Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Beberapa Hal Makruh Saat Puasa: Penjelasan Ulama dan Cara Menyikapinya

26 Maret 2024   13:08 Diperbarui: 26 Maret 2024   13:21 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menonton televisi (Kompas.com)

Meneruskan Puasa dalam Keadaan Junub 

Terkait permasalahan di atas ada yang menyikapi secara berlebihan dengan menyatakan bahwa meneruskan puasa dalam keadaan junub membatalkan puasa. Agar kita tidak salah paham, sebaiknya membaca riwayat yang dituliskan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam I'lamul Muwaqi'in (Panduan Hukum Islam).

Beliau menuliskan sebuah riwayat tentang seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah SAW, ia berkata, "Wahai Rasulullah SAW, waktu salat telah tiba, dan aku dalam keadaan junub, lalu aku terus berpuasa?" Rasulullah menjawab: "Waktu salat telah tiba. Sementara aku dalam keadaan junub, kemudian aku terus berpuasa" Dia berkata: "Engkau tidak sama dengan kami, wahai Rasulullah SAW. Allah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang".  Rasulullah SAW bersabda: "Demi Allah, aku sungguh berharap, aku menjadi orang yang paling takut kepada Allah dan orang yang paling tahu di antara kalian semua tentang bagaimana caranya bertakwa". (HR. Muslim).

Selanjutnya di dalam kitab Zaadul Ma'ad, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menuliskan bahwa di antara tuntunan Rasulullah SAW, bahwa beliau pernah memasuki waktu fajar, sementara beliau dalam keadaan junub. Maka beliau mandi setelah waktu fajar dan tetap puasa. Beliau juga pernah memeluk seorang istrinya ketika sedang puasa Ramadan. Pelukan orang yang puasa ini menyerupai berkumur dengan air.

Hukum Memeluk dan Mencium Istri

Perihal hukum mencium istri kita juga dapat membaca salah satu riwayat yang ditulis oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam I'lamul Muwaqi'in. beliau menulis bahwa Umar bin Abi Salamah bertanya kepada Rasulullah SAW: "Bolehkah orang yang berpuasa itu mencium istrinya?" Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: "Tanyakan hal ini kepada Ummi Salamah". 

Kemudian Ummi Salamah memberi kabar padanya bahwa Rasulullah SAW pernah melakukannya. Berkata Umar bin Abi Salamah: "Wahai Rasulullah SAW, sungguh Allah telah mengampuni dari dosa di masa lalu dan dosa yang akan datang". Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya akulah orang yang paling takwa di antara kalian, dan orang yang paling takut kepada Allah" (HR. Muslim).

Meski demikian, bagi pengantin baru atau yang masih tergolong pengantin muda maka disarankan tidak mencium istrinya di saat berpuasa, sebagaimana riwayat dari Imam Ahmad yang juga dituliskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah bahwa Rasulullah SAW ditanya oleh seorang pemuda: "Bolehkah aku mencium istriku sedang aku sedang berpuasa?" Rasulullah SAW menjawab: "Tidak". Dan Rasulullah SAW ditanya oleh seorang tua: "Bolehkah aku mencium istriku sedang aku sedang berpuasa?" Rasulullah SAW menjawab: "Boleh". Kemudian Rasulullah SAW bersabda lagi: "Karena orang tua sudah mampu menguasai nafsunya".

Mempertegas perihal mencium istri saat berpuasa, ada riwayat yang dituliskan oleh Syaikh Sulaiman al-Faifi dalam Al-Wajiz fi Fiqhi Sunnah. Beliau menuliskan sebuah hadis sahih dari 'Aisyah ra yang meriwayatkan, "Nabi SAW mencium dan menyentuhku padahal beliau sedang berpuasa. Dan beliau adalah orang yang paling bisa menahan diri." Hadis ini diriwayatkan oleh Muttafaq 'Alaih.

Jika demikian, manakah yang terbaik melakukan kebiasaan mencium istri atau tidak melakukan? Maka nasihat mazhab Hanafi dan Syafi'i yang juga dituliskan dalam Al-Wajiz fii Fiqhi Sunnah dapat kita jadikan pertimbangan. Ulama dari mazhab Hanafi dan Syafi'i berpendapat bahwa ciuman makruh bila dapat membangkitkan syahwat seseorang. Namun bila tidak, maka ia tidak makruh. Akan tetapi, lebih baik ditinggalkan.

Bagaimana dengan Menonton Televisi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun