Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

11 Desember 1946 Hari Korban 40.000 Jiwa: Sejarah, Kontroversi dan Reinterpretasi

12 Desember 2023   08:15 Diperbarui: 12 Desember 2023   08:20 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penggerebekan pasukan Westerling terhadap penduduk (sumber: buku Korban 40.000 Jiwa)

Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, rakyat di berbagai daerah di Indonesia masih harus merasakan beratnya perjuangan melawan pendudukan kembali Belanda yang disokong oleh Sekutu. Di Sulawesi Selatan sendiri, Belanda berusaha mengukuhkan negara boneka mereka, Negara Indonesia Timur (NIT) dengan mengerahkan seluruh kekuatannya. Tiga batalyon infanteri yang ada di Sulawesi Selatan ditambah lagi dengan bantuan satu batalyon baru KL dari Divisi 7 Desember yang terdiri dari 1.000 personil yang dikirim langsung dari Nederland ke Makassar. Belum lagi kesatuan Depot Speciale Troepen (DST) yaitu satu kompi (123 orang) Pasukan Baret Merah yang dipimpin oleh Kapten Raymond P. Westerling yang terkenal dengan kekejaman dan kebiadabannya, sehingga menimbulkan korban 40.000 jiwa. Adapun sumber utama artikel kali ini adalah buku SOB: 11 Desember 1946 sebagai Hari Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan yang diterbitkan atas kerja sama Kodam XIV Hasanuddin dengan Universitas Hasanuddin dan IKIP Ujung Pandang (sekarang Universitas Negeri Makassar).

Sampul buku Korban 40.000 Jiwa (sumber: Pribadi)
Sampul buku Korban 40.000 Jiwa (sumber: Pribadi)

Teror 40.000 Jiwa

Peristiwa teror itu dimulai pada 11 Desember 1946 setelah Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Mook memaklumkan keadaan darurat perang di sebagian besar daerah Sulawesi Selatan, meliputi: Kotapraja Makassar, Afdeling Makassar, Bonthain, Pare-Pare dan Mandar. Seiring dengan itu, atas perintah Jenderal S. Spoor (Panglima KNIL di Jakarta), Kolonel H.J. de Vries (Komandan KNIL di Sulawesi Selatan) mengeluarkan surat perintah harian kepada seluruh jajaran tentara Belanda di bawah komandonya guna serentak menggunakan operasi pasifikasi atau pengamanan berdasarkan keadaan darurat perang dengan tindakan tegas, cepat dank eras tanpa kenal ampun dengan melaksanakan standracht atau tembak di tempat tanpa proses. 

Peristiwa teror tersebut berlangsung selama kurang lebih lima bulan, yaitu sampai ditariknya kembali pasukan Westerling dari Sulawesi Selatan pada 22 Mei 1947. Ditaksir sekitar 40.000 rakyat Sulawesi Selatan terbunuh selama kurun waktu tersebut. Oleh sebab itu, peristiwa itu dsebut Peristiwa Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan.

Rakyat dikumpulkan (kiri) dan mayat mereka yang telah dieksekusi (kanan) tampak juga serdadu Westerling (sumber: Buku Korban 40.000 Jiwa).
Rakyat dikumpulkan (kiri) dan mayat mereka yang telah dieksekusi (kanan) tampak juga serdadu Westerling (sumber: Buku Korban 40.000 Jiwa).

Di antara korban Westerling adalah putera Andi Mappanyukki yakni Andi Abdullah Bau Massepe (Datu Suppa Lolo) yang ditangkap 14 Agustus 1946 dan ditahan di Tangsi KIS, Makassar. Ia gugur setelah lebih dulu disiksa ditarik dengan mobil dalam perjalanan ke Pinrang. Ia lalu ditembak di depan umum 2 Februari 1947, karena dituduh membantu pemuda dan infiltran dari Jawa.

Korban lainnya adalah Andi Makkasau (Datu Suppa Toa) yang ditangkap bersama 25 orang stafnya pada tanggal 26 Pebruari 1947. Sebelum dibunuh, bersama beberapa rekan seperjuangannya Andi Makkasau juga mengalami penyiksaan dengan cara tangannya diikat lalu digantung di tiang gawang di lapangan Pare-Pare. Mereka kemudian dipukul dengan laras senjata.

Kemudian Datu Suppa Toa bersama 2 orang lainnya dari Pare-Pare ditenggelamkan di tengah lautan. Tidak ditembak di daratan, karena mempertimbangkan kepercayaan rakyat bahwa darah seorang raja tidak boleh tumpah ke tanah. Jika kepercayaan ini dilanggar, akan terjadi malapetaka.

Kesaksian Penulis, Wartawan Belanda dan Westerling Sendiri

Menurut seorang penulis Belanda, Willem Ijzereef, dalam bukunya De Zuid Celebes Affaire, aksi-aksi Belanda yang kejam di Sulawesi Selatan memang dirancang untuk tujuan (1) melikuidasi perlawanan fisik rakyat, dan (2) memaksakan ketaatan rakyat kepada Belanda.

Kebiadaban Westerling dan pasukannya pernah disiarkan oleh televisi Belanda dari omroepvereniging VARA, Hilversum, pada acara siaran 30 Juni 1969, merupakan hasil liputan tim yang dikirimkan oleh televisi tersebut ke tempat kejadian dan melakukan penyelidikan. Siaran itu dimulai dengan kata pengantar penyiarnya yang mengatakan bahwa apa yang akan ditayangkan, adalah mengenai kejadian yang tidak berperikemanusiaan yang terjadi di Sulawesi Selatan pada akhir tahun 1946.

Kata penyiar VARA: "Sewaktu kami mengunjungi Sulawesi Selatan untuk menyelidiki keadaan yang menyedihkan itu, kami tak usah berpayah-payah, karena semua bukti terang benderang dan berada di pinggir-pinggir jalan. Nisan-nisan yang sudah agak lapuk, semua ditulisi: Korban kekejaman Westerling 1946-1947.

Kapten Westerling sendiri menuliskan kekejamannya dalam buku memoirnya Mijn Memorie yang diterbitkan oleh Penerbit P. Vink, Amsterdam. Ia menulis sebagai berikut: "Kami datang ke suatu desa, semua penduduk dikumpulkan di lapangan. Seorang demi seorang diperiksa surat-suratnya, kemudian salah seorang mereka disuruh menunjuk mana yang ekstrimis. Yang menolak, langsung ditembak. Kemudian yang lain disuruh menunjuk lagi, sesudah mana ia sendiri pun ditembak. Demikian seterusnya, baik yang menunjuk, apalagi yang ditunjuk, akhirnya semua ditembak."

Pasukan Westerling menarik keluar rakyat untuk diinterogasi (sumber: Buku Korban 40.000 Jiwa)
Pasukan Westerling menarik keluar rakyat untuk diinterogasi (sumber: Buku Korban 40.000 Jiwa)

Perjuangan rakyat di Sulawesi Selatan diangkat oleh L.N. Palar yang ditugaskan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk mewakili Indonesia di PBB, meskipun waktu itu Indoensia belum menjadi anggota. Seorang sarjana Amerika yang waktu revolusi fisik berada di Indonesia (waktu itu masih berstatus mahasiswa), Prof. Dr. G.H. Kahin menulis bahwa selama revolusi nasional Indonesia 1945-1949, Sulawesi Selatan merupakan daerah di luar daerah Republik Indonesia (berdasarkan Linggajati) yang melakukan perlawanan paling sengit dan berdarah untuk mengganggu dan mencegah kembalinya kekuasaan Belanda.

Reinterpretasi Nilai Sejarah Peristiwa Korban 40.000 Jiwa

Salah satu pembicara dalam Seminar Sejarah Regional Indonesia Timur (16-17 Juli 1992) di Malino, Drs. Muhammad Abduh melontarkan suatu pemikiran tentang perlunya reinterpretasi nilai sejarah peristiwa Korban 40.000 Jiwa. Di bagian II tulisannya, dosen Senior Jurusan Sejarah IKIP Ujungpandang saat itu memulai uraiannya dengan mengemukakan kontroversi tentang peristiwa Korban 40.000 Jiwa.

Pada peringatan Hari Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan ke-45, terlontar dua pendapat dalam masyarakat yang kelihatannya kontroversial. Pendapat pertama dikemukakan oleh Drs. H. M. Yusuf Kalla, seorang cendekiawan yang terkenal sebagai tokoh bisnis dan pendidikan di Sulawesi Selatan. Dia juga dikenal sebagai tokoh angkatan 1966. Salah satu pendapatnya tentang peristiwa Korban 40.000 Jiwa yaitu: "Hari Korban 40.000 tak perlu dibesar-besarkan. Alasannya, peristiwa 11 Desember 1946 itu adalah suatu peristiwa pembantaian. Dan karena pembantaian dilakukan Belanda tanpa perlawanan sehingga sesungguhnya kejadian itu memalukan. Jangan kita membesar-besarkan peristiwa yang justru memalukan" (Pedoman Rakyat Tahun XLV No. 276, 12 Desember 1991).

Selanjutnya, melalui harian yang sama, 13 Desember 1991, dia mengatakan: "Hari Korban 40.000 Jiwa yang kita ketahui adalah kedatangan 1 kompi (+ 150 orang) KNIL di bawah Kapten Westerling untuk memadamkan perlawanan Republik dan beroperasi selama kira-kira 4 bulan. Dalam jangka waktu tersebut Westerling telah membantai rakyat kita yang tidak berdosa. Kalau angka 40.000 tersebut kita pegang, maka tiap bulan Westerling membunuh 10.000 jiwa atau setiap hari 330 jiwa tewas. Tentu jumlah itu tidak mungkin. Rakyat Sulawesi Selatan tidak semudah itu untuk ditembaki 330 orang perhari".

Drs. H.M. Yusuf Kalla bukannya tidak setuju memperingati peristiwa perjuangan rakyat Sulawesi Selatan menegakkan kemerdekaan, tetapi menurutnya yang ditonjolkan adalah perjuangannya, bukan pengorbanannya. Dia mengatakan: "Di Surabaya 10 Nopember adalah sejarah kepahlawanan sedangkan di Sulawesi Selatan dengan 11 Desember adalah pengorbanan. Pada Westerling yang memimpin pasukan khusus dikirim ke Sulawesi Selatan adalah untuk memadamkan perjuangan heroik rakyat Sulawesi Selatan yang tidak bisa lagi diatasi oleh tentara biasa. Pejuang kita sebenarnya gagah berani. Tapi mengapa tidak ditonjolkan".

Beberapa pendapat yang telah dilontarkan oleh H.M. Yusuf Kalla mengundang reaksi yang keras dari kalangan para pejuang di Sulawesi Selatan. Mereka merasa, bahwa jasa dan pengorbanan para pejuang dalam menegakkan kemerdekaan tidak mendapat penghargaan yang sepatutnya. Karena reaksi tersebut, maka H.M. Yusuf Kalla melalui Pedoman Rakyat dan Kompas menarik kembali keterangannya dan menyampaikan permohonan maaf. Dia mengatakan: "Dengan tulus saya sekali lagi minta maaf kepada para sesepuh tokoh masyarakat dan para pejuang Sulawesi Selatan. Saya juga menarik keterangan serta ralat yang dimuat PR tanggal 12 dan 13 Desember lalu."

Sesungguhnya perbedaan persepsi dari generasi 1945 dengan generasi sesudahnya seperti digambarkan tadi, tidaklah menyangkut mengenai fakta sejarahnya. Kedua golongan itu sependapat bahwa peristiwa teror Weterling di Sulawesi Selatan adalah bagian dari perjuangan rakyat Sulawesi Selatan menegakkan kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Perbedaannya adalah pada sudut pandang mereka terhadap peristiwa tersebut. Para pejuang memandang peristiwa itu sebagai klimaks dari proses perjuangan rakyat Sulawesi Selatan untuk menegakkan kemerdekaan. Hal itu dibuktikan dengan sangat besarnya korban yang meninggal, dibandingkan korban perjuangan pada masa sebelum dan sesudahnya. Jadi mereka memberi nilai yang tinggi kepada peristiwa itu berdasarkan besarnya pengorbanan. Sebaliknya pendapat yang kedua, memandang peristiwa tersebut sebagai anti klimaks dari proses perjuangan rakyat Sulawesi Selatan. Alasannya Westerling bersama anak buahnya dapat leluasa menjalankan teror terhadap rakyat, karena sudah semakin lemahnya perlawanan. Mereka memandang peristiwa tersebut dari sudut perlawanan dan kepahlawanan.

Pelajar 14 tahun tertembak termasuk korban 40.000 (sumber: Buku Korban 40.000 Jiwa)
Pelajar 14 tahun tertembak termasuk korban 40.000 (sumber: Buku Korban 40.000 Jiwa)

Kontroversi karena Penamaan Korban 40.000 Jiwa

Timbulnya kontroversi tentang peristiwa Korban 40.000 Jiwa sebenarnya lebih disebabkan oleh penamaannya. Utamanya mengenai angka 40.000 itu. Kalangan pejuang dan saksi mata umumnya menerimanya sebagai angka faktual, sedangkan generasi yang lebih muda, angka tersebut dianggap tidak rasional. Lalu pendapat yang ketiga mencoba menengahi dengan mengatakan bahwa 40.000 bukanlah merupakan angka kuantitatif tetapi angka simbolis. Maka ada baiknya ditelusuri awal mula penamaannya.

Di dalam buku SOB 11 Desember 1946 sebagai Hari Korban 40.000 Sulawesi Selatan (1975:67-68), dikemukakan: "Pimpinan-pimpinan kelasykaran, TRI/ALRI yang sampai ke Yogyakarta melaporkan situasi pertempuran di Sulawesi Selatan, yang seterusnya langsung dilaporkan ke Presiden RI Sukarno, pada akhir 1947 oleh sebuah delegasi yang dipimpin oleh Komandan TRIPS Letkol Kahar Muzakkar.

Kahar Muzakkar saat dilantik menjadi Komandan TRIPS (sumber: Buku Kahar Muzakkar dari Patriot ke Pemberontak karya Anhar Gonggong)
Kahar Muzakkar saat dilantik menjadi Komandan TRIPS (sumber: Buku Kahar Muzakkar dari Patriot ke Pemberontak karya Anhar Gonggong)

Pernyataan Kahar Muzakkar tersebut dilontarkan sebagai nada protes karena pada waktu itu Presiden Sukarno selalu menggemba-gemborkan korban gerbong maut, seperti tergambar dari kutipan berikut ini: "di mana bersamaan waktunya dengan peristiwa terjadinya penggulingan sebuah gerbong barang yang ditutup rapat di mana memuat tawanan TRI diangkut dari Bondowoso pada tanggal 23 Nopember 1947 menuju Surabaya sejumlah 100 orang dan digulingkan ke dalam kali dan menyebabkan gugurnya 46 orang di antaranya, sehingga oleh Kahar Muzakkar dengan emosional mengucapkan kata-kata dengan korban 4.000 orang dan bahkan mungkin 40.000 orang di Sulawesi Selatan tidak diributkan. Bung Karno sangat terharu dan menerima baik laporan tersebut serta menjanjikan untuk memenuhi permintaan bantuan pasukan dan senjata para pimpinan TRIPS tersebut.

Dari kutipan-kutipan tadi dapat disimpulkan bahwa, lahirnya istilah korban 40.000 itu adalah dari ucapan spontan Kahar Muzakkar dengan analogi korban 40 orang di Gerbong Maut.

Keterangan yang sedikit lain, dikemukakan di dalam buku Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan yang ditulis oleh Sarita Pawiloy. Dosen senior Jurusan Sejarah IKIP UP ketika itu menulis sebagai berikut: "Taksiran demi taksiran diambil, baik oleh para pejuang di Sulawesi Selatan maupun pimpinan TRI Ekspedisi yang berada di Jawa. Sesudah ditimbang dan disesuaikan dengan sejumlah laporan para pejuang yang hijrah ke Jawa (Maret 1947), Letkol Kahar Muzakkar menetapkan angka korban tersebut di dalam dada setiap pejuang kemerdekaan di daerah Sulawesi Selatan."

Sumber tersebut selanjutnya menambahkan: "Para pejuang amat percaya kepastian angka itu, terutama pada masa revolusi kemerdekaan. Beberapa tokoh memperkirakan angka yang lebih banyak lagi, yakni 60.000. Ada juga yang hanya menyebut angka 30.000. Maka angka korban 40.000 itu merupakan angka pertengahan. Kemudian dijadikan angka politis psykologis."

Dari kutipan-kutipan tadi, kita memperoleh gambaran bahwa angka 40.000 itu dikemukakan oleh Kahar Muzakkar setelah melalui proses analisis laporan-laporan dari Sulawesi Selatan.

Mengenai angka 40.000 ini, A.H. Nasution mengatakan: "Menurut taksiran 40.000 orang korban telah jatuh di Sulawesi Selatan akibat teror Westerling itu, yang berlangsung pada akhir tahun 1946 dan awal tahun 1947. Tanggal 11 Desember kemudian dijadikan hari berkabung oleh kita, yang diperingati setiap tahun."

Apakah 40.000 Merupakan Angka Faktual?

Tentang jumlah korban teror Westerling di Sulawesi Selatan, Barbara S. Harvey dengan mengutip berbagai sumber, termasuk dari Westerling sendiri, antara lain mengatakan: "Westerling mengaku bahwa ia bertanggung jawab langsung atas pembunuhan kurang dari 600 orang teroris. Pemerintah Belanda dilaporkan telah mengakui bahwa sekitar 2.000 orang terbunuh selama kampanye pasifikasi. Dalam suatu laporan pada waktu itu, yang tampaknya disusun oleh Kementerian Penerangan NIT untuk Komisi Jasa-Jasa Baik PBB, 30.000 korban telah didaftar dalam suatu perincian mengenai kerugian penduduk Selebes Selatan selama pembersihan. Dalam teks laporan diperkirakan bahwa itu adalah jumlah orang yang terbunuh antara bulan Desember 1946 dan Maret 1947. Selanjutnya Barbara menulis: "Meskipun pada mulanya istilah kerugian atau korban mungkin mencakup tidak hanya yang meninggal akan tetapi juga yang terluka dan pengungsi, tetapi segera menjadi kepercayaan umum dan dogma resmi di Republik Indonesia bahwa 40.000 orang telah tewas di Sulawesi Selatan selama kampanye pasifikasi Westerling.

Kapten Raymond P. Westerling (sumber: Buku Korban 40.000 Jiwa)
Kapten Raymond P. Westerling (sumber: Buku Korban 40.000 Jiwa)

Berdasarkan uraian pada bahagian di atas, dapat disimpulkan bahwa angka 40.000 dalam "Korban 40.000 Jiwa Sulawesi Selatan" bukanlah angka faktual, melainkan angka fiktif imajiner. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai angka magis.

Mengapa Dipopulerkan?

Meskipun dari semula disadari, bahwa angka tersebut bukan angka faktual, namun tetap dipopulerkan karena mempunyai nilai strategi politik dalam perjuangan membela kemerdekaan pada waktu itu. Seperti diketahui pada saat lahirnya istilah korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan akibat kekejaman Westerling itu, dipergunakan oleh Indonesia untuk menyudutkan Belanda. Sebaliknya untuk menarik simpati dunia Internasional terhadap perjuangan bangsa Indonesia menegakkan kemerdekaannya. Upaya Indonesia ini berhasil.

PBB mendesak Belanda untuk maju ke meja perundingan. Dengan demikian, upaya Belanda untuk meyakinkan PBB bahwa sengketa Indonesia-Belanda semata-mata masalah dalam negeri Belanda, mengalami kegagalan, Belanda terpaksa mematuhi Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 1 Agustus 1947. Di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara (KTN) diadakanlah perundingan antara Indonesia-Belanda di atas kapal Renville pada tanggal 8 Desember 1947.

Di samping nilai politis, istilah korban 40.000 jiwa pada waktu itu mengandung nilai psikologis cultural. Bahkan ada yang menyebutnya bersifat mitos. Dengan semboyan korban 40.000 jiwa rakyat Sulawesi Selatan, putra-putra Sulawesi Selatan khususnya, rakyat Indonesia umumnya digugah siri'na dan paccena agar meningkatkan perjuangannya menuntut bela atas korban kekejaman Westerling di Sulawesi Selatan. Kedua nilai tersebut tadilah yang menjiwai peringatan Hari Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan untuk pertama kalinya pada tanggal 11 Desember 1947 di Yogyakarta, dan peringatan-peringatan pada tahun-tahun berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun