Sebenarnya pemberitaan tentang ancaman kebangkrutan ekonomi sudah sering muncul sebelum gencatan senjata Israel-Hamas, bahkan hal inilah yang di antaranya menjadi alasan Israel meminta gencatan senjata. Peringatan akan dampak terpuruknya ekonomi akibat perang sudah diperkirakan oleh sejumlah kalangan sejak sebulan lalu. Banyak ekonom senior di Israel yang juga memperingatkan PM Benjamin  Netanyahu agar menghemat anggaran pada masa perang ini. Kabar kebangkrutan ekonomi dan kegoncangan politik di Israel kembali mencuat dalam banyak pemberitaan karena memanasnya kembali perang dengan Hamas pasca gencatan senjata.
Gejolak Ekonomi Akibat Dana Perang
Kecanggihan teknologi perang Israel dalam perangnya melawan Hamas cukup menguras biaya. Sebagai contoh, teknologi Iron Dome bisa menghabiskan biaya 70 juta dolar dalam sehari. Meski menguras biaya, teknologi ini pun sering jebol dan tak mampu menahan roket-roket Hamas yang berhasil menghantam wilayah Israel. Total dana yang telah digelontorkan oleh PM Benjamin Netanyahu selama satu bulan perangnya dengan Hamas (Oktober-November) adalah sebesar 799 triliun rupiah.
Bank of Israel memperingatkan pemerintah agar tak mengeluarkan dana tambahan untuk perang. Bank Sentral Israel ini juga melaporkan bahwa total dana untuk perang di Gaza telah mencapai 53,5 miliar dolar atau setara 823 triliun rupiah. Hal ini juga menyebabkan hutang negara meningkat 121 Triliun Rupiah sejak 7 Oktober 2023.
Menteri Keuangan Israel, Â Bezalel Smotrich juga telah menjelaskan bahwa anggaran 2023-2024 tidak lagi relevan akibat perang di Gaza. Dia menambahkan bahwa perekonomian juga sebagian lumpuh akibat mobilisasi massa cadangan militer dan serangan roket Palestina. Ia lalu memperingatkan ancaman kebangkrutan bagi Israel, kecuali Israel mengajukan bantuan kepada Amerika Serikat dan Eropa. Selain itu, Kementerian Keuangan juga telah mengeluarkan rancangan peraturan bahwa masyarakat, perusahaan dan yayasan filantropi boleh menyumbang untuk kepentingan perang. Rencananya peraturan ini akan diterapkan hingga akhir tahun dan pemerintah boleh memperpanjangnya. Peraturan ini menyusul defisit anggaran sebesar 22,9 miliar Shekel (6 miliar dolar AS) selama Oktober 2023.
Selain biaya mahal untuk kepentingan perang, Israel masih harus membiayai "perang media" untuk propaganda dan menciptakan opini. Biaya untuk ini makin membengkak sehubungan dengan masifnya serangan netizen pro Palestina terhadap mereka. Di antara propaganda dan opini yang harus mereka ciptakan adalah Hamas itu teroris dan Israel bangsa yang cinta damai. Kondisi ekonomi Israel semakin diperpuruk dengan aksi boikot produk Israel di berbagai negara ditambah turunnya nilai mata uang Shekel. Padahal Bank Sentral Israel sudah menjual cadangan devisa sebesar 30 miliar dolar AS untuk antisipasi jatuhnya mata uang Shekel jauh di bawah dolar. Meski demikian, Shekel tetap terpuruk sebagai mata uang dengan kinerja terburuk di dunia saat ini.
Perkiraan terpuruknya ekonomi telah dipublikasikan oleh harian bisnis Israel, The Marker yang menyebut bahwa sejak dua pekan pertama perang Israel di Gaza, neraca perdagangan Israel nol. Kerugian Israel setiap harinya akibat perang di Gaza sudah menembus 3,9 Triliun Rupiah. Bukan hanya itu, investor juga tidak merasa tenang lagi sementara masa depan kompensasi untuk mereka juga belum jelas. Apalagi perusahaan analis AS, Moody's menangguhkan peringkat A1 bagi investasi di Israel sehubungan dengan krisis yang terjadi di negara itu. Krisis inilah yang menyebabkan anjloknya perdagangan di Israel dan menyusut sebesar 11% sejak bulan Oktober menurut versi JPMorgan, sebuah lembaga keuangan dan investasi yang juga berpusat di AS.
Gejolak Politik hingga Netanyahu Terancam