1.000 personil. Sementara itu diberitakan bahwa kapal AS yang membawa bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan telah berangkat dari pelabuhan Lamaca.