Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, rakyat di berbagai daerah di Indonesia masih harus merasakan beratnya perjuangan melawan pendudukan kembali Belanda yang disokong oleh Sekutu. Di Sulawesi Selatan sendiri, Belanda berusaha mengukuhkan negara boneka mereka, Negara Indonesia Timur (NIT) dengan mengerahkan seluruh kekuatannya. Tiga batalyon infanteri yang ada di Sulawesi Selatan ditambah lagi dengan bantuan satu batalyon baru KL dari Divisi 7 Desember yang terdiri dari 1.000 personil yang dikirim langsung dari Nederland ke Makassar. Belum lagi kesatuan Depot Speciale Troepen (DST) yaitu satu kompi (123 orang) Pasukan Baret Merah yang dipimpin oleh Kapten Raymond P. Westerling yang terkenal dengan kekejaman dan kebiadabannya, sehingga menimbulkan korban 40.000 jiwa. Adapun sumber utama artikel kali ini adalah buku SOB: 11 Desember 1946 sebagai Hari Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan yang diterbitkan atas kerja sama Kodam XIV Hasanuddin dengan Universitas Hasanuddin dan IKIP Ujung Pandang (sekarang Universitas Negeri Makassar).
Teror 40.000 Jiwa
Peristiwa teror itu dimulai pada 11 Desember 1946 setelah Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Mook memaklumkan keadaan darurat perang di sebagian besar daerah Sulawesi Selatan, meliputi: Kotapraja Makassar, Afdeling Makassar, Bonthain, Pare-Pare dan Mandar. Seiring dengan itu, atas perintah Jenderal S. Spoor (Panglima KNIL di Jakarta), Kolonel H.J. de Vries (Komandan KNIL di Sulawesi Selatan) mengeluarkan surat perintah harian kepada seluruh jajaran tentara Belanda di bawah komandonya guna serentak menggunakan operasi pasifikasi atau pengamanan berdasarkan keadaan darurat perang dengan tindakan tegas, cepat dank eras tanpa kenal ampun dengan melaksanakan standracht atau tembak di tempat tanpa proses.Â
Peristiwa teror tersebut berlangsung selama kurang lebih lima bulan, yaitu sampai ditariknya kembali pasukan Westerling dari Sulawesi Selatan pada 22 Mei 1947. Ditaksir sekitar 40.000 rakyat Sulawesi Selatan terbunuh selama kurun waktu tersebut. Oleh sebab itu, peristiwa itu dsebut Peristiwa Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan.
Di antara korban Westerling adalah putera Andi Mappanyukki yakni Andi Abdullah Bau Massepe (Datu Suppa Lolo) yang ditangkap 14 Agustus 1946 dan ditahan di Tangsi KIS, Makassar. Ia gugur setelah lebih dulu disiksa ditarik dengan mobil dalam perjalanan ke Pinrang. Ia lalu ditembak di depan umum 2 Februari 1947, karena dituduh membantu pemuda dan infiltran dari Jawa.
Korban lainnya adalah Andi Makkasau (Datu Suppa Toa) yang ditangkap bersama 25 orang stafnya pada tanggal 26 Pebruari 1947. Sebelum dibunuh, bersama beberapa rekan seperjuangannya Andi Makkasau juga mengalami penyiksaan dengan cara tangannya diikat lalu digantung di tiang gawang di lapangan Pare-Pare. Mereka kemudian dipukul dengan laras senjata.
Kemudian Datu Suppa Toa bersama 2 orang lainnya dari Pare-Pare ditenggelamkan di tengah lautan. Tidak ditembak di daratan, karena mempertimbangkan kepercayaan rakyat bahwa darah seorang raja tidak boleh tumpah ke tanah. Jika kepercayaan ini dilanggar, akan terjadi malapetaka.
Kesaksian Penulis, Wartawan Belanda dan Westerling Sendiri
Menurut seorang penulis Belanda, Willem Ijzereef, dalam bukunya De Zuid Celebes Affaire, aksi-aksi Belanda yang kejam di Sulawesi Selatan memang dirancang untuk tujuan (1) melikuidasi perlawanan fisik rakyat, dan (2) memaksakan ketaatan rakyat kepada Belanda.