Berbeda dengan video yang ditengarai tentara wanita Israel yang ketakutan, batalyon ini justru mengklaim telah membunuh 100 militan Hamas selama pertempuran di Gaza Selatan. Komandan batalyonnya, Letnan Kolonel Or Ben-Yehuda menegaskan hal ini menjadi pembuktian bahwa tidak ada keraguan tentang kemampuan batalyonnya. Perwira yang pernah terluka dalam perang tahun 2014 ini bahkan menceritakan bahwa batalyonnya bertempur dengan Hamas selama empat jam dalam sebuah pertempuran besar. Ia pun membanggakan batalyonnya yang selalu menang melawan Hamas.
Unit Tank Khusus Wanita
Selain pasukan infanteri, tentara wanita Israel yang duduk di atas tank juga kerap terlihat dalam video tentara Israel di medan tempur. Ternyata ini karena sejak tahun 2018, Israel memang telah membentuk unit khusus tank wanita dengan empat komandan. Ini sekaligus untuk menguji efektivitas peran wanita dalam operasi yang melibatkan kendaraan lapis baja. Tentu kita bisa membayangkan bagaimana para wanita ini berada di dalam kendaraan tempur yang sempit dan mungkin dalam waktu yang lama. Begitupun dengan keberanian luar biasa mereka sehubungan dengan sergapan tiba-tiba yang bisa saja digelar oleh Hamas. Belum lagi mereka harus membawa senjata berat dan pemeliharaan kendaraan tempur. Langkah pembentukan unit khusus tank wanita ini juga sempat menimbulkan kontroversi dan menimbulkan protes, terutama dari para pensiunan panglima militer. Mereka menyebut proyek ini sebagai sebuah eksperimen yang berbahaya.
Muslim-Arab dalam Kesatuan Tentara Wanita Israel
Ada yang istimewa dalam kesatuan tentara wanita Israel, dengan kehadiran personil wanita Muslim. Di beberapa video yang beredar selama perang Israel-Hamas tahun ini, mereka bukan hanya terlihat di medan pertempuran tetapi juga di control room Iron Dome.
Di antara sosok istimewa tentara wanita tersebut adalah wanita keturunan Arab berumur 33 tahun bernama Ella Waweya. Wanita yang berasal dari Utara Gaza ini menjadi perwira Muslim pertama yang menjadi walikota dalam militer Israel dan kini menjabat Wakil Juru BIcara IDF. Sebelumnya, Ella dan tentara Muslim lainnya di IDF sempat mengalami krisis identitas selama bermukim di Israel hingga Ia menerima semacam KTP kewarganegaraan Israel.
Ella dan lebih 600 wanita Muslim lainnya bukan hanya harus menghadapi krisis identitas tetapi juga tekanan emosional, sebab pilihan mengabdi ke Israel dianggap melanggar norma-norma kepatutan dalam lingkungan dan keluarga mereka, sehubungan dengan perlakuan Israel terhadap warga Palestina.
Meskipun demikian, Ella sendiri tetap bangga mengabdi pada Israel hingga ia dianugerahi dua penghargaan, salah satunya adalah President's Award Excellent (2015). Ia bahkan menjadi wanita Muslim-Arab pertama yang berhasil meraih pangkat Mayor dalam waktu tidak sampai sepuluh tahun sejak bergabung pada 2013 lalu.
Meski bergabungnya Muslim-Arab dianggap kontradiktif dengan garis perjuangan mayoritas Muslim dan negara Arab, namun ada kalangan yang membenarkan pilihan mereka dengan alasan peningkatan kesejahteraan. Ada juga yang mengapresiasi langkah Israel yang merekrut mereka sebagai upaya mengintegrasikan Israel dengan Muslim-Arab. Namun, ada juga yang mencurigainya sebagai upaya memecah belah bangsa Arab-Israel.