Apakah kita orang yang optimis Pemilu 2024 ini jujur atau justru pesimis dan menuduh banyak kecurangan atau kita skeptis di antara optimis dan pesimis? Sebaiknya kita jangan terburu-buru berkesimpulan sebelum melakukan kajian terhadap berbagai persoalan terkait Pemilu 2024. Mengkaji berbagai persoalan seputar Pemilu 2024 dari sudut pandang berbeda merupakan tindakan bijaksana.Â
Persoalannya adalah mampukah kita membedakan pendapat yang berlandaskan fakta dengan pendapat yang berlandaskan persepsi. Sebagaimana kata Dahlan Iskan bahwa saat ini telah ada jenis kebenaran baru yakni kebenaran berdasarkan persepsi, bukan lagi kebenaran berdasarkan fakta.
Penulis mencoba menguraikan satu hal penting yang banyak menjadi perbincangan dan menjadi salah satu alasan menuduh pemilu curang yakni Sirekap. Kami akan mencoba menysunnya secara kronologis, semoga kita dapat menemukan fakta untuk sampai pada kesimpulan akhir. Paling tidak kesimpulan yang bersifat sementara sambil menunggu proses hukum terkait Pemilu 2024, misalnya jika ada gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Teknologi dan Fungsi Sirekap 2024
Sirekap adalah sebutan untuk Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik yang dikembangkan dan digunakan oleh KPU sebagai alat bantu dalam perhitungan suara hasil Pemilu 2024. Sebelumnya, Sirekap ini hanya difungsikan sebagai instrumen untuk mempublikasikan hasil Pemilu. Tetapi sejak Pilkada serentak tahun 2020, Sirekap diperluas fungsinya menjadi alat bantu rekapitulasi manual berjenjang. KPU beralasan bahwa Sirekap ini dapat mencegah manipulasi suara yang kerap terjadi dalam pesta demokrasi.
Lalu apa perbedaan Sirekap 2020 dengan Sirekap 2024? Menurut Ketua Divisi Teknis KPU, Idham Khalik pada 31 Januari 2024, teknologi pada Sirekap 2020 belum ada sedangkan teknologi Sirekap 2024 lebih mutakhir. Sirekap 2024 ini dapat bekerja di dua kondisi, ada jaringan atau tidak ada jaringan internet. Filenya pun dalam format pdf dan hasil penulisan berita acara dapat dibagikan melalui teknologi bluetooth.
Selanjutnya dikutip dari Kompas.com, Sirekap dilengkapi teknologi pengenalan tanda optis (optical mark recognition, OMR) dan pengenalan karakter optis (optical character recognition, OCR). Jadi, ketika pola dan tulisan tangan yang tertera pada formulir C-Hasil plano di TPS difoto dan diunggah ke Sirekap, maka langsung dikenali dan dapat diubah menjadi data numerik untuk dikirim ke server. Singkatnya, Sirekap akan membaca apa yang dipotret, dalam hal ini hasil penghitungan suara yang tercatat dalam formulir C-Hasil plano.
Permasalahan Sirekap dan Pengakuan KPUÂ
Meski telah menggunakan teknologi mutakhir, beberapa pihak melaporkan bahwa masih ditemukan permasalahan terkait penghitungan menggunakan Sirekap. Mungkin kita masih ingat salah satu video yang pernah viral tentang salah input angka dalam Sirekap di TPS 026 Kembangan, Jakarta Barat. Penulis lalu menemukan hasil penelusuran secara jurnalistik dalam salah satu video Kompas.com terkait video viral ini.
Dijelaskan bahwa kesalahan input dalam Sirekap yang terjadi di TPS 026 itu menyebabkan perolehan suara pasangan 02 (Prabowo-Gibran) mengalami lonjakan signifikan menjadi 720 padahal di formulir C-1 hasil penghitungan suara Prabowo-Gibran hanya 80 suara. Sedangkan pasangan 01 (Anies-Muhaimin) meraih 95 suara dan pasangan 03 (Ganjar-Mahfud) hanya meraih 22 suara. Sementara itu jumlah pemilih di TPS tersebut hanya 234 suara, sehingga tidak mungkin perolehan suara paslon 02 bisa mencapai 720 suara. Terkait hal ini, Ketua KPU Jakarta Barat, Endang Istianti memastikan akan menggelar rapat pleno di tingkat kecamatan di mana salah satu bahasannya untuk mengevaluasi kejadian yang dialami oleh TPS 026. Ia juga memastikan timnya telah memiliki metode penyelesaian.