Sepekan yang lalu masyarakat Indonesia sempat terusik dengan pemberitaan tentang bentrokan antara massa pendukung Palestina dengan massa pro Israel di Bitung, Sulawesi Utara Pemberitaan ini didahului dengan beredarnya beberapa video tentang bentrokan antar dua kubu. Diperlihatkan massa kedua kelompok melengkapi diri mereka dengan senjata tajam, seperti pedang dan celurit. Meski ada satu korban jiwa, tetapi dengan kesigapan aparat, tokoh agama dan tokoh masyarakat maka bentrokan tidak berlanjut pada amuk massa seperti yang sebelumnya terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia. Tentu kita masih ingat dengan Tragedi Ambon dan Sampit atau yang terdekat dengan Sulawesi Utara yakni Poso, Sulawesi Tengah.
Bitung sudah reda, kini video lain kembali beredar di berbagai grup whatsapp. Video ini masih terkait dengan Sulawesi Utara. Diperlihatkan Duta Besar Jerman untuk Indonesia yang mengaku baru saja menghadiri pembukaan Museum Holocaust di Minahasa. Menyusul pengakuan itu, diperlihatkan beberapa screenshot judul berita dari beberapa media yang mengonfirmasi bahwa keberadaan museum tersebut telah diprotes oleh sejumlah kalangan, baik organisasi massa maupun pemerintah melalui Majelis Ulama Indonesia.
Hasil penelusuran penulis, Museum Holocaust pertama di Indonesia bahkan di Asia Tenggara ini dibuka secara resmi oleh Yakoov Baruch pada 27 Januari 2022. Yakoov adalah pengusaha Indonesia berdarah Yahudi---ada juga yang menyebut dia adalah Rabi Yahudi di Sinagoge Shaar Hasyamayin yang telah berdiri sejak 2004. Peresmian museum yang berada di samping sinagoge ini dirangkaikan dengan pameran foto sejarah Holocaust yang bekerja sama dengan museum holocaust di Yerusalem.
Sekedar mengingatkan bahwa Holocaust adalah pembantaian terhadap etnis Yahudi yang dilakukan oleh NAZI di Jerman yang menurut versi Israel menewaskan hingga enam juta orang Yahudi. Peristiwa tragis inilah yang sering dijadikan alasan simpati terhadap Yahudi. Hemat penulis, setiap orang berhak menentukan pilihan kepada siapa dia akan berpihak, Israel atau Palestina, Yahudi atau Muslim. Bukankah semua pilihan yang diambil akan dimintai pertanggungjawaban.
Satu hal yang perlu kita ingat bahwa apapun pilihan yang kita ambil, jangan sampai itu membahayakan kesatuan negara kita sendiri. Jangan sampai pembelaan kita terhadap suatu negara, justru membuat negara kita berpecah belah. Jangan sampai kita memperjuangkan kemerdekaan bangsa lain, tapi dalam negeri sendiri kita membiarkan tumbuh subur bibit-bibit penjajahan yakni adu domba.
Maka pada kesempatan tulisan kali ini, sebagai pemerhati sejarah, penulis ingin mengingatkan kita semua, bahwa Sulawesi Utara ikut memegang andil penting dalam mendirikan dan menegakkan NKRI. Paling tidak dua momen penting terekam dengan baik dalam memori kolektif bangsa ini dan dicatat dengan tinta emas sejarah.
Pertama, pada periode Pergerakan Nasional. Pemuda-pemuda Sulawesi Utara ikut membentuk dan memperkuat identitas kebangsaan kita melalui organisasi kepemudaan mereka, yakni Jong Minahasa. Pemuda-pemuda terpelajar inilah yang ikut mengikuti Kongres Pemuda bulan Oktober 1928. Mereka lalu ikut melebur dengan organisasi kepemudaan lain dari seluruh daerah di Indonesia mengucapkan ikrar Sumpah Pemuda.
Kedua, pada periode revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan pemuda dan rakyat di Sulawesi Utara mengambil peran penting melalui Peristiwa Merah Putih. Puncak peristiwa heroik ini adalah penyerbuan markas Belanda di Teling, Manado pada 14 Februari 1946. Aksi ini melibatkan banyak elemen perjuangan di Sulawesi Utara bahkan termasuk tentara Belanda (KNIL yang pribumi). Di antara tokoh yang mengorganisir perlawanan tersebut adalah Letkol Charles Choesj Taulu dan Sersan S. D. Wuisan.Â
Berhubung kedua tokoh ini tertangkap sebelum aksi maka aksi dikomandoi oleh Mambi Runtukahu. Aksi para pejuang di Sulawesi Utara ini juga mendapat bantuan dari Bernard Wilhem Lapian, seorang politisi yang berdomisili di SIngkil, Manado. Segenap elemen perjuangan yang terdiri dari rakyat, laskar dan tentara KNIL pribumi yang membelot berhasil menahan beberapa tokoh militer Belanda di Sulawesi Utara. Puncaknya mereka mengibarkan bendera merah putih melalui sebuah upacara sederhana. Mambi Runtukahu bertindak sebagai inspektur upacara, Kotambunan dan Silam menjadi penggerek bendera. Â
Menyusul Manado, markas Belanda di Tomohon juga diserang pada sore harinya. Bertindak sebagai pemimpin serangan adalah Sersan (KNIL) Frans Bisman yang pernah memperkuat operasi kapal selam Sekutu di Tarakan dan Manado pada 1944. Jeep komando yang dikendarai oleh Frans Bisman ini dipasangi bendera merah putih di bagian depan. Setelah melalui perundingan alot dengan perantara Komandan Polisi Samsuri, Komandan KNIL di Tomohon, Letkol De Vries dan anak buahnya bersedia menyerah setelah mendengar kekuatan pasukan Sersan Frans Bisman.Â
Operasi lain ditujukan ke daerah pedalaman Minahasa di bawah pimpinan Freddy Lumanauw. Setiap aksi disertai dengan penurunan bendera Merah-Putih-Biru untuk diganti dengan bendera Merah-Putih. Hal ini terjadi di kantor-kantor pemerintah dan polisi. Operasi lainnya ke kamp tawanan Jepang di Girian dipimpin oleh Maurits Rotinsulu. Operasi ini juga berhasil menahan tentara Belanda termasuk Letnan Van Emden di asrama tentara Belanda di Girian. Saat ia dibawa ke Manado, sepanjang jalan rakyat bersorak-sorak "Hidup Merah Putih."
Dengan demikian, para pejuang di Sulawesi Utara terutama di Minahasa dan Manado telah mewariskan amanah sejarah yang harus dijaga yaitu keutuhan NKRI. Semoga konflik yang sempat terjadi di Bitung tidak berlanjut setelah adanya kesepakatan damai kedua pihak yang sempat bentrok karena ini mengancam keutuhan NKRI kita. Tetap waspada dengan aksi provokator yang suka memancing di air keruh untuk kepentingan kelompok mereka sendiri.
Perlu Klarifikasi Saat Museum Holocaust Kembali Disorot
Berikutnya, tentang keberadaan Museum Holocaust diperlukan kemampuan menahan diri bagi rakyat Indonesia agar tidak membesar-besarkan isu ini. Jangan sampai ada kelompok yang memanfaatkan isu ini untuk kepentingan mereka. Apalagi sejak awal peresmian, kehadiran museum ini telah menimbulkan pro dan kontra bahkan ada yang memintanya untuk ditutup.Â
Terbaru, keberadaan museum ini kembali disorot sehubungan dengan bentrok massa pendukung Palestina dengan massa pro Israel di Bitung. Masyarakat dan pemerintah tentu harus melakukan klarifikasi terkait merebaknya kembali isu ini dalam hubungannya dengan agresi Israel di Gaza. Membiarkan suatu isu menggelinding sendiri tanpa ada usaha mengendalikan lajunya akan berbahaya karena dapat menciptakan opini yang sesat dan menyesatkan.
Akhirnya, masyarakat Indonesia secara umum dan Sulawesi Utara secara khusus harus mengenang kembali perjuangan Sulawesi Utara mendirikan dan menegakkan pilar NKRI. Jangan cederai dan khianati amanah sejarah dengan sikap yang justru mengancam keutuhan NKRI. Kita tidak ingin sebuah isu menyebabkan perpecahan di NKRI. Sudah cukup kita merasakan derita karena konflik berdarah berbau SARA seperti di Ambon, Sampit dan Poso.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H