Ketegangan tidak berhenti melainkan kembali memasuki episode baru pada tahun 2007. Dipicu oleh kapal perang Malaysia yang memasuki wilayah laut Indonesia disusul oleh pesawat patroli Malaysia yang terbang di wilayah udara Indonesia. Pengalaman itu membuat Indonesia dua tahun berikutnya memperingatkan agar Malaysia tidak melakukan provokasi militer. Hingga 2015, belum tercipta kedamaian di Ambalat sehingga pemerintah Indonesia "gerah" dan melayangkan protes diplomatik kepada pemerintah Malaysia. Ketegasan ini untuk mencegah hal yang sama terjadi sebagaimana nasib Sipadan dan Ligitan.
Selain upaya diplomatik, Indonesia juga sangat serius menjaga kedaulatan wilayahnya. Panglima TNI Moeldoko saat itu meningkatkan status Pangkalan Udara Tarakan di Kalimantan Utara menjadi tipe B menyusul sejumlah insiden masuknya pesawat berbendera asing ke wilayah udara di utara Indonesia itu. Alat utama sistem persenjataan seperti tiga kapal perang (KRI), dua pesawat Sukhoi Su-27 dan Su.30, dan tiga F-16 Fighting Falcon juga disiagakan di Makassar, Pekanbaru dan Madiun.
Lalu bagaimana upaya damai dua bangsa serumpun ini? Keduanya sepakat melakukan perundingan terkait batas wilayah masing-masing. Perundingan berpusat pada lima titik, di antaranya Selat Malaka, Selat Malaka Selatan, Selat Singapura bagian timur antara Bintan dan Johor, Laut China Selatan di antara Tanjung Datu yang berbatasan dengan Serawak, dan Laut Sulawesi.
Konflik karena Penggunaan Fragmen Budaya
Konflik karena penggunaan fragmen budaya bangsa tertentu oleh bangsa lain memang bisa saja terjadi di antara bangsa-bangsa yang serumpun karena adanya kemiripan unsur budaya seperti alat musik, lagu, tarian, pakaian, hingga makanan. Makanya diperlukan pendekatan historis untuk menyelesaikan konflik yang terkait dengan budaya ini.
Hasil penelusuran penulis ke beberapa sumber media nasional, setidaknya ada beberapa fragmen budaya yang sempat digunakan oleh Malaysia yaitu lagu Rasa Sayange, Reog Ponorogo, Pencak Silat, Wayang Kulit, Rendang, Tari Pendet, Tari Piring, Tari Tor-Tor, Angklung, Batik, Lunpia/Lumpia Semarang, alat music Godang Sambilan, Beras Adan, dan Kuda Lumping.
Lalu bagaimana mencari solusi atas sengketa budaya di antara saudara serumpun? Tentu jawaban kuncinya ada di tangan UNESCO, lembaga PBB yang membidangi kebudayaan. Hasilnya fragmen budaya yang sempat diklaim dan dipergunakan oleh Malaysia akhirnya diakui oleh UNESCO sebagai warisan tak benda Indonesia. Fragmen budaya tersebut misalnya Pencak Silat yang telah diakui oleh UNESCO sejak tahun 2019.
Berikutnya, sisi positif yang harus diambil oleh Indonesia dari penggunaan atau klaim budayanya oleh bangsa lain adalah perlunya bangsa ini menjaga warisan budayanya dengan mendaftarkannya di UNESCO. Menjaga harta titipan nenek moyang merupakan kewajiban generasi setelah mereka. Bagi kita di dalam negeri, upaya ini adalah bentuk apresiasi terhadap keluhuran nilai yang terkandung dalam warisan nenek moyang sehingga perlu diwariskan dari generasi ke generasi. Keluar negeri, upaya ini menjaga kedaulatan budaya kita sekaligus mencegah terjadinya konflik dengan bangsa serumpun.
Penulis berharap di momen Hari Nusantara ini, bangsa-bangsa di Nusantara merawat sikap saling menghargai yang pernah dicontohkan oleh nenek moyang bangsa-bangsa Nusantara di era sebelum terpecah menjadi negara-negara modern. Mari saling menghargai kedaulatan masing-masing, baik kedaulatan batas wilayah maupun kedaulatan budaya. Perpecahan di antara bangsa se Nusantara akan memudahkan masuknya kekuatan asing menancapkan misi mereka "neo-imperialisme dan kolonialisme" meminjam istilah Bung Karno.