Perhatian dunia masih tertuju ke Gaza yang menjadi latar konflik terbuka Israel-Hamas. Hingga tujuh pekan konflik terbuka sejak Hamas mengejutkan Israel pada 7 Oktober 2023, belum ada tanda-tanda perang akan berakhir. Bahkan episode perang baru dimulai pasca Israel memberi kesempatan kepada warga Gaza untuk meninggalkan kota. Banyak media kemudian meliput eksodus warga Gaza yang berjalan ke selatan kota menuju perbatasan Mesir-Gaza. Pemerintah Mesir memang kembali membuka perbatasan Rafah untuk diseberangi warga Gaza.
Kembali kepada Hamas yang telah berhasil merepotkan Israel, bahkan Israel sendiri mengakui bahwa perang kali ini sangat berat bagi mereka. Serangan balasan mereka kepada Hamas selama lebih dari sebulan di Gaza justru kontraproduktif karena yang banyak jadi korban adalah warga sipil, termasuk anak-anak dan wanita. Akibatnya dunia mencap mereka sebagai penjahat kemanusiaan dan banyak negara kemudian memutuskan hubungan diplomatik dengan mereka. Ini tentu merugikan Israel secara politis. Terbaru, sepekan terakhir ini himbauan boikot terhadap produk mereka dan produk negara lain yang menyokong mereka semakin mendunia.
Hingga tujuh pekan agresi Israel, belum ada tanda-tanda mereka menemukan markas Hamas, apalagi tempat sandera Hamas. Sebagaimana diketahui bahwa serangan tiba-tiba Hamas dalam Operasi Badai Al-Aqsha juga berhasil menyandera 240 warga Israel. Dari jumlah tawanan itu, belum semua dibebaskan oleh Hamas. Lalu bagaimana sesungguhnya konflik Israel-Hamas dalam lintasan sejarah? Berikut kami coba ulas secara kronologis.
Haraqah al-Muqawwamah Islamiyyah (Hamas) dirintis pada 14 Desember 1987 dan secara resmi berdiri pada 18 Agustus 1988 melalui penetapan dan deklarasi Piagam Hamas oleh pendirinya, Syaikh Ahmad Yassin. Artinya konflik-konflik sebelumnya antara Israel-Palestina belum bisa dikatakan Hamas terlibat secara organisasi. Sebut saja misalnya saat Perang Arab-Israel tahun 1948 dan perang enam hari tahun 1967 antara Israel melawan aliansi Mesir, Suriah dan Yordania yang dibantu secara aktif oleh Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Begitupun Peristiwa Yom Kippur tahun 1973. Jika demikian kapan tepatnya awal konflik Israel dengan Hamas?
Perlawanan Hamas Saat Baru Muncul sejak 1987
Di awal kemunculannya, Hamas belum mengkordinasikan perlawanan bersenjata. Mereka baru menggalang aksi-aksi massa melawan pendudukan Israel melalui aksi demonstrasi dan penyebaran pamflet. Sasaran mereka terutama rakyat Palestina di Jalur Gaza. Tujuan mereka adalah memberikan pemahaman, menanamkan kesadaran, dan kewaspadaan, terhadap berbagai cara pendudukan Israel, sekaligus strategi awal untuk membentuk kekuatan rakyat Palestina. Strategi selanjutnya melalui pembentukan pemikiran melalui kajian keislaman di masjid-masjid dan lembaga pendidikan.
Konflik pada tahun ini juga bertepatan dengan menggeloranya intifadhah sejak 9 Desember 1987 hingga 1993. Diperkirakan 1.100 warga Palestina dan 164 warga Israel menjadi korban di periode intifadhah pertama ini.
Aksi Bersenjata dan Bom Bunuh Diri Hamas yang Pertama (1992-1993)
Meski Hamas didirikan pada 1987, tetapi barulah lima tahun kemudian Hamas memulai perjuangan bersenjata. Momen yang mengejutkan Israel adalah saat gerakan perlawanan ini berhasil membunuh Direktur Perumahan Israel di Jalur Gaza bernama Durron Susan pada tahun 1992. Ketika Israel menangkap pelaku pembunuhan itu, Brigade Izzuddin Al-Qassam segera mengumumkan kehadirannya secara resmi dalam perjuangan rakyat Palestina.
Tahun 1993, Hamas kembali mengejutkan Israel dengan bom bunuh diri (Istisyadiyah). Bom bunuh diri ini tidak hanya menargetkan tentara Israel tetapi juga tempat umum yang ditinggali oleh warga sipil di Palestina. Contoh bom syahid itu pada 14 September 1993 yang merupakan protes terhadap Perjanjian Oslo.
Tragedi Masjid Ibrahim (1994)
Ini salah satu konflik berdarah yang dipicu oleh tindakan brutal Israel membantai warga muslim di masjid Ibrahim di kota Hebron pada 25 September 1994. Saat itu tentara Israel secara tiba-tiba melakukan penembakan dan pengeboman yang menyebabkan tewasnya 29 jamaah dan melukai lebih dari 100 orang. Menyusul pembunuhan brutal itu, Israel menerapkan aturan militer di kota Hebron. Hamas mengejutkan Israel dengan serangan balasan yang menyebabkan 70 orang Yahudi terbunuh dan 340 lainnya cedera. Kekerasan lain terjadi lagi di masjid ini pada tahun 2021 saat tentara Israel tiba-tiba menyerang jamaah di luar masjid yang sedang menunaikan ibadah shalat Jumat.
Konflik Pasca Kerusuhan Terowongan Al-Aqsha (1996)
Peristiwa ini bisa dikatakan menjadi momentum konflik Israel-Hamas dalam skala besar. Kerusuhan terowongan Al-Aqsha (1996) ini hanya berselang tiga tahun dari penetapan Perdamaian Oslo (1993). Kerusuhan berawal saat Israel sengaja membuka terowongan Al-Aqsha untuk memikat para turis. Tindakan ini justru dianggap membahayakan fondasi masjid sehingga menimbulkan protes dari rakyat Palestina. Kerusuhan yang terjadi beberapa hari dan menelan banyak korban jiwa. Hamas sendiri berhasil membunuh 70 orang Yahudi dan melukai 340 lainnya selama Pebruari-Maret 1996. Hal ini memicu Israel melakukan serangan ke wilayah Palestina.
Konflik Tahun 2000-2002
Secara umum konflik atau perlawanan Hamas sejak tahun 2000 ini dipicu oleh usaha pendudukan Israel terhadap Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem Timur. Selain mereka semakin brutal, juga mereka semakin berani membuat aturan yang memperketat rakyat Palestina di tanahnya sendiri. Mereka bahkan mulai menghancurkan rumah dan mengusir warga Palestina.
Meski demikian, sebab khusus konflik yang memperberat proses perdamaian tahun 2000 ini adalah kunjungan provokatif pimpinan Partai Liqud, Ariel Sharon ke kompleks Al-Aqsha pada 28 September 2000. Kekecewaan dan kemarahan rakyat Palestina menyebabkan pecahnya intifadhah kedua. Gerakan perlawanan dengan aksi demonstrasi dan lemparan batu ini dibalas oleh Israel dengan memborbardir kota Ramallah dan Gaza. Akibatnya Hamas pun membalas sehingga terjadi saling serang di antara mereka.
Merespon konflik terbuka dengan Hamas pada masa ini, Perdana Menteri Ariel Sharon menerapkan hard military solution dalam pemerintahannya. Implementasinya di lapangan secara militer melalui Operation Defense Shield sejak Maret 2002.
Israel Membunuh Dua Tokoh Tertinggi Hamas (2004)
Dua tokoh tertinggi Hamas yang dibunuh oleh Israel pada tahun 2004 adalah pendiri Hamas, Syekh Ahmad Yassin dan Abdulaziz al-Rantissi. Syekh Ahmad Yassin syahid pada 22 Maret 2004 saat sedang dalam perjalanan ke masjid untuk menunaikan shalat Subuh. Tubuhnya yang renta di atas kursi roda diserang dengan roket dari helikopter Apache milik Israel. Tidak sampai sebulan kemudian, Abdulaziz al-Rantissi yang menggantikan Syekh Ahmad Yassin juga syahid oleh serangan udara Israel pada 17 April 2004.
Hamas Menang Pemilu Palestina (2006)
Tidak sampai dua tahun pasca pembunuhan terhadap dua tokoh tertinggi Hamas, gerakan perjuangan yang sudah beralih menjadi gerakan politik ini berhasil memenangkan Pemilu Legislatif di Palestina (2006). Kemenangan ini disusul dengan dipilihnya tokoh penting Hamas, Ismail Haniyyah sebagai Perdana Menteri.
Konflik Tahun 2008-2009
Konflik antara tahun 2008-2009 ini juga merupakan konflik Israel-Hamas yang terjadi dua tahun pasca Hamas memenangkan Pemilu di Palestina tahun 2006. Sama dengan konflik 2023, Israel beralasan bahwa Operasi Cast Lead yang mereka gelar sejak 27 Desember 2008 hanya membalas tembakan roket dari Gaza dan Hamas. Diketahui bahwa selain itu, Hamas juga dibantu oleh Jihad Islam Palestina yang bertanggung jawab terhadap tiga atau lima roket yang menghantam kota Galilea di Israel Utara. Israel menyerang Hamas dengan tuduhan terorisme, sehingga mereka juga melobi Negara Barat agar tidak memberi bantuan kepada Hamas.
Israel cenderung meningkatkan serangannya dalam apa yang mereka sebut juga sebagai Operasi Oferet Yetsuka (27 Desember 2008-20 Januari 2009). Pada periode hampir sebulan itu dunia kembali dikejutkan oleh pemboman Israel dari udara di Jalur Gaza. Kali ini Israel juga meluncurkan sejumlah roket ke wilayah yang dikuasai Hamas di Gaza. Akibatnya jatuh banyak korban dari warga sipil meskipun menurut Israel tujuan serangan ini untuk melumpuhkan Hamas. Itulah sebabnya, Israel juga memblokade Jalur Gaza termasuk melarang masuk segala jenis bantuan. Akibat serangan selama 22 hari itu sebanyak total 1.434 warga Gaza tewas termasuk 960 dari kalangan sipil (termasuk anak-anak dan wanita) dan 235 pejuang Hamas. Sementara korban luka-luka mencapai 5.380 di pihak Palestina dan  518 di pihak Israel. Kematian warga Palestina karena serangan Israel di periode ini sekaligus merupakan yang tertinggi jumlahnya dibanding agresi-agresi sebelumnya. Adapun warga Israel yang tewas sejumlah 13 orang termasuk enam tentara Israel.
Sama halnya dengan agresi tahun 2023 ini, serangan Israel saat itu juga memicu protes dan kutukan dari dunia internasional, terutama dari negara-negara mayoritas Muslim. Bahkan lembaga hak asasi manusia di Israel pun ikut mengecam tindakan Israel tersebut. Begitupun para pembela hak asasi manusia internasional yang menyebut agresi Israel ini adalah kejahatan perang. Terlebih lagi sesuai pengakuan Israel sendiri, mereka telah menggunakan bom fosfor putih yang telah dilarang secara internasional. Diketahui bom jenis ini akan menimbulkan luka bakar yang parah bagi korban yang terkena.
Serangan membabi buta Israel pada tahun 2008 itu juga telah mengakibatkan kehancuran bangunan seperti rumah, masjid bahkan kantor bantuan PBB dan infrastruktur lainnya. Belum lagi sebanyak 6.000 kepala keluarga mengalami kehancuran rumah ringan, dan 10.000 kepala keluarga mengalami kehancuran rumah parah.
Begitu dahsyatnya dampak agresi Israel ini sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) menyebut agresi dan blokade Israel sebagai kejahatan perang. Dewan Keamanan (DK) PBB bahkan mengeluarkan resolusi No. 1860/2009 yang menyerukan kedua pihak (Israel dan Hamas) menyetujui gencatan senjata. Resolusi juga mensyaratkan pengakuan Gaza sebagai bagian dari Palestina. Meski demikian, Amerika Serikat (AS) memveto resolusi itu sehingga Israel pun tidak tunduk pada resolusi. Hamas pun tidak pernah meminta untuk melakukan gencatan senjata.
Blokade dan Perjanjian Damai (2010)
Israel benar-benar tidak menggubris kecaman PBB dan OKI yang mengecam blokade yang mereka lakukan terhadap Gaza pada 2008. Buktinya, blokade yang sama mereka ulangi pada 2010 dengan menahan semua bantuan yang akan masuk ke Palestina. Di antara peristiwa yang mungkin masih tersimpan dalam memori publik yang bersimpati terhadap penderitaan Palestina adalah saat tentara Israel menembaki kapal Mavi Marmara pada 30 Mei 2010. Mavi Marmara ketika itu membawa ratusan relawan dan belasan ton bantuan untuk Palestina.
Meski demikian, Perdana Menteri Palestina yang merupakan petinggi Hamas yakni Ismail Haniyyah masih bersedia berunding dan menyetujui perdamaian dengan Israel pada Desember 2010.
Konflik Tahun 2012
Tidak sampai dua tahun pasca perjanjian damai Israel dengan Palestina, konflik terbuka Israel-Hamas kembali pecah. Perang tentara Israel melawan kelompok Hamas ini kembali terjadi di Jalur Gaza pada 14 Nopember 2012 pasca Israel menggelar Operation Pillar of Defense. Tujuan operasi ini adalah untuk menghancurkan infrastruktur Hamas dan organisasi lainnya yang mendukung mereka. Meski tujuannya demikian, perang yang berlangsung hampir dua pekan itu kembali menimbulkan jatuhnya ratusan korban jiwa, baik anak-anak, wanita dan orang tua.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak tinggal diam. Melihat bencana kemanusiaan yang kembali ditimbulkan oleh agresi Israel, Majelis Umum menggelar voting yang diikuti oleh 193 negara anggota. Hasilnya, 138 negara mendukung Palestina, 9 tidak mendukung termasuk AS, Kanada dan Israel. Selebihnya, 41 negara menyatakan abstain.
Maka dengan hasil voting diumumkan pada 29 Nopember 2012 menetapkan bahwa PBB melalui Majelis Umum mengakui kedaulatan Negara Palestina. Tetapi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu merespon pengakuan PBB ini dengan tegas sambil berkata, "Selama saya berkuasa, tak akan kubiarkan Negara Palestina berdiri sampai kapan pun." Pernyataan yang kemudian dipublish oleh banyak media massa internasional ini membuat Israel kehilangan dukungan termasuk dari sekutu-sekutunya di Eropa Barat yang saat voting menyatakan dukungan terhadap kedaulatan Palestina.
Konflik Sepanjang Tahun 2013
Sebelum konflik pecah, sedang diusahakan pembicaraan ke arah perdamaian yang diinisiasi oleh Mantan Sekretaris Negara AS, John Kerry. Perjanjian yang terkenal dengan nama peace talk yang menawarkan solusi dua negara ini juga gagal. Akibatnya sepanjang tahun 2013 konflik terbuka kembali terjadi. Di antara penyebabnya adalah pihak Israel terus menerus melakukan ekspansi pemukiman di Tepi Barat.
Meski Hamas berhasil menewaskan enam orang, di antaranya tiga perwira militer Israel, sedangkan tiga lainnya non-kombatan, namun korban serangan balasan Israel ke wilayah Jalur Gaza pada 3 April 2013 sebanyak 160 warga Palestina dan melukai sedikitnya 1.200 orang. Israel beralasan hanya melakukan serangan balasan pasca Hamas menyerang kota Sderot dengan roket bertepatan dengan kunjungan Presiden AS, Barack Obama. Sehari sebelumnya, Menteri Pertahanan Israel, Moseh Yaalon telah mengingatkan Jalur Gaza bahwa setiap serangan akan dibalas dengan keras oleh Israel.
Israel Menolak Persatuan Hamas-Fatah Tahun 2014
Momentum persatuan Hamas dengan faksi militer lain di Palestina, yakni Fatah terjadi pada 23 April 2014. Sebelumnya selama tujuh tahun mereka berbeda haluan dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Sudah dapat diduga, Israel tidak merestui pemerintahan Palestina bersatu ini. Bagi Israel, Hamas adalah teroris dan dalang bagi kehancuran mereka. Itulah sebabnya, Benjamin Netanyahu bukan hanya menyebut persatuan ini akan "memperkuat terorisme" tetapi juga mengajak dunia internasional agar tidak memberikan pengakuan terhadap mereka. Meski demikian, dunia internasional tidak menggubris himbauan Israel ini. PBB, Uni Eropa, Amerika Serikat, Cina, Rusia, India dan Turki menjalin kesepakatan kerja sama dengan pemerintahan baru Palestina ini.
Netanyahu segera merespon kesepakatan yang secara politis merugikan Israel itu dengan mengingatkan bahwa perjanjian kerja sama di antara mereka tidak sesuai dengan semangat perdamaian Palestina-Israel. Oleh sebab itu, Netanyahu memberi Presiden Palestina, Mahmoud Abbas dua pilihan: berdamai dengan Hamas atau berdamai dengan Israel. Netanyahu membuktikan ancamannya dengan melancarkan serangan udara atas Jalur Gaza yang menyebabkan empat orang terluka.
Pemicu lain konflik Israel-Hamas pada tahun 2014 ini adalah Hamas dituduh bertanggung jawab terhadap penculikan dan pembunuhan tiga remaja Israel di West Bank pada Juni 2014. Selanjutnya Hamas juga dituduh berada di belakang serangan roket dari Gaza ke Israel. Merespon kedua hal tersebut, Israel melancarkan Operation Protective Edge dengan alibi membela diri. Operasi ini sekaligus menandai serangan besar ketiga selama 51 hari sejak 8 Juli 2014. Banyaknya korban sipil di Gaza akibat operasi selama hampir dua bulan ini membuat Hamas bersedia melakukan gencatan senjata pada 26 Agustus 2014.
Arus Teror Tahun 2015
 Istilah "Arus Teror" diciptakan sendiri oleh Israel untuk menyebut serangkaian insiden antara September hingga Nopember 2015. Insiden yang terjadi terkait dengan status Bukit Bait Allah ini menyebabkan jatuhnya banyak korban. 68 orang Palestina terbunuh oleh polisi perbatasan dan militer Israel.
Konflik Tahun 2020-2021
Konflik yang bergejolak sejak 10 Mei 2021 ini dipicu oleh sengketa lahan permukiman antara Muslim Palestina dengan Yahudi di Yerusalem Timur. Sebelum konflik pecah, Hamas meminta pasukan Israel yang tentu saja membela pemukim Yahudi agar meninggalkan Yerusalem Timur, tetapi diabaikan oleh Israel. Akibatnya, Hamas terpancing dan menyerang Israel dengan roket dari arah Gaza. Meski demikian, serangan balasan Israel justru lebih dahsyat dan menyebabkan 212 warga sipil Palestina menjadi korban termasuk wanita dan anak-anak, terhitung dari Mei 2021. Sedangkan korban luka sebanyak 1.500 orang.
Konflik di periode ini kemudian memunculkan Amerika Serikat (AS) sebagai mediator tepatnya pada saat Joe Biden yang memegang tampuk pemerintahan di negeri Paman Syam. Joe Biden menginisiasi pembicaraan tingkat tinggi antara Menteri Luar Negerinya, Antony Blinken dengan Presiden Palestina, Mahmoud Abbas. Pada kesempatan itu, AS tetap memposisikan diri sebagai pihak pro-Israel dengan meminta Hamas menghentikan serangan, tetapi di pihak lain mendukung serangan Israel sebagai upaya pertahanan diri. Menurut AS, Hamas telah meluncurkan 1.200 roket ke wilayah Israel sehingga serangan Israel ke Palestina tidak dapat disalahkan. Â Meski demikian, Joe Biden tetap menghubungi Benjamin Netanyahu pada 15 Mei 2021 agar menginisiasi gencatan senjata. Bukan hanya itu, pada 7 April 2021 AS juga mengucurkan bantuan 235 juta dollar AS kepada Palestina melalui badan PBB yang mengurusi pengungsi Palestina.
Konflik dan Perang Terbuka 2023
 Konflik yang berubah menjadi perang terbuka Israel dengan Hamas ini berawal pada 7 Oktober 2023 setelah Hamas mengumumkan Operasi Badai Al-Aqsha. Menyusul pengumuman itu, Hamas menembakkan ribuan roket ke wilayah Israel. Hamas beralasan serangan ini adalah balasan terhadap perlakuan Israel terhadap warga sipil di Yerusalem Timur dan perlakukan mereka terhadap warga Palestina yang mereka tahan. Secara khusus mereka menyalahkan Israel yang telah menodai masjid Al-Aqsha dengan merayakan hari raya mereka di area masjid.
Serangan roket Hamas kemudian dibalas oleh Israel melalui serangan udara disusul serangan darat. Seperti konflik sebelumnya, warga sipil yang banyak menderita. Hingga tujuh pekan agresi Israel ke Jalur Gaza, jumlah korban dari warga sipil telah mencapai 13.300 orang (update 20/11/2023). Sementara itu warga yang mengungsi ke negara lain yang berbatasan dengan Israel terutama Mesir telah berjumlah hampir 150 ribu orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H