Pesan Keteladanan Pahlawan untuk Pemimpin Masa Depan
Seakan menyambung pesan dari pembicara pertama, La Malihu sebagai pembicara kedua menceritakan keteladanan Bung Hatta dari sudut pandang dimensi rela berkorban. Ia rela dibuang ke tempat yang kurang pantas baginya. Ia menyinggung sebagian kita hari ini yang terkadang diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) lengkap dengan gaji dan tunjangan tetapi menolak ditempatkan di daerah tertentu. Begitupun Bung Karno yang rela ditangkap dan diasingkan padahal ia bisa saja menerima tawaran Belanda untuk diangkat menjadi pegawai dengan gaji tinggi. Contoh lain adalah Jenderal Sudirman yang meskipun dalam keadaan sakit rela bergerilya untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa ini.
Lebih lengkapnya, Dosen Universitas Negeri Makassar (UNM) ini menyampaikan nilai-nilai keteladanan dari pahlawan bangsa yaitu rela meninggalkan zona nyaman, seringkali melakukan tindakan penuh resiko, mengorbankan jiwa dan masa depan diri dan anak cucu mereka, serta lebih mengedepankan ke-KITA-an daripada ke-KAMI-an. Khusus yang terakhir ini, ia menekankan bahwa karena prinsip seperti inilah maka meski kita terdiri dari ribuan pulau dan beragam budaya dan bahasa kita tetap dapat dipersatukan dalam satu Indonesia.
Ia tidak lupa mengkritik dengan elegan paradoks kepemimpinan masa kini yaitu politikus vs negarawan, kader yang tumbuh dari bawah vs kader yang tumbuh dari atas, politik transaksional serta money politik sebagai batu sandungan. Pada akhirnya, ia mengajak kita merenung apakah format pemilihan pemimpin hari ini perlu diubah?
Pesan Pahlawan yang Tumbuh Bersemi di Ranah Minang
Menyambung dua pembicara sebelumnya, Sumardiansyah Perdana Kusuma di antaranya menyampaikan pesan dan keteladanan dari pahlawan-pahlawan asal Sumatra Barat seperti Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Datuk Ibrahim Sutan Malaka, Sutan Syahrir, Mohammad Yamin, Hamka Datuk Indomo, Abdul Moeis, Achmad Mochtar, Mohammad Sjafei, Hajah Rangkayo Rasuna Said, dan Syekhah Hajjah Rangkayo Rahmah el Yunusiyah.
Mohammad Hatta misalnya berpesan, "Jatuh bangunnya negara ini sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar untaian pulau di peta. Jangan mengharapkan bangsa lain menghormati bangsa ini, bila kita sendiri gemar memperdaya sesame saudara sebangsa, merusak dan mencuri kekayaan ibu pertiwi."
Lalu Sutan Syahrir juga berpesan, "Dan hanya semangat kebangsaan yang dipikul oleh perasaan keadilan dan kemanusiaan yang dapat mengantar kita maju dalam sejarah dunia."
Begitupun Mohammad Yamin yang berpesan, "Cita-cita persatuan Indonesia ttu bukan omong kosong tetapi benar-benar didukung oleh kekuatan-kekuatan yang timbul pada akar sejarah bangsa kita sendiri."