Pesan di atas adalah kesimpulan yang penulis dapatkan setelah mendengar pemaparan Prof. Hamdan Juhannis yang menjadi nara sumber webinar Road to HGN 2023 yang diselenggarakan oleh Kantor Kemenag Prov. Sulawesi Selatan pada Jumat, 24 November 2023.
Guru Pembelajar, Bahagia Mengajar
Kalimat di atas sesungguhnya merupakan tema yang diusung oleh Kementerian Agama dalam peringatan Hari Guru Nasional tahun 2023. Menyangkut tema besar itu, Prof. Hamdan Juhannis kemudian memulai penjelasannya dengan memberi motivasi bahwa Guru Pembelajar adalah mereka yang sering belajar dan sering membandingkan. Kalau kita tidak mau lagi belajar, maka akan ketinggalan dan tertinggal dari rombongan, dengan kata lain akan jalan di tempat.
Menurut salah satu Guru Besar termuda dalam sejarah UIN Alauddin ini, Guru Pembelajar adalah mereka yang selalu mengupdate ilmu pengetahuan dan wawasan. Hanya dengan demikian mereka layak disebut terpelajar. Apalagi guru saat ini berhadapan dengan peserta didik yang juga mengupdate dirinya dengan memanfaatkan teknologi IT.
Kenali dan Jauhi Penyakit yang Mungki Diderita oleh Guru
Inilah pesan penting dari Prof. Hamdan. Sosok muda yang otobiografinya pernah diangkat ke layar lebar ini menekankan bahwa guru harus membebaskan dirinya dari beberapa penyakit antiketerpelajaran di antaranya "gaptek", "mager", "baper", "kepo", "sekke", "letih", "lesu" dan "kudis".
"Gaptek" adalah singkatan dari gagap teknologi, "mager" singkatan dari malas bergerak, dan "baper" singkatan dari terbawa perasaan sehingga mudah tersinggung. Khusus guru baper, ia tidak akan mampu berkomunikasi dengan baik bahkan terkadang memboikot pembelajaran dengan peserta didiknya.
Selanjutnya, Guru Pembelajar juga harus menghindari penyakit "kepo" karena ini dapat menyebabkan guru mengalami disorientasi. Akibatnya, ia tidak lagi profesional dalam menjalankan tugas meskipun ia sudah tersertifikasi sebagai Guru Profesional.
Adapun penyakit "sekke'" diambil dari istilah Bugis yang artinya kikir atau pelit. Maksudnya Guru Pembelajar tidak boleh pelit atau kikir dalam membelanjakan hartanya untuk membeli buku, laptop dan sebagainya. Sehingga dengan demikian, ketika guru sudah terbebas dari penyakit sekke' ini maka ia juga akan terbebas dari penyakit "letih" (lemah teknologi), "lesu" (lemah sumber) dan "kudis" (kurang disiplin).
Akhirnya, Hamdan menyimpulkan bahwa guru yang telah membebaskan dirinya dari berbagai penyakit di ataslah yang akan menjadi guru yang berbahagia. Guru seperti inilah yang akan mengalami "puncak kenikmatan" saat berhadapan dengan peserta didiknya. Guru seperti ini pula yang akan mendukung visi "Indonesia Emas".
Bahagia Beda dengan Senang
Pendapat ini dikemukakan oleh Hamdan saat menjawab pertanyaan seorang peserta. Menurutnya, tidak tepat jika dikatakan bahwa kebahagiaan guru karena menerima gaji/tunjangan. Itu lebih tepat jika disebut kesenangan. Adapun kebahagiaan merupakan sesuatu yang sangat mendasar, bukan hanya kesenangan tetapi juga ketenangan. Kebahagiaan tidak tergantung pada materi, sedangkan kesenangan tergantung dari materi yang diterima. Itulah sebabnya, jika materi itu hilang maka kesenangan juga akan sirna.
Tantangan Guru Pembelajar
Di akhir pemaparannya, Hamdan Juhannis kembali mengingatkan bahwa gadget/smartphone telah membuat hidup manusia hancur lebur dan terombang-ambing karena teknologi ini telah merasuk dalam segala sendi kehidupan manusia. Sekali lagi, tantangannya adalah bagaimana seorang Guru Pembelajar memanfaatkan gadget/smartphone ini untuk kepentingan peningkatan profesionalismenya tidak sekadar menjadi media mengupdate status.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H