Saat ini sudah memasuki pekan kedelapan konflik bersenjata Israel vs Hamas sejak Operasi Badai Al-Aqsha oleh Hamas pada 7 Oktober 2023. Korban meninggal akibat agresi Israel ke Jalur Gaza sudah melebihi angka 13.000. Warga yang mengungsi meninggalkan Gaza juga sudah lebih dari 100.000. Warga dunia yang geram karena tak mampu menghentikan tragedi kemanusiaan di Palestina, tak sedikit yang mempertanyakan di manakah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)? Bukankah seharusnya mereka yang diberi kepercayaan mengawal perdamaian dunia, mampu menggerakkan tangannya untuk menyudahi tragedi terbesar dunia di abad ini?
Perkembangan terbaru saat ini di Gaza telah diadakan gencatan senjata jangka pendek antara Israel-Hamas pada Jumat, 24 Nopember 2023. Meski demikian, Israel meminta gencatan senjata kepada pihak Hamas bukan karena resolusi PBB atau ketundukan Israel kepada hasil voting Majelis Umum PBB yang poin pentingnya mendesak kedua pihak untuk gencatan senjata.Â
Lalu apakah gencatan senjata yang diminta Israel itu karena pengaruh tekanan Presiden AS Joe Biden yang menekankan gencatan senjata sementara untuk jeda kemanusiaan? Mungkin hanya Benjamin Netanyahu yang tahu pasti jawabannya, tetapi informasi yang beredar Israel berinisiatif meminta gencatan senjata karena  mereka sangat kewalahan menghadapi perlawanan bersenjata Hamas. Bahkan diberitakan bahwa 1.600 tentara IDF telah mengalami cacat dan banyak yang stres dalam perang melawan militan Hamas di Gaza. Kabar ini mengutip radio tentara Israel dari Asosiasi Veteran Penyandang Cacat Israel. Beberapa di antara mereka bahkan telah dipindahkan ke Amerika Serikat untuk menangani penanganan medis dan psikologis.
Fakta gencatan senjata yang diminta oleh Israel karena kepentingan mereka sendiri bukan karena tekanan PBB diperkuat dengan adanya pemberitaan bahwa gencatan senjata justru mereka manfaatkan untuk persiapan perang selanjutnya sebagaimana pernyataan Juru Bicara Militer Israel sendiri, Danial Hagari.
Meski kita kecewa terhadap PBB, tetapi ada baiknya kita meninjau ulang peran PBB dan dunia internasional dalam usahanya menyelesaikan konflik di Palestina untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh tidak spasial. Sama halnya dengan AS yang tidak selamanya selalu menunjukkan dukungan penuh terhadap sekutunya, Israel. Kita juga harus obyektif dan tidak terburu-buru menyimpulkan sikap negara adidaya ini. Kita juga harus mengapresiasi beberapa hal yang telah dilakukan oleh AS yang justru menyudutkan Israel dan di lain pihak menunjukkan pembelaan terhadap Palestina.
Setelah menjernihkan pikiran, marilah kita bersama menarik kesimpulan yang adil terhadap peran PBB dan AS dalam menyelesaikan konflik dan menciptakan perdamaian di Palestina. Beberapa contoh peran PBB dan AS akan kita bahas di artikel kali ini.
Resolusi Tahun 1967 dan 1973
Konflik Israel-Palestina di Timur Tengah mulai membuat mata dunia terbelalak pada tahun 1948, berlanjut hingga 1967 dan 1973. Saat itu dunia menyaksikan bagaimana potensi ancaman konflik di wilayah ini terhadap kedamaian di Timur Tengah, dengan kata lain konflik Israel-Palestina telah berkembang menjadi konflik regional yang telah membahayakan perdamaian dan keamanan dunia. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1948, 1967 dan 1973 terjadi perang besar yang melibatkan beberapa negara Arab di Timur Tengah melawan pendudukan Israel di Palestina yang lebih dikenal dengan nama Perang Arab-Israel (1948), Perang Enam Hari (1967) dan Perang Yom Kippur (1973).
 Ketika itu PBB mencoba menengahi kedua konflik bersenjata itu, bahkan hingga mengeluarkan resolusi Dewan Keamanan (DK) No. 242 dan 338. Ironisnya, PBB tak mampu menunjukkan taringnya saat kedua pihak yang bersengketa memperlihatkan sikap ketidaktundukan terhadap resolusi yang dikeluarkan oleh lembaga dunia itu. Terlebih lagi resolusi itu telah menunjukkan gejala cacat bawaan sejak lahir setelah diveto oleh Amerika Serikat (AS). Negara adi kuasa ini memveto resolusi dan lebih mendukung Israel, dan PBB hanya bisa terdiam hingga Palestina kembali harus menelan pil pahit kekecewaan.
Di antara penekanan Resolusi No. 242 Tahun 1967 adalah tidak dapat diterimanya perebutan wilayah melalui perang dan mengharuskan Israel keluar meninggalkan daerah pendudukannya di Palestina, namun Israel tidak mengindahkannya. Ironisnya, PBB tak mampu memberikan sanksi tegas terhadap Israel yang terang-terangan melanggar resolusi. Sebagaimana diketahui bahwa perang enam hari tahun 1967 antara Arab vs Israel berhasil dimenangkan oleh Israel. Akibatnya dalam waktu enam hari itu Israel merebut Tepi Barat dari Yordania, Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir, dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah. Israel kemudian bersedia mengembalikan Semenanjung Sinai ke Mesir tetapi menahan Tepi Barat, Jalur Gaza dan Golan. Israel pun menguatkan posisinya dengan membentuk pendudukan militer di wilayah-wilayah Palestina itu.
Nasib hampir sama dialami oleh Resolusi No. 338 Tahun 1973 yang merupakan upaya PBB menengahi konflik akibat perang Mesir dan Suriah melawan Israel (Perang Yom Kippur). Kedua negara Arab itu menyerang Israel untuk mengembalikan Semenanjung Sinai ke Mesir dan Dataran Tinggi Golan ke Suriah. Awalnya kedua pihak bersedia melakukan gencatan senjata sebagaimana seruan dalam resolusi sesuai proposal bersama Amerika Serikat dan Uni Soviet. Tetapi, kemudian pertempuran berlanjut di beberapa wilayah. Akibatnya Presiden Mesir, Anwar el Sadat lantas meminta AS dan Uni Soviet mengirimkan pasukan guna menegakkan gencatan senjata. Uni Soviet setuju, tetapi AS menolak. Akhirnya, DK PBB memutuskan pembentukan pasukan penjaga perdamaian sekaligus menjadi Pasukan Darurat kedua (UNEF II).
Perjanjian Camp David 1978
Peran AS lainnya dalam menengahi konflik di Palestina adalah Perjanjian Camp David tahun 1978. Perjanjian yang ditandatangani pada 17 September 1978 di Gedung Putih AS ini lagi-lagi melibatkan Presiden Mesir, Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel, Manachem Begin.
Perjanjian rahasia yang diprakarsai oleh Presiden AS, Jimmy Carter ini mensyaratkan tiga komponen penting yaitu pengakuan Arab terhadap Israel, negara Arab tidak akan mengancam Israel dan tidak akan membagi-bagi Yerusalem serta penarikan pasukan Israel dari wilayah-wilayah pendudukan.
Perjanjian Oslo (Oslo Agreement) Tahun 1995
Perjanjian ini lahir akibat semakin memanasnya konflik Israel-Palestina pasca penetapan batas wilayah masing-masing melalui Resolusi PBB No. 181. Resolusi ini menetapkan bahwa Israel mendapatkan 56% wilayah, sedangkan Palestina mendapatkan 44%.
AS kembali hadir memediasi kedua pihak untuk bertemu dan berunding secara rahasia di Norwegia sebanyak dua kali (Oslo I dan II). Perjanjian Oslo ditandatangani di Washington DC pada 28 September 1995. Secara umum di antara kesepakatan Oslo adalah Israel tetap memegang kontrol atas wilayah pemukiman Yahudi dan instalasi militer. Adapun status kota Hebron menunggu negosiasi berikutnya. Selanjutnya, Tepi Barat akan dibagi menjadi tiga zona kontrol: Zona A seluas 3% di bawah kontrol Palestina, Zona B seluas 70% di bawah kontrol militer Israel, dan Zona C seluas 27% termasuk sebagian Gaza dikontrol bersama oleh otoritas Israel dan Palestina. Lebih lanjut Oslo juga mensyaratkan Palestina menggelar Pemilihan Umum (Pemilu).
Resolusi dan Peta Perdamaian Tahun 2002
Tahun 2002, PBB mengeluarkan dua resolusi yaitu No. 1402 dan 1403. Resolusi No. 1402 yang dikeluarkan pada 30 Maret 2002 menetapkan kedua pihak yang berkonlik (Israel dan Palestina) melakukan gencatan senjata. Juga mensyaratkan Israel menarik pasukannya dari kota-kota Palestina, namun tidak diindahkan oleh Israel. Pasukan Zionis ini bahkan menyandera pemimpin otoritas Palestina, yakni Yasser Arafat, menghancurkan banyak bangunan dalam istana kepresidenannya, bahkan mempermalukannya di depan rakyatnya sendiri.
Arogansi Israel mendesak PBB mengeluarkan resolusi selanjutnya yaitu No. 1403. Resolusi ini dikeluarkan tidak sampai sepekan setelah resolusi sebelumnya, sekaligus menjadi resolusi ketiga yang dikeluarkan dalam waktu singkat. Resolusi yang dikeluarkan pada 4 April 2002 ini untuk menghentikan arogansi Israel dan membawa pihak yang bertikai ke meja perundingan untuk membicarakan perdamaian. Sebagai tindak lanjut diselenggarakan pertemuan negara-negara Arab, AS, Uni Eropa, Rusia, OKI dan PBB di New York pada 16 Juli 2002 yang menghasilkan konsep Peta Perdamaian.
Di antara butir pokok Peta Perdamaian dimaksud adalah penyelesaian final dan komprehensif konflik Israel-Palestina ditargetkan tahun 2005 dan pembentukan Negara Palestina yang demokratis dan independen berdampingan dengan Israel secara damai. Untuk mencapai tujuan tersebut, ditetapkanlah beberapa fase pelaksanaan yang harus dilaksanakan oleh Israel dan Palestina.
Sikap PBB dan Mahkamah Internasional Terkait Tembok Pemisah (2004)
 Terkait aktivitas Israel membangun tembok pemisah ditengarai oleh Palestina sebagai upaya Israel mencaplok wilayah Palestina sebelum pendirian Negara Palestina. Karena itulah sejumlah negara anggota PBB dan negara Arab mengajukan petisi ke Majelis Umum PBB untuk selanjutnya meminta Mahkamah Internasional (International Criminal Court/ICC) bersidang.
Sidang yang digelar di Den Haag pada 23 Pebruari 2004 memutuskan bahwa tembok pemisah yang dibangun oleh Israel di Tepi Barat adalah ilegal dan harus dibongkar. Sidang juga meminta PBB melakukan tindakan yang diperlukan. Tindakan dimaksud adalah sidang pada 20 Juli 2004 yang berhasil menghasilkan resolusi ES-10 yang secara resmi mendesak Israel untuk menghentikan dengan segera proyek pembangunan tembok pemisah Israel-Palestina, termasuk menghancurkan tembok yang sudah dibangun karena melanggar prinsip kemanusiaan. Resolusi ini didukung oleh 150 anggota, 6 menentang, dan 10 abstain.
Resolusi Tahun 2009
Resolusi No. 1860 Tahun 2009 yang dikeluarkan DK PBB menekan Israel untuk segera meninggalkan wilayah Palestina. Perdana Menteri Israel saat itu, Ehud Olmert dalam suatu kesempatan berbicara kepada wartawan di Tel Aviv berusaha menenangkan warganya. Ia menyatakan akan mendukung Presiden AS, George Bush, Jr agar tidak mendukung resolusi tersebut. Sikap AS yang abstain, menyebabkan DK PBB tetap menerbitkan resolusi tersebut.
International Criminal Court dan UN Fact-Finding Mission Tahun 2009
Investigasi dari Mahkamah Internasional (International Criminal Court/ICC) adalah buah usaha Presiden Palestina, Mahmoud Abbas yang berhasil melobi ICC. Rencananya ICC akan melakukan investigasi terkait agresi Israel sejak digelarnya Operation Cast Lead. Masuknya ICC ke Palestina dianggap bertentangan dengan prinsip PBB yang ditetapkan tahun 1947 berdasarkan voting Majelis Umum. Penetapan tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa baik PBB maupun negara anggotanya mampu melakukan dan merekomendasikan penyelenggaraan proposal apapun perihal konstitusi dan masa depan pemerintahan Palestina.
Meski demikian, investigasi ICC dan Tim Pencari Fakta PBB (UN Fact-Finding Mission/FFM) terkait Operation Cast Lead yang menghasilkan Goldstone Report secara diplomatik menjadi bentuk pengakuan dua lembaga internasional terhadap eksistensi Palestina. Hasil temuan kedua lembaga ini bahwa di Palestina telah terjadi kejahatan kemanusiaan, tentu ikut menjadi pertimbangan PBB untuk memberikan pengakuan terhadap kedaulatan Palestina tiga tahun kemudian.
Pengakuan Kedaulatan Palestina oleh Majelis Umum PBB Tahun 2012
Ini adalah salah satu langkah paling menentukan masa depan Palestina setelah menunggu 65 tahun. Tepatnya pada 29 Nopember 2012, Majelis Umum PBB mengeluarkan keputusan pengakuan kedaulatan Palestina berdasarkan hasil voting yang diikuti oleh 193 negara anggota (138 mendukung, 9 tidak mendukung, dan 41 abstain). Pengakuan PBB ini disusul dengan perubahan status Palestina di PBB dari badan pengamat menjadi negara pengamat (Non-Member Observer States). Tindak lanjutnya, bendera Palestina akan dikibarkan di depan markas PBB di New York bersama negara-negara non-anggota lainnya. Selanjutnya, Israel diberi kesempatan hingga 2017 untuk meninggalkan Tepi Barat dan Jalur Gaza yang tetap mereka duduki pasca Oslo Agreement.
Merespon pengakuan Majelis Umum PBB ini, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu spontan mengeluarkan pernyataan, "Selama saya berkuasa, tak akan kubiarkan Negara  Palestina berdiri sampai kapan pun." Pernyataan yang diliput oleh banyak media asing ini membuat dunia terkejut. Maka tidak mengherankan banyak negara di Eropa Barat yang kemudian beralih memihak ke Palestina.
Pengakuan kedaulatan secara historis dan hukum internasional memang menggembirakan banyak pihak, tetapi kenyataannya tidak merubah kondisi di lapangan. Netanyahu yang sudah menjabat Perdana Menteri Israel selama empat periode bukan hanya terang-terangan menolaknya, Israel juga tetap melakukan tindakan brutal di wilayah pendudukan. Tidak sampai di situ, Israel pun masih memperluas pembangunan pemukiman untuk warga Israel.
Resolusi Tahun 2016
Resolusi bernomor 2334 ini merupakan hasil pemungutan suara di DK-PBB terkait pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Resolusi ini menekan Israel untuk segera menghentikan pembangunan pemukiman di wilayah Palestina. Amerika Serikat kembali memilih opsi abstain dalam rancangan resolusi yang disetujui oleh 14 anggota tersebut. Sikap AS yang tidak menggunakan hak vetonya menyebabkan resolusi ini lolos dan mengikat (legal-binding) sehingga dengan demikian pembangunan pemukiman Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur adalah ilegal dan harus dihentikan.
Sehari setelah terbitnya resolusi, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu langsung melontarkan kritik kepada Presiden Barack Obama yang dianggapnya telah melakukan maneuver "licik" dan anti-Israel. Bukan hanya itu, Netanyahu mengancam akan menghentikan aliran dana ke lima badan PBB yang dinilainya memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap Israel.
Bagaimana peran PBB dan AS pada Agresi Israel 2023?
PBB juga tidak tinggal diam menyaksikan besarnya tragedi kemanusiaan akibat agresi Israel sebagai balasan serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Diinisiasi oleh Yordania, Majelis Umum PBB bersidang untuk mendesak kedua pihak (Israel dan Hamas) mengadakan gencatan senjata. Melalui voting, 120 negara mendukung, 14 menolak termasuk Amerika Serikat, dan 45 abstain.
Sayangnya, meski Majelis Umum PBB sepakat menekan kedua pihak untuk melakukan gencatan senjata, tetapi mereka tetap bergeming dan melanjutkan perang terbuka. Akibatnya korban jiwa dari warga sipil masih terus berjatuhan terutama penduduk sipil di Jalur Gaza yang hingga pekan ketujuh telah menewaskan lebih dari 13.000 jiwa dan lebih dari 100.000 mengungsi ke negara tetangga Palestina, terutama Mesir dan Yordania.
Bagaimana peran AS dalam konlik Israel-Hamas pada tahun 2023 ini? Meski tidak pernah menunjukkan sikap tegas bahkan menolak voting di Majelis Umum PBB, Presiden Joe Biden beberapa kali mengingatkan Israel agar tidak menjadikan warga sipil dan rumah sakit sebagai target. AS juga berperan mendesak Israel untuk melakukan gencatan senjata jangka pendek untuk memberikan kesempatan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza. Itulah sebabnya, Joe Biden menyebutnya sebagai "Jeda Kemanusiaan".
Hambatan: Veto di Dewan Keamanan dan Non-Binding Majelis Umum
Dengan demikian, PBB sesungguhnya tidak pernah diam menyaksikan konflik dan pertumpahan darah di Palestina. Telah banyak resolusi yang dikeluarkan dan sidang yang digelar. Di antara kendala utamanya adalah resolusi-resolusi itu sering mentah setelah diveto oleh sekutu utama Israel di Dewan Keamanan (DK) PBB yaitu Amerika Serikat (AS). Negara adidaya ini diketahui telah melakukan 41 veto untuk mendukung Israel.
Sekadar diketahui, meski sebuah resolusi didukung oleh mayoritas anggota DK, tetapi jika diveto oleh satu saja negara anggota tetap maka resolusi itu dinyatakan tidak berlaku. Bisa dikatakan hanya satu resolusi di mana AS tidak melakukan veto melainkan bersikap abstain yaitu resolusi No. 2334 Tahun 2016 tentang pemukiman Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Tetapi secara umum, resolusi-resolusi DK PBB terkait Israel tidak berhasil ditegakkan bahkan tidak jarang berhenti di tengah jalan, karena veto AS. Anggota tetap DK PBB lainnya adalah Inggris, Prancis, Rusia dan China. Meski demikian, berdasarkan lintasan sejarah di atas, AS tidak benar-benar full mensupport sekutunya, Israel. Setidaknya dua kali AS tidak memveto rancangan resolusi sehingga resolusi itu menjadi legal dan mengikat (legal-binding).
Adapun jika yang yang bersidang adalah Majelis Umum maka mekanismenya meskipun mayoritas anggota setuju dan tidak mengenal veto, tetapi dalam pelaksanaannya Majelis Umum tidak mempunyai kekuatan mengikat untuk memberikan sanksi kepada Israel jika tetap melanggar (non-binding). Meski demikian, sidang majelis umum seperti yang terjadi pada tahun 2023 ini telah berhasil menggiring opini internasional bahwa Israel telah melakukan tindakan melanggar kemanusiaan di Palestina, khususnya di Gaza. Adapun tindakan hukum terhadap Israel tentu bukan wewenang Majelis Umum atau bahkan Dewan Keamanan PBB, sebab ada lembaga internasional lainnya yang berkompeten untuk hal tersebut, dalam hal ini adalah Mahkamah Internasional (International Criminal Court/ICC).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H