Inspirasi tulisan ini adalah sebuah flyer yang dikirim seorang teman di sebuah grup sejarah nasional. Flyer yang bersumber dari Pusat Penyelidikan Dasar & I-WIN Library University Sains Malaysia itu memberikan informasi tentang penetapan 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Adapun bangsa-bangsa yang dimaksudkan sebagai Nusantara itu adalah Indonesia, Malaysia, Brunei, Philippines, Champa, Pattani, dan Papua New Guinea (penulisan sesuai dengan flyer). Adapun tema yang diusung dan menjadi pesan informasi adalah "Kita serumpun. Kita sedarah, sedaging." Maka ulasan kami dalam artikel kali ini berisi ringkasan sejarah tentang konflik dua bangsa serumpun, sedarah dan sedaging" yang disebut pertama dalam flyer, yaitu Indonesia dan Malaysia. Semoga bisa menjadi refleksi di peringatan Hari Nusantara, agar konflik yang sama tidak terulang di masa-masa selanjutnya.
Konfrontasi dengan Malaysia era 1960-an
Konflik pertama antara Indonesia dengan Malaysia terkait dengan spirit melawan imperialisme dan kolonialisme. Presiden Sukarno di era 60-an telah memposisikan diri sebagai pemimpin negara-negara Asia Afrika yang disebutnya sebagai Nefo (New Emerging Forces) yang sedang menghadapi dominasi Oldefo (Old Destablished Forces). Di antara kekuatan Oldefo yang masih ingin menancapkan pengaruhnya di Nusantara adalah Amerika Serikat dan Inggris. Kedua negara tersebut dalam pandangan Sukarno mengusung spirit neo-imperialisme dan kolonialisme (nekolim).
Lalu apa hubungannya dengan Malaysia? Sukarno mencurigai salah satu bangsa di Nusantara ini sedang di"garap" oleh kekuatan nekolim tersebut dengan rencana pembentukan "Federasi Malaysia" yang saat itu memang belum mendapatkan kedaulatan penuh dari penjajahan Inggris. Federasi dimaksud direncanakan meliputi Singapura, Brunei, Serawak, Malaya dan Sabah.
Sukarno tidak main-main dalam melawan kampanye nekolim ini dibuktikan dengan pemakluman "Komando Dwikora" atau "Dwi Komando Rakyat" pada suatu rapat raksasa (1964). Isi Dwikora adalah pertinggi ketahanan revolusi Indonesia, dan bantu perjuangan revolusioner  rakyat Malaya, Singapura, Serawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia. Semangat Bung Karno juga terlihat saat ia berpidato di depan massa dengan menciptakan slogan "Inggris kita linggis, Amerika kita setrika." Semangat berapi-api Bung Karno menular ke masyarakat sehingga slogan "Ganyang Malaysia" juga menggema di tengah masyarakat.
Konfrontasi dengan Malaysia ini hanya berakhir setelah pemerintahan Orde Lama Sukarno berakhir pada tahun 1966 dan berpindah ke Orde Baru di bawah pemerintahan Suharto. Penguasa Orde Baru ini kemudian memaklumkan normalisasi hubungan kedua bangsa serumpun Indonesia-Malaysia yang puncaknya penandatanganan perjanjian perdamaian pada 11 Agustus 1966.
Ketegangan Akibat Sengketa Ambalat
Ketegangan Indonesia dan Malaysia terkait Blok Ambalat mulai meruncing sejak 1979, saat Malaysia membuat peta tapal batas continental dan maritim baru dengan memasukkan Blok Ambalat ke dalam wilayahnya. Hal ini jelas memicu protes Indonesia yang dengan tegas menyatakan Ambalat sebagai wilayahnya. Pertama, secara historis, Ambalat merupakan wilayah Kesultanan Bulungan di Kalimantan Timur yang jelas masuk Indonesia. Kedua, berdasarkan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa yang telah diratifikasi RI dan tercantum pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1984, Ambalat diakui dunia sebagai milik Indonesia.
Meski demikian, Malaysia kerap melakukan provokasi melalui kapal perang dan pesawat tempur yang sering terlihat di Ambalat. Ketegangan nyaris pecah menjadi konflik terbuka pada 2005 saat Angkatan Laut Indonesia dan Malaysia sama-sama dalam kondisi siap tempur. Bahkan saat itu sudah sempat terjadi saling serempet kapal perang. Akibatnya Panglima TNI Angkatan Laut Indonesia mengeluarkan keputusan sekaligus perintah kepada personil kapal perang agar tidak mendahului menembak kecuali mereka yang terlebih dulu menembak. Ini adalah sebuah pembuktian cinta damai dan penghargaan kita terhadap saudara serumpun, sedarah dan sedaging kita.